Titik pertemuan

32 5 0
                                    











❗❗❗❗

CERITA INI HANYA FIKTIF BELAKA
JIKA ADA KESAMAAN NAMA DAN TEMPAT SAYA MOHON MAAF KARENA TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN.









*
*

Arsa mungkin tidak memperdulikan sesuatu yang kerap kali terjadi pada nya beberapa minggu belakangan, selain hanya dia yang sulit tidur dan mengalami perubahan emosional secara drastis.
Namun Papa memperhatikan setiap gerak-gerik putranya yang terkadang seperti bukan dirinya sendiri.

Bagaimana tidak?
Sejak awal Arsa sangat menyukai sesuatu yang berkaitan dengan Desgin.
Dia begitu gila dalam hal menggambar sesuatu yang ia temui.

Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya

Namun entah karena efek psikis nya yang sedang Recovery atau apa, Anak itu belakangan cenderung mengamati berbagai peninggalan sejarah masa lampau atau sebelum Masehi.

Memang nenek nya dulu seorang arkeolog terkenal di Jawa tengah.
Namun menurutnya, dulu saat di bawa ke museum berbagai peninggalan artefak kuno Arsa sama sekali tidak nyambung jika dijelaskan sesuatu.
Anak itu justru sering membantahnya dan mengatakan jika itu semua tidak begitu tepat.

Dan seterusnya Arsa tidak pernah mau berkaitan dengan sesuatu yang berhubungan dengan sejarah sampai dia dewasa kecuali hari ini, saat ini.

"Apa ada kaitannya antara mata kuliah mu dengan candi Prambanan ini? Kamu mau bangun candi seribu itu?"

"Nggak ada.. aku cuma mau tau aja pah.. emang nggak boleh?"

"Boleh aja, asal jangan ganggu studi mu. Ingat?"

"Nenek kan Arkeolog terkenal, malu kalau punya cucu yang buta sama sejarah"
Arsa tertawa renyah pada Papa nya yang masih diam memperhatikan putra nya seksama.

Papa mulai berpikir mungkin Arsa hanya tidak ingin mempermalukan nenek nya.
Jadi lebih baik mendukung minat sang putra selama itu positif, lagipula ada baiknya juga dia mengenal hal-hal baru selain dunia nya yang dulu.
Terbukti Arsa mulai berbaur dengan orang lain dengan melibatkan diri pada pertunjukan sendratari milik teman baik nya, Hadi.

"Papa nggak perlu ini kan? Aku bawa boleh kan?"

"Bawa aja.. tapi jangan sampai hilang ya"

"Siap pah.." Arsa memasukkan buku catatan milik neneknya semasa masih aktif menjadi Arkeolog. "Mungkin aku pulang sedikit sore, jadi.. Papa jangan nungguin ya"

"Yaudah, berangkat sana.

__Hati-hati bawa motornya"

* *

Kendaraan beroda dua itu membelah jalanan pagi yang masih menyisakan tetesan embun, bahkan bau basah nya pun masih jelas terasa.
Sungguh pemandangan yang menyejukkan mata bagi penikmat udara pagi hari.

Meski sudah terlihat modern, namun kawasan di sekitar kota ada beberapa di bagian sudut tempat yang di sakral kan oleh sebagian orang.
Bukan terkesan menakut-nakuti, hanya saja larangan yang di sematkan adalah untuk tidak merusak atau memotret area tertentu.

Plengkung gading contohnya.

Salah satu yang cukup menarik yang ada di Yogyakarta ialah adanya Plengkung Gading. Bangunan ini merupakan sebuah peninggalan sejarah yang memiliki bentuk seperti pintu gerbang yang melengkung. Itulah mengapa disebut dengan istilah Plengkung yang berarti melengkung.

Sementara itu istilah Gading berasal dari warna pintu tersebut yang memiliki warna putih atau Gading. Berarti bangunan ini bisa disebut dengan gerbang yang melengkung berwarna putih. Bangunan ini termasuk gapura yang digunakan sebagai pintu masuk.

Arsa memarkirkan motornya tak jauh dari tempat biasa ia dan Adrian menghabiskan waktu untuk menunggu kelas selanjutnya.
Kali ini, bisa jadi mereka berdua tidak akan bertemu dikarenakan Adrian yang memiliki mata kuliah siang sedangkan Arsa pagi.

Tak apa, Arsa bisa bebas menikmati waktunya untuk membaca buku dibandingkan harus meladeni ocehan Adrian yang ngalor ngidul tidak jelas.

"Arsa.."
Sesosok wanita cantik dengan dress coklat yang menarik.
Rambut nya ia biarkan terurai membuat angin leluasa mengibaskan setiap helainya.

"Kak Adhisti?

__ada kelas pagi?"

"Iya.. setengah jam lagi, kamu sendiri tumben udah disini"

"Sama kelas pagi juga"

Hening, tidak ada topik apapun lagi karena Arsa pun bingung harus mengatakan apa.
Toh dia dengan Adhisti tidak begitu akrab hanya kebetulan saja mereka bertemu saat itu. Lalu apa yang Adhisti harapkan dari sosok pendiam dan kaku seperti dirinya?

"Ohh iya.. hampir lupa"
Adhisti mengeluarkan Tumblr yang berisi air berwarna sedikit orange dan memberikan langsung pada Arsa.

"Bu-buat apa?"
Arsa menatap bingung dengan apa yang kakak tingkat nya itu lakukan.
Untuk apa memberinya air?

"Kamu lupa?

__aku inget kalau kamu punya hipoglikemia, jadi aku bikinin air jeruk buat kamu. Ini manis tapi sedikit asam cocok buat asupan gula, em?"

"O..oh.. ya makasih kak"

Arsa tertawa hambar, ia juga baru ingat jika Adhisti pernah menemaninya di Klinik kampus. Mungkin dokter yang berjaga mengatakan permasalahan kesehatan nya pada Adhisti.

Sungguh memalukan..

"Di minum yaa jangan di buang"

"Pa-pasti aku minum kak, makasih banyak yaa, maaf ngerepotin kak Adhisti "

"Enggak sama sekali..

__aku ke kelas dulu ya, hati-hati ya Arsa jangan kecapekan lagi"

Arsa menganggukkan kepalanya setelah Adhisti pamit undur diri menuju kelasnya, ada rasa lega saat pemuda itu menerima pemberiannya yang ia kerjakan semalam suntuk. Karena jika hanya membisikkan mantra saja tidak ada guna nya sama sekali.

***

Pagi kali ini tidak hanya tetesan embun yang ikut mengiringi hari, namun juga ada hangatnya sinar matahari yang ikut menampakan bias indahnya saat memantulkan cahayanya.

Itu untuk sebagian orang.
Awalnya Renata pun ikut merasakan hangatnya sebelum melihat pertemuan seseorang yang tampak begitu akrab hingga memberikan sesuatu sebelum dirinya.

Kotak kecil itu kembali ia masukkan ke dalam tas selempang yang Renata kenakkan.
Rasanya tidak etis sekali memberikan sesuatu pada seseorang yang sudah menjadi milik orang lain meski belum tentu benar ada nya.

Tapi mengganggu nya juga bukan keputusan yang tepat.
Mungkin saja dia pun sedang memberikan kesempatan pada wanita lain untuk mengisi kekosongan hatinya.

Dan pada akhirnya rasa itu ia simpan agar memuai dengan sendirinya.







Tbc.

S A M S A R ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang