"Kamu yakin mau turun ke tempat gini?." Tanya Yuda lagi sudah kesekian kalinya. "Ini tempat yang bakal bikin kamu ngerasa pengap, berisik, risih lah. Kamu juga kan biasanya belajar terus sama cari uang. Kalau enggak ya baca buku." Benar apa yang dikatakan Yuda, kehidupan Nindia hanya seputar itu saja. Oh ada satu lagi yang tidak disebutkan Yuda, mengurus keluarganya yang amburadul.
"Yakin, kenapa enggak?." Nindia malah belok bertanya. "Aku udah sangat yakin." Nindia memoles lipstiknya lagi yang berwarna nude.
"Kamu gak capek apa?. Kan tadi kita abis dari mall, jalan-jalan beli baju, makan, tapi masih pengen ke tempat ini. Gak mau pulang dulu apa?."
Nindia menghembuskan nafas dengan keras. "Aduh, banyak ngomong deh. Udah yuk turun ah. Kalau enggak...." Kunci mobil yang masih tergantung di mobil Yuda sengaja dicabut oleh Nindia. "Aku gak akan balikkin kunci mobilnya."
Akhirnya mau tidak mau Yuda pun mengikuti maunya Nindia. Dia masuk ke bar dengan live music. Dan sebenarnya Nindia cukup kaget dengan kondisi di dalam. Tempatnya ramai oleh orang yang datang, berisik oleh suara yang mengobrol juga live music dan yang paling Nindia benci penuh dengan asap rokok.
"Apa aku bilang, gak nyaman kan kamu?." Seakan puas Yuda saat memergoki Nindia mengernyit karena asap rokok. "Udah, pulang aja yuk."
"Gak mau. Aku gak apa-apa kok." Nindia yang keras kepala tetap berjalan dan memilih tempat duduk. Yuda tidak punya pilihan lagi, akhirnya dia pun pasrah saja mengikuti maunya Nindia.
Selama disana, mata Nindia tidak hentinya melihat ke sekeliling sampai dia menemukan seseorang yang diincarnya. "Temen kamu mana?."
"Hah?." Heran dengan pertanyaan Nindia yang tiba-tiba seperti itu.
Nindia mendekatkan wajahnya lalu berbisik didekat telinga Yuda. "Ada temen kamu gak disini?."
"Kenapa emangnya?." Balas Yuda sedikit berteriak agak terdengar Nindia.
"Ih balik nanya terus. Jawab aja, ada temen kamu gak disini?. Aku cuma pengen tau aja."
Mata Yuda yang kini berkeliling lalu setelah beberapa detik. "Ada. Tuh, dia yang pake kemeja biru tua."
Senyum Nindia mengembang, "yang deket orang pake kemeja biru muda kan?."
"Iya."
Tanpa basa-basi, Nindia memegang tangan Yuda lalu menariknya mendekati meja itu. "Yuk gabung sama temen kamu."
"Loh.. loh, ngapain?. Kita kan lagi berduaan."
"Ayoo, gak rame berduaan doang." Tangan Nindia menarik-narik tangan Yuda, tapi Yuda tetap bergeming duduk di kursinya. Tidak mah mengikuti maunya Nindia. "Oke kalau kamu susah gini." Tidak ada jalan lain, Nindia mendekatkan wajahnya lalu mencium sekilas Yuda.
Gila?.
Ya, Nindia memang sudah gila. Rela melakukan apa saja asalkan keinginannya tercapai. Dendam sudah membutakan pikiran juga hatinya.
Yuda sendiri tidak bisa berkata apa-apa, ini bukan ciuman pertamanya tapi disaat di cium oleh perempuan yanv sulit ditebak seperti Nindia dan sulit di dapatnya tentu berbeda dan menarik bagi Yuda.
"Sekarang bisa kan kita gabung sama temen kamu?. Nanti aku jelasin alasannya kenapa aku mau kita gabung sama mereka. Kalau kamu gak mau, aku yang bakal gabung sendirian kesana." Geretak Nindia. Padahal tidak mungkin dia tiba-tiba gabung dengan para laki-laki seperti itu.
"Oke, tapi janji nanti jelasin."
Semakin mendekat Nindia ke meja tempat kakak tirinya itu duduk bersama teman-temannya. Hatinya tidak karuan. Nindia terus meyakinkan dirinya kalau dia bisa membuat laki-laki itu bertekuk lutut di hadapannya, menghancurkan hidupnya.
"Gung." Tepuk Yuda pada bahu temannya yang bernama Agung Rahmat. "Gabung boleh?. Gue bosen disana berdua."
"Eh, lo disini?. Katanya lagi pulang ke Bandung?. Ke rumah orang tua ada keperluan." Tanya balik Agung, teman satu kantor Yuda.
"Ah, jangan bahas itu dulu lah. Boleh gak nih duduk ikut gabung?."
Agung melirik pada Nindia yang berdiri di belakang Yuda. "Lo sama cewek lo?."
"Iya."
Agung berbisik pada dua temannya lalu pada akhirnya mengangguk. "Ayo sini. Duduk aja. Kenalin dong sama pacar lo yang cantik ini." Goda Agung pada Nindia.
"Awas jangan macem-macem. Ini Nindia. Pacar gue." Seketika setelah nama itu disebut, Ikbal yang sedang melamun melihat handphonenya langsung mendongakkan kepala dengan terkejut. Disaat itu tentu saja Nindia tidak buang kesempatan. Dirinya langsung maju lalu mengulurkan tangan kepada Agung tapi dengan mata yang masih tertuju pada Ikbal. "Nindia Ayu Prameswari."
"Agung Rahmat. Kenalin ini temen gue dari jaman kuliah, Ikbal." Menjabat tangan Agung lalu mengulurkan tangan ke arah Ikbal. "Eng, kok kayaknya aku pernah ketemu ya?."
"Enggak." Jawab langsung Ikbal dengan tegas. "Ikbal." Tangan Nindia disambar cepat lalu dilepaskan seakan jijik. Agung menyeringai merasa tidak enak atas apa yang terjadi.
"Mirip wajah kakak tiri ku soalnya." Balas Nindia dengan nada yang cukup bisa didengar semua dan wajah yang lurus seperti jalan tol. "Eh duduk ya boleh?. Pegel kakinya."
"Silahkan..., ayo ini masih ada dua bangku kosong kok. Pas."
"Makasih Agung."
Selama mereka duduk bersama, Nindia tidak melepaskan pandangannya pada Ikbal. Walau sesekali dia mengobrol dengan Agung juga Yuda. Disaat itu Ikbal hanya diam saja dan terus-terusan memandangi handphonenya. Nindia iseng bertanya, "kok temen kamu diem aja sih?." Tanya Nindia pada Agung sembari melirik Ikbal.
Bahu Ikbal ditepuk kencang Agung, "biasa lah dia gini kalau bukan urusan kerjaan, ya urusan ceweknya." Agung mendekat pada Yuda dan Nindia lalu sedikit berbisik. "Lia."
"Kenapa emang?." Pancing Nindia. Dia sudah tau mengenai Lia—tunangan Ikbal dari instagramnya, tapi kalau mengenai sedang terjadi apa sampai Ikbal seperti itu Nindia tidak tau karena Ikbal bukan type orang yang senang curhat di medsos. Dia hanya mengunggah momen penting saja."Ah, ember lu."
Agung hanya tertawa menanggapi Ikbal, "Lianya lagi ngambek gara-gara ibunya Ikbal pengen pake tanggalan jawa, sementara Lianya pengen cepet. Ya abis ya cewek modern kayak gitu mana bisa percaya ke hal-hal primbon-primbon gitu. Dia kan blasteran." Jelas Agung detail. Dari sebelahnya Ikbal sudah ingin menimpuk Agung dengan apapun yang ada disampingnya, tapi mengingat Agung ini sudah jadi tempat sampahnya selama bertahun-tahun ini Ikbal menahan dirinya.
"Oh percaya banget ya primbon-primbon gitu." Beo Nindia.
"Udah, jangan bahas itu. Ganti topik. Pusing mikirinnya." Minuman yang ada dihadapannya diminum Ikbal dengan buru-buru.
"Gampang kok sebenernya jalan keluarnya. Kawin lari aja sama Lianya." Ucap Nindia dengan ekspresi datar dan spontan memancing Ikbal untuk menatap tajam layaknya elang yang sedang menatap mangsa yang akan dimakannya. "Siapa kamu berani ngomong gitu?."
Nindia tidak sedikitpun takut pada ucapan Ikbal itu, justru dia merasa senang sudah membuat Ikbal kesal. "Mau aku bilang disini siapa sebenarnya aku?."
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Semua Tentang Kita
RomanceNindia Ayu Prameswari hanya berpikir untuk bisa berdiri di kaki sendiri dan membalaskan dendam pada manusia-manusia yang dianggapnya sudah memporak porandakan hidupnya yaitu ayah dan ibu tirinya. Nindia bertekad akan membuat anak kesayangan dari ibu...