Keesokan harinya, sinar matahari yang lembut merembes melalui tirai kamar tidur, membangunkan First dari tidurnya. Ia membuka matanya dengan perlahan, merasakan kehangatan pagi yang menyelimuti tubuhnya. Masih mengenakan pakaian semalam, ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan dengan langkah malas menuju kamar mandi.
Setelah mandi, First mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk. Ia berjalan ke meja di samping kasurnya, tempat ponselnya tergeletak. Tidak ada notifikasi apapun. Biasanya, Khao akan mengiriminya pesan, tetapi pagi ini tidak ada pesan sama sekali. Mungkin karena kejadian semalam, pikir First.
First membuka ponselnya dan mengirimkan pesan kepada Khao terlebih dahulu.
"Tung"
"Kamu udah bangun?"
Setelah mengirim pesan, First kembali menaruh ponselnya di atas meja. Perutnya yang kosong mulai terasa lapar, sehingga ia memutuskan untuk sarapan. Ia berjalan menuju dapur, mencari sesuatu yang bisa dimakan. Dengan malas, ia memilih untuk memasak mie instan daripada yang lain.
Sudah pukul 10 pagi, tetapi Khao belum juga membalas pesannya. Ini tidak seperti biasanya. Apa mungkin Khao mengabaikan pesannya? First memutuskan untuk menelepon, tetapi tetap saja tidak diangkat. Rasa khawatir mulai menyelimuti hatinya. Apa mungkin terjadi sesuatu dengan Khao?
Tanpa ragu, First mengambil kunci mobilnya dan segera berangkat untuk menemui Khao. Ia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, khawatir jika benar-benar terjadi sesuatu dengan pacarnya. Sesampainya di apartemen Khao, First memarkir mobilnya dan berlari menuju pintu apartemen.
First mencoba menelepon Khao lagi sambil menunggu di depan pintu. "Tung, ayo angkat," ucapnya dengan cemas.
Akhirnya, Khao mengangkat teleponnya, "Kamu di mana? Aku di depan apartemen kamu."
Tidak ada jawaban dari Khao, lalu tiba-tiba pintu terbuka. Di sana berdiri Khao yang tampak kelelahan, matanya bengkak seperti habis menangis semalaman. Ia hanya berdiri, menahan tangisnya. Bibirnya melengkung ke bawah, tangannya meremas ujung bajunya, dan kepalanya tertunduk menatap lantai.
"Tung, kamu kenapa?" tanya First khawatir.
Khao mendekat dan memeluk First, menenggelamkan wajahnya di dada First. Tangis yang sedari tadi ia tahan kini pecah, membuat baju First basah oleh air matanya.
"Fir, maaf. Aku egois banget," isaknya dalam pelukan First.
First mengusap kepala Khao dengan lembut, mencoba menenangkan pacarnya yang masih menangis. "Gak apa-apa kok, aku nggak marah sama kamu," ucapnya dengan lembut.
Khao mengangkat wajahnya, sedikit mendongak karena First lebih tinggi darinya. First mengusap air mata yang terus mengalir di pipi Khao, lalu mengajaknya masuk. Mereka berjalan menuju kamar, dan First mendudukkan Khao di tepi tempat tidur sebelum pergi mengambil segelas air putih.
"Minum dulu," katanya, menyerahkan gelas kepada Khao. Setelah itu, First menaruh gelas di meja dan mengusap lembut kedua bahu Khao. "Udah ya, jangan nangis lagi."
Khao mengangguk pelan, menatap First dengan mata berkaca-kaca. "Fir,maaf. Aku egois sama kamu, nggak pernah ngertiin kamu," ucapnya dengan suara bergetar.First tersenyum lembut.
"Kamu jangan tinggalin aku ya, aku sayang sama kamu," kata Khao, matanya kembali berkaca-kaca.
First menarik Khao ke dalam pelukannya lagi, menenangkan pacarnya yang akan menangis lagi. "Aku nggak marah kok sama kamu. Maaf semalam aku ninggalin kamu," ujarnya.
Khao menarik diri dan berkata, "Aku pacar yang buruk buat kamu."
First menggeleng tegas. "Nggak! Aku nggak suka kamu ngomong kayak gitu. Aku sayang sama kamu, kamu pacar yang baik buat aku," tegasnya.