02

2 0 0
                                    

Lembut-lembut wajah mama malah berubah menjadi...menyeramkan, lirih-lirih nada dari labium mama kini menggerogoti dadaku habis-habisan. "Anak mama sudah berani berbicara rupanya...."

Kepalaku diusap-usap lembut kini dengan mata sendu menghadap lantai, mungkin saja melihat beberapa semut berbaris di sana, lantas usapan itu kian berubah menjadi sisiran, seperti merapikan rambutku yang acak-acakan.

"Biasanya anak mama lebih suka pergi menangis di dalam kamar, apa kamarmu sedang bermasalah?" Jadi mama tau selama ini aku menangis dan hanya membiarkanku seperti itu saja, hati itu sudah mengecil rupanya.

Lambat laun di gerus waktu, pria itu menatapku atau mungkin kami dengan angkuh bersedekap dada lantas ia menyerah. Menyapu apapun di meja turun ke lantai membiarkan makanan teronggok, dengan begitu mama turun tangan sedangkan aku...mengambil pisau.

Sepersekon berikutnya, sadar bahwa aku sudah hancur beberapa detik yang lalu. Mama mencegahku, menarik rambutku, menyeretku dan membiarkanku lagi dan lagi menangis meraung-raung di tengah senyapnya malam.

"Apa yang aku lakukan?" Frustasiku, menggaruk-garuk kepala, mengusap kasar wajah lalu memutuskan untuk kembali kehadapan mereka tapi nyatanya Mama ... mengunciku dari luar.

"Aaaarrrggh...," Erangan itu menggema di telingaku.

—————

Senja Tenggelam Di MatamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang