3.

1 0 0
                                    

"Ma, bisa jelasin apa yang terjadi ke zio? Bia bilang permintaan bundanya itu nikah sama aku."

Vira menghela napasnya sejenak sebelum menjawab pertanyaan Alzio. "Sebenarnya ini adalah permintaan mama sama tante Sena nak. Alasan kami sering pertemukan kalian bahkan Bia sengaja dimasukkan sekolah lebih awal biar kamu dan Bia jadi sahabat. Kami berencana menikahkan kalian di suatu saat. Maka hanya dengan mendekatkan kalian seperti itu supaya nanti tidak adanya pemberontakkan seperti kalian belum saling mengenal. Papa kamu bilang kondisi Tante Sena juga semakin buruk," jelas Vira menatap sendu putranya itu. Tangannya terulur menangkup wajah tegas Alzio.

"Tapi ... kenapa harus nikah, ma?" papar Alzio terlihat setengah frustasi.

Vira tersenyum, "tante Sena juga ingin melihat putri semata wayangnya menikah, sayang. Rencananya kami ingin menikahkan kalian saat sudah benar-benar matang. Tapi ... " Vera terisak, tak sanggup melanjutkan kata-katanya lagi.

Alzio yang mendengar hal itu langsung meraup wajahnya kasar. Kenapa harus menjadi seperti ini? Dirinya bagai dihadapkan dua pilihan yang rintangannya bertubi-tubi.

"Kalau kamu nggak mau, juga nggak apa-apa, bang. Nanti biar mama—"

Tak sempat Vera melanjutkan perkataannya, Alzio lebih dulu memotong. "Alzio mau, ma."

Vera menatap Alzio dengan mata berkaca-kaca. "Makasih, nak. Maafkan mama," isak Vera memeluk tubuh tegap sang putra.

"Abang gapapa, ma. Ini demi tante Sena, mama juga demi Bia."

🐈‍⬛

Kini semuanya telah berkumpul di bangsal VIP milik Sena. Ruangan itu ada seorang penghulu, keluarga dari Vera dan Sena, serta tiga orang yang menjadi saksi pernikahan Bia dan Alzio.

Mata Sena terbuka dengan sayu, terlihat sekali betapa rapuhnya wanita paruh baya itu. Dirinya terbaring masih dengan beberapa alat medis yang bertengger di tubuhnya, dan Vera yang berada di sisinya. Sahabatnya sejak kecil.

"Baik, bisa kita mulai?"

Alzio kemudian menatap ke arah Bia yang duduk di sampingnya, kemudian mulai mejabat tangan ayah dari gadis itu.

"Saya nikahkan engkau, Alzio Kagendra Rahadi bin Alwira  Pamungkas Rahadi dengan putri saya Bianca Lalita Brahmacari binti Abimayu Brahmacari dengan maskawin seperangkat alat sholat dan lima puluh gram emas murni, dibayar tunai."

Alzio menghirup udara sebanyak mungkin, mencoba menetralkan degup dadanya. "Saya terima nikah Bianca Lalita Brahmacari binti Abimayu Brahmacari dengan maskawin tersebut, dibayar tunai."

Bia menutup matanya yang terasa memanas, menangis dalam diam. Tak menyangka nasibnya akan jadi seperti ini. Begitu banyak sekali cobaannya untuk hari ini.

Pernikahan yang begitu mendadak. Tak ada guratan bahagia sedikit pun dari semua orang di ruangan ini, yang ada hanyalah ketegangan bercampur kesedihan yang tak dapat diutarakan.

Mimpi Bia tentang pernikahan yang membahagiakan sekarang hanyalah menjadi angan-angannya saja. Pernikahan yang benar-benar dirinya inginkan, menikah dengan orang yang benar-benar mencintainya. Bahkan gadis itu kini masih menggunakan rok sekolahnya, hanya bajunya saja yang ditukar dengan sweater.

"Bagaimana para saksi? sah?"

"Sah!"

Kemudian penghulu merapalkan doa, "silahkan untuk istri mencium punggung tangan suami, dan suami mencium kening sang istri."

AmicusWhere stories live. Discover now