3 - Rumah Pak Jaka

75 11 0
                                    

Setiap malam, Nindia selalu dihantui oleh mimpi yang menggambarkan kekesalannya terhadap Pak Jaka dan istrinya. Di mimpinya Nindia berteriak memarahi bahkan melempar barang ke depan mereka berdua. Kesal, Nindia selama beberapa hari ini mencari keberadaan ayahnya tapi belum didapatnya juga.

Sampai pada suatu hari Bagas menelepon dan mengatakan kalau dia sudah menemukan alamat Pak Jaka. Sebenarnya Nindia malu harus melibatkan Bagas, tapi dirinya tidak punya pilihan lain. Bagas sudah mapan, punya banyak teman dan koneksi, beda dengan dirinya. "Kamu mau ditemenin kesananya, Nin?."

"Gak usah, aku bisa sendiri kok."

Bagas hanya balas tersenyum, sebenarnya sudah lama dia menyukai Nindia. Semenjak Nindia main ke rumahnya. Tidak dipungkiri Bagas tertarik dengan kecantikan Nindia. Ditambah dengan kepintaran yang Nindia punya. Terlebih lagi dengan sifat tenang Nindia. Berbeda dengan adiknya—-Ines yang super heboh. Tapi Bagas yang terlihat bisa berbaur dengan siapa saja nyatanya payah urusan perempuan.

"Makasih ya."

"Iya sama-sama. Oh ya kamu pulang sama siapa?."

Ines tiba-tiba datang ke ruang tamu tempat keduanya sedang bicara. "Ya sama pacarnya lah. Yuda."

Raut wajah Bagas seketika tidak senang. "Oh gitu. Ya udah hati-hati." Lalu pergi meninggalkan Ines dan Nindia tanpa basa-basi lagi.

"Dasar, susah banget bilang suka." Gerutu Ines sembari meletakkan cemilan yang dia bawa Sari dapur.
**

Tidak mengerti dengan Yuda, Nindia sudah mengacuhkan dia selama sakit. Nindia juga tidak menjawab telepon atau chat. Dikira Yuda akan pergi dengan sendirinya, kenyataannya Yuda tiba-tiba datang menjenguk. Lalu datang lagi saat Nindia sudah sembuh. Tidak ingin ambil pusing, Nindia tidak ingin berpikir keras mengenai alasan Yuda tetap datang. Baginya, asal Yuda bisa membantunya selama kuliah. Tidak ada masalah.

"Bisa anter aku gak?." Tanya Nindia saat diperjalanan pulang.

"Boleh, kemana?." Tanya balik Yuda.

"Ke sini." Nindia menyodorkan sebuah alamat.

Yuda mengamati kertas kecil ditangannya. "Oke, kapan?. Aku bisanya paling Rabu. Soalnya Sabtu Minggu harus ke Yogya."

"Gak masalah." Jawab Nindia dengan cepat. Dia tidak mau datang ke tempat Pak Jaka dengan angkutan umum. Dia punya sebuah rencana.

Rabunya, Yuda sengaja cuti untuk mengantar Nindia ke tempat Pak Jaka. Tidak jauh sebenarnya, tapi sekalian saja Yuda ingin mengajak Nindia pergi seharian. Selama Nindia sakit, dia tidak pernah lagi pergi berdua. Paling hanya antar jemput saja.

"Disini deh kayaknya." Yuda melihat kertas kecil berisi alamat lalu satu rumah besar yang ada dihadapannya. Tempatnya bersih dan penuh tanaman. Mirip dengan rumah Nindia dulu, sebelum Pak Jaka pergi,

"Iya. Pasti ini." Jawab yakin Nindia. Dia tau selera Pak Jaka terhadap tanaman. Dia juga tau bagaimana Pak Jaka sangat suka rumahnya bersih. Tidak suka debu sedikitpun hinggap di bagian rumahnya. Dan yang paling mencolok adalah Pak Jaka senang setiap tanamannya diberi label. Dari berbagi sudut pandang matanya, Nindia bisa melihat semua tanaman didalam pot depan rumah itu diberi label.

Nindia sudah tidak ingat lagi dirumahnya, pot mana yang masih bertahan dengan label yang masih terbaca. Semua sudah tidak pernah diperbaharui, sudah hilang sendiri oleh terpaan sinar matahari dan hujan deras. Mirip dengan keadaan keluarganya yang sudah hancur diterpa semua keadaan tak terduga.

"Aku turun dulu ya. Kamu mau ikut masuk?."

Berpikir sejenak, akhirnya Yuda memilih untuk tidak ikut masuk. "Aku tunggu di mobil aja."

"Oke, aku sebentar kok."

Pertama kali melangkahkan kaki di halaman rumah baru ayahnya, dendam Nindia seolah semakin membara. Layaknya api yang semakin menyala saat terus disirami bensin. Nindia semakin yakin akan tekadnya untuk membalaskan dendam. Nafas dihirupnya dalam-dalam, lalu akhirnya Nindia dengan mantap mengetuk pintu rumah itu dan yang membukakan pintu adalah seorang laki-laki berperawakan tinggi besar dengan penampilan yang sangat rapih juga wangi. Wajah laki-laki didepannya mirip sekali dengan wajah wanita yang pernah dilihatnya di foto yang ditunjukkan ibunya.

Senyum yang semula ingin dia tunjukan mendadak jadi terasa sangat berat, wajahnya kencang. Uratnya pun sampai keluar. Namun, ketika sadar laki-laki yang ada dihadapannya ini menunjukan raut bingung campur kesal buru-buru Nindia sadar kalau dia harus tersenyum saat itu juga. "Hai.. kenalin, saya Nindia.." Nindia memperkenalkan dirinya dengan penuh percaya diri. Senyuman terbaiknya pun diperlihatkan. Dia menampilkan dirinya bak ibu peri. Baju feminim berwarna biru muda, rambut yang digerai agak bergelombang dengan wajah yang di beri make up tipis-tipis.

"Kamu Ikbal kan?." Lanjut Nindia. Selama ini dia hanya tau kalau ibu tirinya itu punya dua anak, tapi Nindia tidak pernah mau untuk bertemu dan melihat langsung ibu tirinya atau siapapun yang berhubungan dengannya. Jadi, saat ini adalah hari pertama Nindia menginjakkan kakinya dirumah baru Pak Jaka dan selingkuhannya yang sudah sah jadi istrinya.

Pria berkacamata yang ada dihadapannya hanya mengangguk sekilas.

"Salam kenal. Aku anak pertama dari Pak Jak.. Sorry maksudnya ayah." Koreksi Nindia yang tidak sengaja memanggil ayahnya dengan panggilan nama dan Nindia merasa cukup kesal karena harus menyebut Pak Jaka dengan sebutan ayah. Rasanya janggal dan tidak nyaman. Sudah 15 tahun dia tidak memanggil ayah pada Pak Jaka.

"Oh.." Hanya itu tanggapan dari Ikbal kemudian berlalu pergi masuk ke dalam mobilnya untuk bekerja, sebelum akhirnya Hani-ibu Ikbal datang dari belanja menghampiri anak kesayangannya.

"Mau berangkat mas?. Hati-hati ya jangan lupa makan." Dan adegan selanjutnya yang sungguh sebenarnya Nindia enggan untuk melihatnya, akhirnya terlihat juga. Ikbal yang tadi berwajah masam dan jutek, langsung berubah hangat pada ibunya. Tampak sekali Ikbal tumbuh dengan penuh kasih sayang. Nindia benci itu. Dia tidak merasakan hal sehangat itu lagi dari ibunya. Tanpa sadar Nindia menitikkan air mata, tapi kemudian dalam berapa detik Nindia segera hapus air mata itu dengan tangannya sendiri.

"Aku berangkat dulu ya, mah. Jangan cape-cape."

Wanita yang dianggap nenek sihir oleh Nindia tersenyum bahagia kemudian mengusap wajah anaknya. "Iya, mas tenang aja. Oh ya hari ini jangan lupa ya buat ajak Mila makan malem bareng. Sekalian kan kita harus ngomongin buat acara lamaran nanti."

"Iya mah."

Lalu disana Nindia akhirnya semakin yakin untuk menghancurkan kebahagiaan ibu tiri dan kakak tirinya itu. Keadaan di rumah yang dipijakinya saat ini berbanding terbalik dengan keadaan di rumahnya selama 15 tahun terakhir ini.
**

Semua Tentang KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang