Bab 7

222 28 4
                                    

Pukul 02.00 dini hari, kamar Kathrina telah dilanda keheningan. Adik dan kakak itu memutuskan untuk mengakhiri tontonannya sejak 2 jam yang lalu, kemudian mereka tidur bersama dengan gaya saling memeluk satu sama lain. Itulah gaya yang wajib digunakan pada saat tidur bersama.

Saat keduanya tertidur dengan pulas, tiba-tiba anak ketiga dari keluarga kecil ini mendatangi kamar Kathrina dengan derai tangisnya. Ia mendekat pada kakak sulungnya, lalu menyentuh tangan sang kakak dan memanggilnya pelan, bermaksud untuk membangunkan. Sebenarnya, dia tidak mau mengganggu waktu istirahat kakaknya itu, namun hal ini bersifat penting. Jika tidak melakukan pada malam ini, perasaanya akan benar-benar kacau, sehingga dirinya tidak akan bisa menutup mata.

"Kak Indah..." panggilnya dengan pelan. Suara itu terdengar kecil, hampir sama dengan sebuah bisikkan.

Merasa ada yang mengganggu, dirinya membuka mata dan menoleh ke arah seseorang yang telah membangunkannya tadi. Walaupun dengan kondisi lampu yang mati, tetapi Indah mengetahui bahwa itu adalah Marsha. Namun yang membuatnya sedikit terkejut, mengapa adiknya itu menangis? Mata coklatnya terlihat sayu dan sembab.

"Hei, kenapa?" tanya Indah sembari membawa adiknya untuk duduk disampingnya. Anak pertama itu memeluk sang adik dengan hangat, juga tak lupa dengan elusan yang begitu lembut.

Marsha membalas pelukkan itu. "Maaf, kak," katanya.

"For?" bingung Indah.

"Segala maaf untuk kejadian hari ini, sampai aku berani bersikap ngga sopan sama kakak. Maaf udah bentak dan cuekin kakak. Aku nyesel, kak. Aku minta maaf.." jelas Marsha dengan tangisnya yang semakin deras.

"Ya ampun, Sha, kakak kira kenapa. Ini semua bukan kesalahan kamu, jadi kamu ngga perlu minta maaf. Kakak ngerti kok, kamu dan Ashel itu hanya perlu waktu," timpal Indah sembari melepas pelukkan itu.

"Ngga, kak, disini aku salah. Ngga seharusnya aku berperilaku tidak sopan sama kakak. Maafin aku, kak," kekeh Marsha.

"Iya, kakak maafin kamu, Macha," sahut Indah. "Berhenti nangisnya, ya? Jangan sampai asma kamu kambuh hanya karena ini," sambungnya.

Marsha menggeleng, seolah menjelaskan bahwa penyakitnya itu tidak akan kambuh.

"Aku kaget, ya ampun. Kenapa tiba-tiba banget, sih? Kalau cuma minta maaf, seharusnya besok juga masih bisa, kan?" tanya Indah.

"Tadi papa dan mama dateng ke mimpi aku, kak. Mereka marah atas sikap aku yang kurang ajar sama kakak. Dan, kakak tau kalau sejak kemarin-kemarin aku bersikap cuek sama Kathrin? Karena disitu aku lagi bener-bener ngerasa jengkel atas perilaku kedua orang tuanya. Ternyata, mama dan papa marah juga atas sikap cuek aku ke Kathrin. Sekarang aku juga mau minta maaf sama dia, kak," terang Marsha.

"Lebih baik jangan sekarang, karena tadi dia tiba-tiba pusing lagi. Keadaanya belum pulih 100%. Besok aja, ya?" larang Indah.

Marsha mengangguk. "Kak Indah, aku boleh minta peluk lagi?" pintanya.

Anak pertama yang menjadi kepala keluarga itu tersenyum hangat, kemudian segera menyambut adiknya didalam dekapan. Marsha mengeluarkan seluruh tangis dan kecemasannya itu di sebuah pelukkan. Tangisnya berderai, dia terisak dengan hebat. Indah membiarkan adiknya untuk mengeluarkan seluruh hal yang telah membebani sang adik, sehingga ia hanya bisa memberikan kehangatan, kata-kata, dan elusan yang penuh akan kasih sayang. Rasanya, hanya inilah obat dari segala luka.

Ditengah-tengah Marsha menangis, dia tiba-tiba diam dan tubuhnya melemas. Indah merasakan juga tubuh adiknya yang semakin lemas itu. Napas adik kedua itu terengah-engah, sepertinya sangat berat untuk bernapas. Dengan begitu, kakak tertua dapat merasakan segala hal yang sedang dirasakan oleh Marsha, sebab mereka masih dalam keadaan memeluk satu sama lain.

Losing HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang