Dua tahun kemudian kemudian...
Arunika mengheningkan cipta saat semua kerjaannya beres. Baby Al yang berusia satu tahun setengah terlelpas di pangkuannya. Adit bersama Vian masih menonton televisi. Arunika memindahkan Al perlahan ke kasur.
"Ini udah jam sepuluh malam kok kalian masih nonton tv aja." Arunika memasang wajah sebal saat melihat suami dan putra sulungnya masih asyik menonton televisi.
"Ini film horor, Mah. Tanggung." Kata Vian yang nggak mau melewatkan film horor.
"Masih bisa dilanjut besok." Arunika mematikan televisi.
"Yaaah!" Protes Vian.
"Ke kamar terus tidur. Ayo, besok sekolah."
Vian menatap sedih papahnya.
"Ayo, sana tidur. Kenapa malah natep papah begitu?" Adit berpura-pura lupa dengan rencana yang dirahasiakannya dari Arunika.
Vian memutar bola mata jengah. "Oke, deh."
Vian beranjak disusul Adit.
"Eh, mau ke mana? Mau tidur sama Vian?"
"Iya." Jawab Adit singkat.
"Yaudah." Arunika tampak kecewa. Dia sedang merindukan kebersamaan berdua dengan Adit.
***
"Pah, lilinnya jangan dinyalain sekarang." Protes Vian. Tambah besar Vian makin cerewet.
"Ya, sekaranglah biar nanti mamah langsung tiup lilin. Kamu gimana sih?"
"Nanti aja, Pah. Pas mamah liat kuenya baru dinyalain lilinnya." Kata Vian lagi keras kepala.
"Kamu itu ngeyel kaya mamah kamu. Untung kamu ganteng kaya papah."
Vian nyengir. "Ya, kan Vian lahir dari rahim mamah pasti sifat mamah banyakan ada di Vian. Sebenarnya, Vian nggak rela papah bikin kuenya banyak bentukan bunga mawar kaya begini. Bagusan gambar klub bola kesukaan kita, Pah. Real Madrid." Vian mengangkat tangannya membentuk huruf M.
"Yang ulang tahun itu mamah kamu. Bukan kamu, Vian. Mamah mana suka bola."
"Ya, kan, yang penting intinya kue."
"Ayo, keluar." Adit menyalakan lilin di atas kue.
"Ussttt..." Adit menempelkan jarinya di bibir agar Vian diam dan nggak ngoceh-ngoceh terus.
"Happy birthday to you." Adit dan Vian bernyanyi bersamaan saat mendekati Arunika yang hendak tidur di samping Al.
Senyum merekah menghiasi wajah Arunika. "Ini baru jam sepuluh belum jam dua belas."
"Nggak papa, mah. Kalau jam dua belas Vian tidur nanti nggak bisa ikut rayain ultah mamah padahal itu kuenya Vian yang request."
Adit melirik Vian dengan lirikan tajam. Bagaimana bisa Vian bilang kalau Vian yang request bukannya dia selalu ngotot kalau bentuk kuenya itu harus kaya klub sepakbola kesukaannya.
Vian tersenyum menyadari lirikan tajam papahnya.
"Ayo, tiup kuenya, mah."
Saat Arunika hendak meniup lilinnya, Al terbangun dan menangis.
***
"Namanya Aditya Chandra Danurdara." Seorang pria dengan kacamata hitam dan warna jas senada dengan kacamatanya menyerahkan berkas-berkas kepada wanita berkulit putih dengan tahi lalat kecil di atas bibirnya.
"Jadi, dia yang membuat perusahaan papah bangkrut?"
Pria itu mengangguk.
"Dia punya modal dan investor yang berbondong-bondong berinvestasi di perusahaannya."
"Apa dia single?"
"Sudah berkeluarga. Dia memiliki dua anak. Apa rencana kita, Nona?"
"Kepulanganku ke Indonesia bukan untuk menghancurkan bisnisnya. Tapi, dirinya. Aku akan menghancurkannya seperti dia menghancurkan bisnis papah."
Pria berkacamata itu manyun. "Saya tahu itu. Terus rencana kita apa?" katanya tidak sabar.
"Masukan aku ke dalam kantornya. Selebihnya itu urusanku."
"Nona, persaingan bisnis ini memang hal yang biasa. Kompetitor itu memang di mana pun ada, tapi kalau menyerang pribadi itu udah keluar jalur namanya."
"Ini bukan urusanmu. Ini urusanku. Kamu hanya perlu melakukan apa yang aku perintahkan."
Pria itu mengangguk. Dia jelas nggak setuju dengan perkataan Widya tapi dia bekerja untuk Widya.
***
Arka melempar koran ke Adit pagi ini saat dia dan Lanna mampir ke rumah Adit. Arunika tampak sibuk menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya.
"Udah denger kematian Felix?" tanya Arka serius.
"Udah." Jawab Adit.
"Sebegitu lemahnya dia sampai memilih menenggak racun."
"Dia nggak bisa bersaing sama kita."
Arka menyesap susu hangat yang dibuatkan Lanna.
"Nggak mungkin juga kan Felix bunuh diri hanya karena bangkrut. Pasti ada masalah lain." Lanna menimpali. Dia duduk di sebelah Arka.
"Perusahaannya selalu kalah tender berkali-kali dengan perusahaan kita. Mungkin dia udah capek."
"Aku denger anaknya nikah sama bangsawan Eropa." Arka memotong daging panggang buatan Arunika.
"Pagi-pagi udah gosip." Omel Arunika.
"Nik, kamu nggak mau minta asisten rumah tangga gitu. Capek loh anak udah dua semuanya diurus kamu. Istri CEO kok mau capek-capek ngurusin hal beginian."
Arunika menatap Lanna. "Awalnya aku pikir bisa lakuin semuanya dengan baik tapi ya, akhirnya aku nyerah."
"Oke, aku bakalan minta tiga asisten rumah tangga ke agensi penyaluran ART." Adit berkata serius.
Bukannya nggak mau ada ART tapi Arunika nggak suka ada orang asing di rumahnya. Apalagi kalau orang asing itu menyentuh barang-barang kesukaannya dengan alasan kebersihan. Mau heran, tapi itulah Arunika. Harus kelelahan dulu baru dia menyadari kalau asisten rumah tangga itu cukup penting untuk dia yang sekarang memiliki dua anak.
***
Ini ceritanya nyambung dari MLWTB 1&2 ya. Bisa dibaca dulu Marriage Life With The Boss 1&2.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage Life With The Boss 3
Romance"Nanti aja, Pah. Pas mamah liat kuenya baru dinyalain lilinnya." Kata Vian lagi keras kepala. "Kamu itu ngeyel kaya mamah kamu. Untung kamu ganteng kaya papah." Vian nyengir. "Ya, kan Vian lahir dari rahim mamah pasti sifat mamah banyakan ada di V...