Chapter 7: Indelible.

13 0 0
                                    

Chapter 7: Indelible.

"Impossible to erase or forget."

___________

Hamburan bunga musim kemarau memenuhi trotoar depan sebuah kafe yang menampilkan aksen Eropa Timur. Beni bunga-bunga menempel pada kaos polo yang tengah Javin kenakan dan tangan kekarnya itu membersihkan beni bunga tersebut. Hidung yang mancung dan lurus itu mencium aroma bunga musim kemarau bercampur dengan aroma kopi robusta serta pastry. Ia tergoda oleh aroma tersebut dan memutuskan untuk mengunjungi kafe tersebut. Padahal, tujuannya adalah pergi ke apotek yang berada tak jauh dari kafe tersebut.

Sebuah lonceng kecil berbunyi tatkala kaki jenjang yang terbungkus celana pendek selutut itu menginjakan sendalnya di lantai kafe. Sebuah senyum selamat datang ia dapatkan dari pegawai yang baru saja mengantarkan menu pesanan pada meja yang berada di dekat pintu.

Ia mendekat ke arah etalase yang menjajakan aneka pastry. "Èclair lima, Pie Strawberry satu, Croissant dua dan Black Coffee," tunjuk Javin pada etalase yang menyuguhkan aneka pastry tersebut.

"Untuk pesanannya, mau dine in atau take away, kak?" Pegawai yang mengenakan seragam hijau dengan celmek hitam itu bertanya pada Javin yang masih fokus pada aneka pastry.

Ia mendongakkan kepala lalu menatap pegawai tersebut, "Take away," jawabannya sembari mengeluarkan ponsel untuk melakukan pembayaran.

"Atas nama kakak siapa?"

"Louis,'' jawabannya dengan fokus ke arah pegawai tersebut untuk menghargai orang lain.

"Baik kak Louis, untuk total keseluruhan senilai enam ratus lima puluh dua ribu. Untuk pembayarannya bisa melalui cash, virtual bank, e-wallet, card debt or credit." Pegawai tersebut menjelaskan metode pembayaran yang tersedia pada kafe tersebut. Sembari menunjukkan ketentuan pembayaran yang terletak di depan meja kasir.

Javin mengarahkan kamera ponselnya pada titik-titik tak beraturan yang di letakkan berdiri pada meja kasir. "Pembayaran atas nama Javin Laksono. Tolong di cek," ucap Javin pada pegawai tersebut.

Pegawai tersebut mengangguk sopan kemudian melihat ke arah layar desktop, "Baik, untuk pembayaran sudah kami terima. Terima kasih kak Louis dan mohon menunggu pesanan kakak sembari menikmati suasana kafe yang hangat."

Kakinya melangkah untuk mencari tempat duduk yang sekiranya nyaman untuk menyendiri. Ia butuh mengisi energinya kembali, selepas bekerja shift malam. Pagi ini, ia langsung pergi untuk ke apotek. Namun kakinya justru memasuki kafe ini untuk membeli sarapan. Jika orang mengira, ia memakan pastry itu untuk dibagi dengan orang lain, maka salah. Ia akan menghabiskan itu semua seorang diri. Sudah lama ia tak menyantap pastry sebanyak itu seorang diri.

Ia melihat sekeliling dan merasakan energi yang masuk ke dalam jiwanya. Begitu tenang dan menyegarkan, terutama mentega yang di oles pada roti kering serta suara mesin kopi yang tengah bekerja. Percakapan orang-orang yang terdengar seperti bisikan gemerusuh radio yang kehilangan frekuensi. Menenangkan dan mengisi energi kembali tak harus pulang ke rumah dan tidur, namun bisa dengan menemukan kesibukan baru yang berbeda dari rutinitas biasanya.

Bisanya ia mendengar suara detak jantung pasien, keluhan pasien, denyut nadi pasien, roda troli pengantar makanan dan sprei kotor, pertanyaan anggota keluarga pasien, diskusi diagnosis dan obat, suara tangisan dan rasa syukur serta depresi. Itu semua makanan setiap hari bagi Javin dan ia sudah terbiasa dengan bunyi-bunyi tersebut. Bahkan ia sering terbangun saat tidur karena mimpi buruk akan pekerjaannya tersebut. Semuanya menyatuh ke dalam darah dan jiwanya.

SolaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang