Pemilik Hati

34 6 0
                                    

__

"Lu kemaren Minggu kemana saa? Gue ke rumah kaga ada."

Adrian datang sambil menyeruput teh manis milik Arsa yang tergeletak di atas meja.
Si empunya teh hanya menoleh tidak semangat.

"Diluar" sungguh kali ini Arsa enggan sekali mengeluarkan suara. Dia masih emosi dengan kejadian kemarin. "Kemana?" Tanya Adrian to the Point.

"Mau tau aja."

"Lu baik-baik aja kan? Lesu amat kaya kurang darah."

Kalo ini Adrian betulan cemas, dia melihat Arsa seperti sedang menatap sesuatu. Begitu serius. Mencari jawaban atas apa yang sedang Arsa alami.
Adrian paham betul sifat Arsa, dia itu sulit untuk bercerita perihal masalahnya. Kecuali jika ia dipaksa untuk membuka mulut.

"Oiya hampir lupa!" Adrian mengeluarkan sesuatu dari dalam tas nya.

Sebuah kotak makan berbentuk persegi berwarna biru muda.
Adrian sodorkan pada Arsa yang menatap heran. Untuk apa kotak makan ini?

"Mama gue masak rendang, katanya gue disuruh bawain buat anak bungsu nya."

Anak bungsu yang dimaksud adalah Arsa.
Mama Adrian menganggap Arsa adalah putra bungsunya, atau adik dari Adrian.
Maklum, Adrian lebih tua satu tahun dari Arsa.

Sudah menjadi kebiasaan mama Adrian jika sedang ada acara memasak besar dan Arsa tidak ada, maka dia akan menyisihkan untuk anak bungsunya dan menitipkan itu pada Adrian.

"Makasih." Arsa menatap kotak makan itu dengan senyum tipis. Meski suasana hatinya sedang buruk tapi sedikit terhibur dengan pemberian mama adrian.

Dia akan memakannya nanti.

"Gue ngga akan tanya apapun sama lu, gue tau apa yang terjadi. So... Daripada lu diem dikantin cuma minum teh manis. Mening kita ke perpustakaan. Siapa tau lu bisa sedikit terhibur."

Adrian menarik tangan Arsa, dan menyeret nya menuju lantai 2 dimana letak perpustakaan.
Dari semua tempat yang sering Arsa kunjungi selain kelas ya tempat ini.

Tempat ternyaman untuk menyendiri.

"Arsa"

Suara wanita terdengar memanggil namanya, yang awalnya ia kira adalah Adhisti. Gadis yang menemaninya di dekat sungai kemarin hingga sore.

Tapi saat melihatnya, ternyata lain.
Pemilik suara itu adalah Renata.
Dosen pengganti di kelasnya.

Tapi, sejak kapan dia tau namanya?

"Iya Bu, saya?" Arsa berhenti sambil menatap dosen cantik itu.

Wajahnya familiar meski entah siapa.

"Hanya kamu yang belum mengirimkan email tugas kemarin. Bisa dikirimkan sekarang?"

Ah, ternyata soal tugas.
Arsa hampir lupa, dia memang belum mengirimkan email itu pada dosen penggantinya.

"Maaf, saya kirim sekarang. Saya lupa."

"Kenapa kamu?" Renata menyentuh kening Arsa yang menurutnya seperti sedang tidak sehat. Wajahnya kuyu.
Dia melakukan itu hanya sebagai bentuk kepedulian pada mahasiswanya.

Namun, saat kulit tangannya bersentuhan dengan kening Arsa, dia merasakan tangannya seperti tersengat listrik. Sontak Renata menjauhkan tangan nya dari Arsa.

"Saya ngga apa-apa Bu, saya sehat. Maaf sebelumnya." Arsa bergegas pergi,
pikirnya aneh sekali dosen itu.

"Saya juga pamit ya Bu.. permisi." Adrian berlari menyusul Arsa yang pergi terlebih dulu.

*

"Heh! Lu tuh ya. Udah pergi duluan sekarang berhenti mendadak. Rem kaki lu blong?" Sewot Adrian ketika mendapati Arsa berhenti mendadak.

Arsa diam, menutup mata dan memegangi dada nya yang terasa berdebar seperti habis berlari kencang.
Tapi dia tidak habis berlari atau melakukan kegiatan berat.
Dia bahkan bisa mendengar detak jantungnya yang berdegup kencang.

"Sa? Lu kenapa?" Adrian yang hendak ngomel ia telan kembali ketika melihat Arsa memegangi dadanya. "Eh saa seriusan! Asma lu kambuh?"

Arsa melirik Adrian tidak paham, siapa yang punya asma sih?

"Gue baik-aja. Cuma deg-degan doang."

"Cieee.... Lu suka ya sama dosen lu sendiri? Inget sa! Kak Adhisti nungguin lu."

"Udah deh sana ke kelas ngapain sih ngikutin terus?"

"Gue kangen sama lu saa.."

"Najis."

Arsa berjalan ke arah kelasnya dengan Adrian yang tertawa terbahak di belakangnya.

Menggoda Arsa adalah kesenangan tersendiri untuknya.
Kapan lagi kan melihat dia marah?
Biasanya anak itu tidak bisa berekspresi meski dalam keadaan takut sekalipun.

*

"Bu Renata?"

"Oh pak Rianto, sudah kembali?" Renata terlonjak kaget saat namanya di panggil pak Rianto. Laki-laki yang kelasnya ia gantikan beberapa hari ini.

"Bagaimana kelas saya? Ada hambatan?"

"Ah.. aman pak aman.. mereka semua bisa diajak kerjasama."

Renata kembali melamunkan kejadian tadi, kenapa tangannya terasa seperti tersengat? Apa Arsa ini manusia setengah listrik?

"Bu Renata? Kok melamun sih, masih pagi Bu.. pamali."

"Bapak bisa saja, saya ngga melamun pak. Saya cuma kepikiran mahasiswa bapak. Yang namanya Arsa."

"Oh.. si Arsa. Kenapa dia? Buat masalah?"

"Bukan pak.. tadi saya cuma liat dia seperti sedang kurang sehat."

"Bu Renata ini, sudah cantik.. perduli sekali sama mahasiswa nya. Nanti saya tanyakan langsung sama anaknya."

"Terimakasih pak. Tolong di awasi para mahasiswanya ya."

Bukan hanya karena alasan dia melihat Arsa seperti sedang sakit, tapi jauh dalam lubuk hatinya. Dia bertanya-tanya mengenai rasa aneh yang menjalar tangan dan hatinya yang mendadak menjadi gelisah.

Dia tidak sedang jatuh cinta dengan mahasiswa nya sendiri kan?

Renata tidak pernah paham, sejak dia ditabrak Arsa di koridor kampus dia sudah merasakan hal aneh.
Dari mata batinnya yang tiba-tiba terbuka hingga mimpi yang menampilkan orang-orang berkostum serial tutur tinular.
Dan itu terjadi terjadi setiap malam.

Dan itu terjadi terjadi setiap malam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
S A M S A R ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang