1 - Rumah

133 22 0
                                    

"Anjing, gak nyaman aku disini. Berapa kali sih aku harus bilang ke kamu?. Aku nyaman disana. Gak usah kamu cari-cari aku apalagi sampai samperin aku terus bikin keributan disana." Kalimat itu masih terekam jelas di kepala Nindia saat pertengkaran ayah dan ibunya terjadi di umurnya yang 12 tahun. Sudah lima tahun saat itu keadaan rumahnya terasa seperti neraka. Ayahnya jarang pulang, sekalinya pulang pasti akan ribut dan berisik sekali rumahnya.

Nindia sebenarnya lebih memilih kalau ayahnya tidak pulang saja, daripada harus pulang tapi keadaannya seperti itu. Beda dengan ibunya yang lebih memilih suaminya untuk pulang walaupun keadaannya hancur. Begitu juga dengan adik laki-lakinya yang bernama Nanda, dia senang sekali kalau ayahnya pulang ke rumah. Entah apa alasannya, padahal dirumah pun mereka tidak melakukan interaksi layaknya ayah dan anak. Jadi menurut Nindia apa untungnya?. Lebih banyak ruginya bukan?.

Semenjak ayahnya mempunyai wanita lain, rumah Nindia terasa seperti neraka. Ibunya sering menangis dan gampang emosi, adiknya pun yang usianya lima tahun dibawah Nindia sering mengamuk tidak jelas mengancam akan pergi dari rumah kalau ayahnya itu tidak pulang. Mau bagaimana lagi?. Nindia juga sering tidak tau dimana ayahnya itu tinggal karena mereka sering berpindah-pindah kontrakan rumah. Apalagi nomor handphonenya yang sering diganti kalau sudah ketahuan oleh Nindia. Sumpah, Nindia sebenarnya sudah tidak peduli lagi dengan ayahnya tapi ibu dan adiknya yang membuatnya terpaksa harus peduli.

Ines, sahabatnya sering menjadi tong sampah untuk Nindia. Tempat Nindia berbagi segala cerita sedihnya. "Gue bingung Nes, kenapa sih ibu sama si Nanda harus ketergantungan sama Pak Jaka?. Kita hidup bertiga aja kan bisa. Kan gue jadi gak harus cari bapak-bapak tua itu. Apa sih?. Ya Allah, sabar." Nindia mengelus dadanya sendiri agar bisa tetap sabar.

Sahabatnya itu tidak tau harus menanggapi bagaimana lagi. Yang jelas dia kasihan pada sahabatnya. Setiap berapa bulan sekali dia harus mencari ayahnya dan ketika sudah ketemu ayahnya selalu bilang, "ayah gak usah dicari. Ayah ada kok." Ines ingin sekali meneriakkan ayahnya Nindia untuk berkaca, tapi bagaimana lagi tidak mungkin dia melakukan itu.

Dan selalu pada akhirnya ayahnya akan pulang beberapa hari lalu menghilang lagi. Selalu siklusnya seperti itu.

Selain harus mencari ayahnya setiap beberapa bulan sekali, Nindia merasa harus dekat dengan beberapa pria untuk mendapatkan uang lebih demi biaya kuliahnya. Nindia tidak sudi harus meminta pada Pak Jaka dan bagaimana juga Nindia meminta pada ayahnya?. Ayahnya itu hanya mengirim sesuai kemauan saja setiap bulannya. Tidak lebih, tidak kurang. Tidak ada nomor untuk komunikasi pula.

Ines sudah menawarkan bantuan setiap kali Nindia butuh yang lebih, tapi Nindia selalu menolak. "Udah deh Nin, gak usah pacaran sama cowo-cowo tua bangka gitu."

"Gak tua-tua banget, gue 20an mereka 35an. Tenang aja deh, Nes. Gue kan cuma pacaran biasa doang."

"Ya, tapi kan gue tetep aja takut. Laki-laki seumuran gitu kan yang dipikirannya sex doang."

Nindia selalu menanggapi dengan tawa. "Ya kitanya aja pinter-pinter cari cowo dan menyikapi situasinya. Abis kalau sama yang seumuran gue, gak bisa di harepin. Kesian juga. Lagian kalau mereka kan biar sekalian dikasi pelajaran, menyadarkan mereka kalau mereka itu bodoh. Ya gak jauh sama Pak Jaka lah."

Kalau sudah begitu Ines hanya mengangguk sambil terus mengingatkan untuk berhati-hati.
**

"Kamu yakin gak mau maen ke apartemen aku?." Tanya laki-laki berkemeja rapih berwarna biru muda dihadapan Nindia.

"Gak kayaknya. Aku harus ngerjain tugas, harus kerja juga. Kamu tau kan kerja di toko buku gitu gak seberapa, jadi aku juga coba bantu temen ngerjain tugas-tugas gitu buat tambahan. Kan sebentar lagi mau ujian, aku belum bayar uang semester." Tolak Nindia halus dengan wajah yang kecapekan.

Laki-laki bernama Yuda itu mengeluarkan handphone dari tasnya. "Berapa bayaran kuliah kamu?. Biar aku bantu, supaya kamu juga gak capek sampei bantu temen kamu ngerjain tugas. Tugas kamu juga kan banyak."

"Tapi aku tetep gak bisa ke apartemen kamu. Aku masih harus ngerjain tugas."

Yuda tertawa. "Haduh mahasiswi sibuknya ngalah-ngalahin pegawai bank. Udah hampir lima bulan kita jalan, tapi kamu belum sempet aja main ke apartemen aku." Menurut Nindia sebenarnya Yuda ini laki-laki yang baik, tapi ya tetap saja laki-laki. Pikirannya mesum dan egois, itu yang ada di pikiran Nindia.

"Gimana lagi, kamu jalannya sama mahasiswi."

Akhirnya malam itu Yuda mengirimkan sejumlah uang. Nindia bersyukur. Itu saja sebenarnya yang dia inginkan dari sebuah hubungan. Tidak ingin melibatkan perasaan atau hati. Dia sudah benci dengan sosok laki-laki. Ayahnya sudah cukup menjadi cerminan bagaimana laki-laki itu bisa berubah sebegitu cepat. Gampang bosan dan gampang jatuh cinta.

Nindia sudah punya kerja sampingan menjadi pelayan di toko buku, tapi itu belum cukup untuk menutupi keperluan kuliahnya dan juga keperluan adiknya. Sebab ayahnya hanya mengirim sesuai keinginan nya saja, padahal Nindia tau persis ayahnya itu banyak uang. Dan kehidupannya dengan istri barunya juga cukup mewah. Jadi menurut Nindia itu hanya belas kasihan saja mungkin untuk darah dagingnya.

"Nin, baru pulang jam segini?." Sambutan dari ibunya membuyarkan lamunan Nindia ketika menghitung uang dan juga pengeluaran di dalam pikirannya sendiri.

"Ya bu, ibu udah makan?."

Ibunya—Bu Sukma membereskan piring yang ada di meja makan. "Udah barusan sama Nanda. Kamu mau makan?."

"Mau bu, aku laper banget."

"Tapi gak apa ya sama tahu aja, tadi Nanda makan ayam gorengnya dua." Balas ibunya. Nindia hanya mengangguk saja dengan perasaan kecewa. Ibunya selalu mengutamakan adiknya, Nanda. Ada alasan yang selalu membuat ibunya lebih perhatian pada Nanda dan Nindia tau apa itu. Nindia cukup mengerti, tapi terkadang masih ada perasaan kecewa kalau dirinya sedang capek. "Oh ya, ada yang mau ibu obrolin. Gini Nanda pengen motor. Kamu tolong lagi cari ayah kamu ya. Kalau enggak, Nanda bisa ngamuk. Pisau ibu satu yang ada didapur hilang, ibu takut adek kamu macem-macem."

Nindia hanya bisa menghela nafas panjang. Baru saja dia mau fokus mempersiapkan ujian, dia malah harus mencari ayahnya. "Aku mau ujian bentar lagi, bisa gak bu nanti abis ujian aja aku carinya?."

Sepertinya jawaban itu lebih baik jangan terucap dari mulut Nindia karena semenit kemudian ibunya menggebrak meja, "ya udah gak usah. Biar ibu aja yang cari." Dan drama itu terjadi lagi. Ibunya sembari menangis kemudian pergi ke kamarnya dengan mulut yang terus marah-marah. Mengucapkan hal-hal yang menyanyat hati Nindia. "Emang kamu tuh gak kayak Nanda, dia selalu bela ibu didepan ayah kamu. Dia selalu lakuin hal yang buat ibu ngerasa kalau ibu ini emang satu-satunya buat ayah kamu. Beda sama kamu yang cuman diem aja, asyik sama dunia kamu. Asyik sama kuliah kamu. Gak pernah bener dengerin cerita ibu. Gak pernah nyari dimana ayah kamu kalau gak ibu yang suruh kamu...."

Rentetan kalimat menyakitkan itu kembali terdengar dari mulut ibunya. Nindia sangat benci hal itu. Tapi Nindia juga benci setiap kali harus mencari ayahnya. Dia tidak mau jika disaat mencari ayahnya dia harus melihat wajah istri kedua ayahnya. Beruntung tiap ketemu dengan ayahnya, istrinya itu bersembunyi.

"Ya udah bu, biar Nindia yang cari sekarang."

Akhirnya Nindia keluar rumah dengan perut kosong dan perasaan hancur. Kapan situasi rumahnya, ibunya akan berubah seperti dulu lagi?.

Ini sangat berat bagi Nindia dan dia juga tau ini sangat berat untuk ibunya. Tapi bolehkah sedikit saja Nindia egois dan mengatakan dia juga adalah korban dari pertengkaran ibu dan ayahnya?.
**

Semua Tentang KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang