Prolog.
"Dalam senja yang kelabu, dua hati itu tak saling menyadari jika lautan bisa disebrangi."
________
"Gue denger, lo nolak perjodohan kita sampai rela ngorbanin mimpi lo dan nurut buat jadi dokter."
Javin menatap Sevda yang terlihat khawatir, perempuan itu tak pandai dalam menutupi ekspresi khawatir yang terpampang dengan begitu jelas di wajah ovalnya. Membuat Javin menatap dalam Sevda dan ia tak mengerti dengan hatinya saat ini. Ia tak suka dengan ekspresi khawatir Sevda tersebut karena masa depannya bukanlah urusan Sevda. Meski Sevda turut andil dalam hal tersebut tapi itu bukanlah salah Sevda, melainkan keputusan yang sudah ia ambil dengan kepala dingin.
"Lo gak usah khawatir, gue baik-baik aja dan jangan sampai teman-teman tau soal ini," balas Javin dan ia meyakinkan Sevda dengan sebuah senyum menenagkan. Ia tak suka melihat Sevda khawatir serta merasa bersalah karena ini buknalah salah Sevda, melainkan salah kedua orang tua mereka yang semaunya sendiri. Menjodohkan anak-anak mereka tanpa meminta pendapat terlebih dulu dan inilah akhir dari keputusan egois kedua orang tua mereka.
Sevda yang sedari tadi berdiri, kini duduk di samping Javin, ia menatap dalam Javin, "Makasih ya Jav, lo baik banget. Gue janji, gue gak bakal ganggu lo dan semangat untuk kuliah kedokteran lo nanti." Tulus ucapan Sevda membuat hati Javin terenyuh.
Selama ini mereka cukup dekat sebagai teman satu kelas dan kerap kali mendapat prasangka jika mereka sepasang kekasih. Namun hubungan mereka tak sedekat itu dan hanya sebatas teman, tak bisa lebih dari itu. mereka punya pujaan hati sendiri dan karena itu, perjodohan itu di tolak oleh Javin. Sedangkan Sevda, ia tak berani membantah karena takut pada ayahnya dan syukur Javin mampu menolak perjodohan tersebut. Meski harus mengorbankan masa depannya.
"Semoga mimpi lo buat kuliah di Milan terwujud dan impian lo buat jadi disainer fasyen bisa jadi nyata," ucap Javin dan ia sunguh-sunguh mendo'akan impian Sevda. Perempuan itu layak untuk mendapatkan kehidupan yang diimpikan selama ini. Menjadi seorang disainer fesyen dan mengelar acara peragaan fasyen sendiri. Mengenalkan karyanya pada penikmat fesyen dengan cara yang anggun. Seanggun paras sang disainer.
"Semoga gue ke terima di univ incran gue selama ini dan semuanya lancar." Dalam kalimatnya, Sevda merasa tidak enak hati mengatkan soal mimpinya pada orang yang telah mengubur mimpinya.
Kedua netra Javin beralih menatap matahari terbenam dengan hati yang terasa sakit. Ia memberikan semangat untuk orang lain akan mimpinya dan ia baru saja mengubur mimpi indahnya. Tapi ia benar-benar tak bisa menerima perjodohan itu dan lebih baik mengubur mimpinya untuk menjadi arsitek daripada menikah dengan orang yang ta ia cintai. Apa gunanya sebuah pernikahan jika tak saling cinta dan itu akan menyiksa hidup. Lagian, menjadi dokter tak buruk dan itu pekerjaan yang mulia. "Good luck dan lo harus janji satu hal ke gue," pinta Javin yang membuat Sevda menatapnya penasaran. "Lo gak boleh sia-siain privalge yang lo punya dan lo harus memanfaatkan itu sebaik mungkin karena di luar sana banyak orang yang gak seberuntung lo."
"Janji, gue bakal mengusahakan yang terbaik dan gak akan menyiayiakan kesempatan yang gue punya," jawab Sevda dengan sungguh-sungguh.
Javin menatap Sevda dengan senyum dan nampak sinar bahagia dari kedua netra Javin, "Gue pegang janji lo dan gue mau denger berita keberhasilan lo suatu hari nanti."
Langit berwarna oranye dan merah muda itu kini tertutup awan mendung dan suasana cerah itu berganti menjadi mendung. Mengikuti suasana hati Javin yang kelabu. Alam semesta ikut merasakan kesedihan yang dirasakan oleh Javin. Meski ia berucap baik-baik saja pada Sevda, hatinya tak bisa berbohong. Ia hancur dan rasa malu muncul di hadapan teman-temannya karena selama ini ia selalu bilang ingin melanjutkan pendidikan arsitektur dan sudah mencari universitas yang akan ia tuju nanti. Namun itu semua hanya sebuah angan yang terlontar begitu saja dan tak akan terealisasikan.
"Gue balik dulu, ada yang mau gue urus sama Hilmi," pamit Javin pada Sevda dan ia bangkit dari duduknya.
"Jav, makasih ya dan gue harap kita masih akrab kayak biasanya sampai lulus," pinta Sevda dan mendapatkan anggukan dari Javin.
Punggung Javin melangakah semakin menjauh dan bohong jika ia tak merasa bersalah dan sedih. Ia sangat khawatir akan kondisi mental Javin karena pemuda itu sangat berbakat dalam dunia kreasi. Gambaran Javin sangat indah dan seperti mahakarya, sangat sayang jika cita-cita menjadi arsitek itu di kubur dalam. Namun mau bagaimana lagi, ia tak bisa melakukan apa pun dan ia tak mencintai Javin. Ia mencintai orang lain dan begitu juga dengan Javin.
Ia hanya bisa berdo'a untuk masa depan mereka dan jalan yang sudah mereka ambil. Terutama jalan yang di ambil oleh Javin. Ada satu janji lagi yang tak akan pernah ia lupakan, apalagi sampai ia ingkari. Janji yang ia ucapkan pada Javin sebelum wacana perjodohan mereka diumumkan dua minggu yang lalu. Janji yang ia ucapkan pada Javin saat berada di kelas sepuluh dan kini mereka berada di kelas sebelas. Sebuah janji yang terlontar begitu saja namun akan ia pegang dengan erat.
"Semoga kita bahagia dengan cinta kita masing-masing, agar janji itu sirna."
Ia begitu bertekad namun lupa bahwa lautan yang luas itu bisa diseberangi.
To be continued.
Noted:
Haiii, aku kembali dengan cerita baru dan semoga bisa memberikan hiburan serta inspirasi untuk kalian.
Tolong beri cinta dan dukungan untuk cerita ini. Terima kasih semuanya dan sampai jumpa di next chapter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Solace
Romance"Gimana kalo kita nanti nikah, tapi kita nikah saat kita udah hopeless sama percintaan," ucap Sevda tatkala ia dan Javin saling berbagi makanan di kebun kecil sebuah butik pakaian. Di saat menemani ibu mereka yang tengah sibuk berbelanja pakaian di...