Setibanya di kediaman empat bersaudari itu, Indah berdiam diri sejenak menghadap pintu. Sebelum pintu diketuk, dirinya menghela nafas sejenak. Gadis itu sedang mempersiapkan diri, sebab dirinya yakin, ia akan berdebat dengan adik-adiknya. Walaupun sebenarnya, ia tidak akan pernah siap jika harus berdebat bersama adik tesayangnya. Siap atau tidak siap, Indah harus melakukannya.
Tok tok tok
"Ini Indah!" serunya.
Tak lama, pintu terbuka. Memunculkan Bi Tuti yang memasang senyuman dengan manis. Setelah itu, Indah segera masuk kedalam rumah dan menduduki sofa diruang tamu. Bi Tuti menghampirinya untuk memberi kabar tentang Kathrina.
"Non Atin sudah lebih baik, tapi tadi sempat manggil papa dan mama nya sambil tidur. Bibi rasa, Non Atin sedang rindu dengan mereka," lapor Bi Tuti.
"Ah, begitu, Bi. Makasih, ya. Nanti Indah ngobrol sama Atin," timpal gadis itu. "Bi, boleh minta tolong panggil Ashel sama Marsha? Ada yang mau Indah obrolin sama mereka," sambungnya untuk meminta tolong.
"Iya, non. Bibi panggil dulu, ya."
"Terima kasih bibi."
Selama Bi Tuti sedang memanggil kedua adiknya, Indah sedang berusaha untuk menenangkan dirinya, agar emosinya tidak meluap pada saat mengobrol nanti. Nafasnya ditarik, lalu buang. Dirinya melakukan itu secara berkali-kali dengan perlahan. Tubuhnya disandarkan di sofa dengan mata terpenjam. Pikirannya terlalu berisik untuk menenangkan diri. Lagi-lagi masalah menghantam keluarga kecil ini. Kapan kebahagiaan itu akan datang?
"Kak, kenapa?" tanya Marsha.
Pertanyaan itu membuat Indah sedikit terkejut, sebab tadi dirinya terlaru ralut dalam pikirannya. Saat mata terbuka, kedua adiknya telah berada dihadapannya. Sontak Indah memperbaiki posisi duduknya dengan tegak. Kemudian menunjuk bagian sofa yang kosong, bermaksud untuk menyuruh adiknya duduk. Kedua adiknya mengikuti arahan dari kakak tertuanya itu.
"Kakak dikeluarin dari tempat kerja," ungkap Indah.
"HAH? Are you serious?!" timpal Marsha.
"EH, beneran?! Kenapa bisa, kak?" sahut Ashel.
"Pak Abraham bayar bos ditempat kerja kakak untuk keluarin kakak darisana. Dia bayar 50 juta buat itu semua. Dan yang bikin kakak semakin sakit hati, dia bilang kalau kakak udah nyulik anaknya, yaitu Kathrin," jelas Indah.
"Sumpah, dia orang gila! Dia yang buang darah dagingnya sendiri dipanti asuhan, tapi seolah kita yang bersalah disini," kesal Ashel.
"Sick!" sosor Marsha.
Indah menghela nafas sejenak, "biar kakak fokus sama kerjaan dan cari uang buat kita semua, izinin kakak buat berhenti kuliah, ya?" tanyanya dengan lirih.
Sontak kedua adik itu menatap Indah dengan sangat tajam. Benarkah kata-kata itu keluar dari mulut sang kakak? Apakah kakaknya itu benar-benar gila? Disaat orang lain tidak mempunyai kesempatan untuk berkuliah, dia malah menyia-nyiakan kesempatan itu. Sungguh, emosi keduanya menjadi tidak stabil saat mendengar akan hal itu.
"Kamu jangan ikut-ikutan sakit, deh, kak. Kakak sadar atas omongan kakak barusan?" ujar Marsha dengan datar. "Asal kakak tahu, orang-orang diluar sana, mereka kesulitan dan bahkan tidak mempunyai kesempatan untuk berkuliah. Sedangkan kakak disini, mau menyia-nyiakan kesempatan yang mahal itu?" sambungnya.
"Ngga gitu, Sha. Kakak rasa, kakak harus lebih mementingkan kalian dibandingkan diri kakak sendiri. Yang terpenting, kalian yang nanti akan melanjutkan dan menjadi orang yang hebat atas sarjana kalian masing-masing. Tugas kakak sekarang cuma cari biaya untuk menuju masa depan kalian dan keperluan kalian juga," jelas Indah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Losing Home
Teen FictionSebuah kisah 4 bersaudari yang sudah tidak bersama lagi dengan kedua orang tuanya, sebab kedua orang tuanya telah meninggal dunia. Sang papa bekerja sebagai TNI Angkatan Laut yang meninggal pada 3 tahun lalu disebabkan tenggelamnya kapal pada saat p...