7 | Karma

29 22 10
                                    

Happy reading

*
*
*

"Nes ayo cepet bangun, sekolah." Luna sedang duduk di depan meja rias dan  menggosok-gosokkan rambutnya yang basah pada anduk supaya rambutnya yang lumayan panjang itu cepat kering.

Inessa yang terusik oleh suara kakaknya terbangun dari tidurnya. Ia mengucek mata kirinya dan membuka perlahan kedua matanya. Lalu ia duduk menatap kakaknya yang sedang mengeringkan rambut basahnya itu.

"Jam berapa ini kak," tanya Inessa dengan suara serak khas bangun tidur.

"Bentar lagi setengah enam, cepetan mandi," jawab Luna tanpa melihat ke arah Inessa.

Inessa turun dari ranjang tempat tidurnya dan berjalan lunglai menuju ke kamar mandi.

"Ibu sarapan aku udah habis, aku berangkat dulu yah," ujar Luna saat ia sudah menghabiskan sarapannya lalu pamit kepada kedua orangnya. Selang beberapa detik sarapan Inessa pun habis.

***

"Nih helmnya." Setelah Luna mengambil  helm yang Inessa berikan, ia merapihkan rambutnya. Sekiranya sudah rapi, Inessa menyalami tangan kakaknya.

Sepanjang jalan saat akan menuju ke kelas, Inessa tak henti-hentinya untuk tersenyum pada orang yang berpapasan dengannya. Ia tak mau dicap sombong oleh orang lain, apalagi sama kakel. Bisa berabe deh kalo berurusan sama kakel, terlebih pula kalau kakelnya modelan yang resek.

Ketiga teman Adriana tertawa terbahak-bahak mengingat kejadian kemarin yang dialami oleh Adriana.

"Masa lo kemarin ketimpa bola voli dan malah pura-pura pingsan dong," ejek Zara tertawa.

"Terus yah yang paling bikin ngakak itu, lo digendong sama cowok modelan opet, kalo gue sih ogah banget yah." Tak henti-hentinya mereka bertiga mengejek  Adriana sambil tertawa lepas.

"Bisa diem gak sih lo pada, gue kemarin malu banget tau tiba-tiba ketimpa bola voli. Ini tuh gara-gara lo sih." Adriana menuduh pada Velita.

"Loh kok gue sih?"

"Iyalah, lo kan yang ngajak ke lapangan ngeliatin yang main voli."

"Bukannya lo sendiri yang ngajak, gue cuma kasih tau cuma ada yang main voli doang." Velita membela diri karena ia tak terima dirinya dituduh.

"Iya kali ah, pusing gue." Eh tapi kemarin itu yang gendong gue modelan opet? Kalo beneran jijik banget sih gue." Adriana menampakan wajah jijiknya.

"Iya beneran Ri gue ga ngebohong," jawab Adin menahan ketawanya.

"Ihhh pantesan dia bau banget. Ihh tuh kan baunya jadi kebayang-bayang," ujar Adriana frustrasi dan mengacak-ngacak rambutnya.

"Apa jangan-jangan kemarin itu lo kena karma instan?" Pikir Adin mengetuk-ngetuk jari telunjuk ke dagunya.

"Iya deh kayaknya lo kena karma instan," sahut Velita.

"Hah? Karma instan?" Tanya Adriana tak mengerti dengan ucapan temennya tersebut.

"Iya, secarakan lo kemarin ngetawain si wibu yang jatuh itu."

"Tapikan lo semua juga pada ngetawain kok gue doang yang kena bola sih."

"Iya emang sih kita semua ngetawain, tapikan lo yang paling lama plus kencang tuh ketawanya. Kita udah pada berhenti ketawa eh lo malah ketawa
mulu ga berhenti-berhenti."

"Eee iya sih," ucap Adriana tersenyum lebar menampakan gigi rapinya.

"Bayangin Ri kalo cowok yang gendong lo kemarin ternyata jodoh lo," ucap Zara.

"Apaan sih Zara jangan gitu dong, ogah banget gue," ujar Adriana jengkel.

"Bayangin aja dulu."

"Zara diem ihh jangan dibahas lagi."

"Bayangin Ri bayangin."

"Zara," rengek Adriana.

"Bayangin bayangin."

"ZARAAAAA," teriak Adriana menggelegar seruangan kelas.

"Adriana bisa diem kagak lo berisik banget." Bel belum berbunyi dan waktu pun masih pagi, tetapi keadaan di kelas tidak kondusif. Ketua kelas memarahi Adriana beserta kawannya itu untuk diam. Lantaran dari tadi meraka berisik, apalagi Adriana, ia pagi-pagi udah teriak-teriak gak jelas.

"Apaan sih lo dari kemarin lo ikut-ikutan aja, lo ga punya temen apa gimana?" Tanya Adriana dengan muka sinisnya.

"Lo itu mengganggu kenyamanan kelas ini tau gak?!" Hardik Sania.

"Eh eh lo kok bentak-bentak Adriana. Kalo lo udah berurusan sama dia, lo juga harus berurusan sama kita-kita." Velita maju dan mendorong pundak Sania yang lebih pendek darinya dengan jari jelunjuknya.

"Kurang kencang tuh," celetuk salah satu siswi di sana yang sedari tadi memperhatikan adegan mereka. Siswi tersebut bernama Rea, Rea Fahira. Ia berbicara seperti itu sambil duduk di atas meja dan memakan kripik kentang tanpa ada beban.

Mendengar ucapan Rea, Velita dan yang ada di sana menoleh ke arah Rea. Velita tersenyum menyeringai dan terus maju menghadap Sania. Sania yang diperlakukan seperti itu merasa tak nyaman. Ia membalikkan badannya lalu pergi ke luar kelas, entah kemana ia pergi.

Inessa yang melihat kejadian tersebut hanya diam tanpa ingin ikut campur urusan tersebut.

***
To be continued...

– Senin, 8 Juli 2024




Mengikuti Arah Angin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang