5. Khitbah

129 6 0
                                    

"Perahu kecil akan berlayar di lautan hidup yang tidak selalu tenang dengan Raden Azzam sebagai nahkoda dan Senja Abiyasa penumpangnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Perahu kecil akan berlayar di lautan hidup yang tidak selalu tenang dengan Raden Azzam sebagai nahkoda dan Senja Abiyasa penumpangnya."—Kapten Surga.

🎀_🤍_🎀

Ternyata air yang bersumber dari langit menjadi penyebab bertemunya dua insan tanpa rencana. Dua manusia berteduh di tempat yang sama tetapi tidak bercengkerama. Bukan besar kepala, tetapi mereka paham aturan agama.

Suara adzan menyapu pendengaran, namun hujan tidak mengalah meski sore berganti malam. Namanya bulan Ramadhan, selain suci dia juga berkah.

"Jangan salah paham. Saya ngasih ini cuman mau kecipritan pahala puasa kamu bukan modus." katanya dengan kepala menoleh ke arah lain. Perempuan itu memberikan sebotol air mineral untuk membatalkan puasa.

Siapa sangka kalimat sederhana itu menjadi boomerang yang tidak pernah absen di ingatan. Kepala menunduk dengan tatapan singkat sangat disukai daripada setiap pandangan yang tertuju secara terang- terangan.

Tidak perlu tahu namanya, doa tahu siapa orangnya. Ketika sunyi mulai menyapa, dialog antara pencipta dan ciptaan mulai terhubung. Sebatas aduan kerinduan tertuang di atas sajadah. Mengatakan bahwa hadirnya mampu mewarnai dinding-dinding kelabu yang telah lama berdebu. Memuji parasnya seindah chandra serta tatapannya sehangat bagaskara.

Sepertinya Tuhan bosan mendengar cerita yang selalu dibisikan. Bukan sehari atau seminggu, melainkan dua tahun pemuda akhir zaman itu menceritakan perempuan ber’abaya hitam. Sang pencipta mengembalikan doa pada tangan mengadah. Senja Abiyasa, versi doa bagi Raden Azzam.

"Putri saya bukan Ning," beritahu Aruna setelah seorang pemuda mengutarakan maksud kedatangannya. “Jauh dari seorang Ning, putri saya hanya santriwati kalong.”

Raden Azzam bukan hanya seorang putra pemilik pesantren. Dia juga merupakan Hafizd. Setidaknya Raden berjodoh dengan yang setara. Tidak Ning, Hafidzah pun pilihan.

"Bersama saya dia akan menjadi Ning," jawab Azzam. "Ada atau tidak adanya gelar Ning dalam diri Senja tidak mengaruhi kualitasnya sebagai perempuan terjaga. Bahkan di tengah riuhnya perkembangan zaman yang semakin menggila, Senja tetap terjaga. Dia menjaga diri tanpa menormalisasikan yang dilarang agama."

Jawaban sederhana mampu membungkam mulut Aruna. Tidak ada yang berbicara lagi. Mereka diam seraya memutar jawaban Azzam di sudut kepala. Kegaduhan dari luar membuat siapa saja menengok ke halaman rumah yang dibatasi kaca bening.

"Teh Senja kenapa pulang?" tanya anak perempuan dengan gamis berwarna pink. Dia mencium tangan Senja. Sekitar ada tujuh anak kecil yang bergiliran mencium tangan Senja dan Nahwa. “Hari ini libur?"

"Engga kok. Hari ini tetap tahfidz, ya. Teteh izin dulu enggak ngajar soalnya ada keperluan." Senja menjawab seraya tersenyum.

"Yaaaa... Kok gitu sih, Teh? Enggak mau tahfidz ah. Aku pulang aja kalau Teteh enggak ngajar." Bocil lelaki merajuk.

KAPTEN SURGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang