Bab 8

167 24 2
                                    

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang dan ditemani pula dengan kemacetan perjalanan, akhirnya telah sampai dirumah kedua mereka. Pak Ramlan mencoba untuk membangunkan Indah terlebih dahulu dengan cara memanggilnya, kemudian karena Indah tipe orang yang mudah terusik, sehingga dirinya langsung membuka mata dengan lebar. Sejenak, kakak sulung itu berdiam diri untuk mengumpulkan nyawa yang masih tertinggal. Dia mengusap wajah dengan lembut, lalu melihat ke arah luar melalui jendela. Dirinya sadar, kini mereka sudah berada ditempat pemakaman dua orang tercintanya.

Setelah nyawanya sudah berhasil terkumpul, Indah mulai membangunkan sang adik yang masih setia menyandarkan kepala di pundaknya. Ia mengelus dengan lembut pipi Marsha sembari terus memanggil namanya. Adik itu terusik, namun dia tak membuka matanya sama sekali. Tiba-tiba saja, dia memeluk seseorang yang berusaha untuk membangunkannya itu dari arah samping.

"Marsha, bangun yuk. Kita udah sampai tau," kata Indah.

"Ngantuk," singkat Marsha.

"Ya ampun, terus kamu mau gimana? Tidur disini aja? Biar kakak sama Atin yang masuk, kalau memang kamu masih mau tidur," aju Indah.

Mendengar akan hal itu, dirinya segera menegakkan tubuhnya. Kedua tangannya terangkat ke arah mata, lalu ia mengucek matanya yang masih terlihat rabun. Indah yang sejak tadi memperhatikan adiknya itu, kini segera meraih kedua tangan Marsha yang nakal. Sudah berkali-kali dirinya membahas tentang ini, namun adik-adiknya itu selalu lupa. Adik ketiga itu akhirnya sadar atas kejadian beberapa detik lalu, namun ia hanya tersenyum pada kakaknya itu. Ia tahu kesalahannya, sehingga dirinya hanya bisa menampilkan senyuman sebagai tanda maaf dan memberi tahu bahwa dirinya itu lupa.

"Tangannya jangan nakal!" seru Indah.

"Hehehe, maaf.."

"Udah sampai?" tanya seseorang dari bangku depan.

Kathrina dengan tiba-tiba membuka suara disaat kedua kakaknya itu sedang berbincang, tentu saja membuat keduanya terkejut. Walaupun begitu, Indah sangat bersyukur, sebab dirinya tidak perlu lagi untuk membangunkan sang adik yang kedua kalinya. Jadi, mereka bertiga dapat segera memasuki pemakaman.

"Sudah, non," jawab Pak Ramlan.

"Ini mau masuk sekarang atau mau ngumpulin nyawa kalian dulu?" tanya Indah.

"Sekarang aja, yuk!" timpal Kathrina.

"Kalian ngga akan pusing?" tanya Indah untuk memastikan.

"Ngga akan, kak," jawab Marsha.

"Baiklah. Kalian bilang aja sama kakak kalau ada apa-apa, ya.."

"OKAY!" sahut kedua adik kecil itu dengan serentak.

Indah beralih lawan bicara menjadi Pak Ramlan. "Bapak, kita masuk dulu, ya. Kalau ada apa-apa, bapak langsung hubungi saya," pamitnya.

"Laksanakan, non!"

"Ohh iya, sambil bapak nunggu kita, bapak boleh nongkrong dulu aja di warung biar ngga bosan. Ini uangnya, pak," perintah Indah sembari menyerahkan selembar uang berwarna merah.

"Ngga apa-apa, non, saya nunggu disini aja. Uangnya disimpen aja sama non Indah, ya? Jangan selalu ngasih uang ke saya, padahal bukan termasuk gaji saya juga," tolak Pak Ramlan.

"Pak, Indah ikhlas. Bapak berhak nerima uang ini kok. Lagipula waktu dulu, papa dan mama juga sering seperti ini, kan? Jadi, uang ini harus bapak terima," paksanya sembari membawa uang itu kedalam kepalan tangan bapak supir itu.

"Terima kasih banyak, non. Semoga rezekinya selalu lancar," timpal Pak Ramlan.

"Aamiin..."

Setelah pembicaraan selesai, ketiga kakak beradik itu mulai melangkahkan kaki untuk masuk kedalam rumah keduanya itu. Namun disaat mereka tepat berada di pintu masuk, dengan serentak ketiganya mematung sempurna. Ada sosok yang tengah menangis ditengah-tengah kuburan kedua orang tuanya. Suara dia yang sedang bercerita itu terdengar jelas bersama isak tangis yang terdengar pilu. Sungguh, hati mereka seperti ditusuk berkali-kali.

Losing HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang