Jangan sungkan berbagi jika ada yang janggal dan salah!
___________________________________________
🍁
"Kalian kapan pergi dari rumah gue?" Aku bisa melihat Dio dan Bang Leo terkesiap dengan pertanyaanku.
Saat ini kami sedang makan malam bersama. Menu kali ini tetap bubur. Aku suka semua jenis bubur, dan dua orang di depanku ini pembenci bubur tingkat tinggi. Namun, apa peduliku? Anggap saja ini balasan karena sudah membuatku khawatir dan secara tidak langsung ikut membuatku marah.
Bayangkan saja, setelah dongkol setengah mati di sekolah, pulang-pulang bukan mendapat ketenangan, tapi malah semakin membuat murka. Sebenarnya, jika kamar mereka tidak seperti kapal pecah, aku nggak akan menyiram mereka dengan air dingin.
"Ngusir, nih?" tanya Dio. Aku hanya mengangkat bahu acu. "Sebenarnya..." Dia menggantungkan ucapannya, lalu bersandar sambil melipat tangan di dada. "Gue nggak berniat pergi, sih. Tapi, karena gue baik hati dan tahu diri, kayaknya besok gue dah cabut. Pagi-pagi."
"Lebih cepat, lebih baik." Aku menjeda. "Kalau Bang Leo?" lanjutku, ini bukan ngusir dalam artian kasar, ya. Karena aku nggak bisa nampung mereka terus-menerus. Bang Leo harus kembali kuliah, dan Dio pasti dicariin maminya. Dan tabiat mereka sama persir, nggak bakalan pergi tanpa di "usir".
"Sama. Besok gue balik kos," jawabnya enggan, sesekali memasukkan bubur dalam jumlah kecil ke mulutnya. "Ini beneran nggak ada makanan lain? Gue enek, Dek." Muka Bang Leo cemberut.
Aku suka mimik mukanya yang ini. Rasanya puas. Menandakan Bang Leo punya banyak emosi, dia bisa mengutarakan semua emosi itu.
"Kalau gini, gue mending pulang lebih awal."
"Ya udah, kenapa nggak pulang?" tanyaku sengit ke arah Dio. Dia tidak menjawab.
"Lain kali, kalian kalau habis mabuk atau kelahi, jangan ke gue. Ini peringatan terakhir," lanjutku, lalu berdiri dan meninggalkan mereka di meja makan. Aku sudah selesai.
**
"Halo. Gimana?"
Sesampainya di kamar, aku langsung mengambil hp dan menelpon Aya. Tadi, sebelum pulang kami menyusun rencana dan bagi-bagi tugas juga. Kami sepakat untuk menghubungi semua guru yang mengajar di kelas kami dan bertanya satu-satu siapa saja yang absen di jam pelajaran mereka selama 2 bulan terakhir. Ini akan menjadi pekerjaan tersulit kami, karena tidak akan mudah.
Kami akan mulai dari beberapa guru yang lumayan dekat dengan kami dan terlihat bersahabat.
"Malam, Lira. Aku udah minta ke beberapa guru tadi. Tapi hanya Bu Eri yang merespons, yang lainnya belum. Kamu?" Bu Eri adalah guru sejarah yang baik hati. Aku tidak terkejut dia orang pertama yang merespons dengan cepat.
"Belum, satu pun belum. Tapi gue udah minta bantuan sama wali kelas dan menjelaskan situasinya."
"Lalu gimana?"
"Lihat aja nanti."
"Oke. Aku nggak akan nanya." Dia terdengar kecewa. "Hm, lalu dua orang itu gimana?"
"Nggak gimana-gimana. Mereka lagi makan sekarang. Kenapa?"
"Nyesel aku nanya-nanya." Aku tahu, aku bisa mendengarnya. Dan aku juga tahu apa maksud sebenarnya. Dia ingin aku cerita lebih banyak tentang mereka, ingin aku membagi beberapa emosi agar tidak aku pendam sendiri. Dia khawatir denganku. Karena sumber stresku hanya dari mereka--setahunya.
"Ya udah. Selamat malam." Lalu aku mematikan panggilan secara sepihak. Dan yakin manusia di seberang sana akan sangat kesal.
Aku terdiam sebentar di meja belajar, sebelum berdiri dan berlalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ENCORE
Novela JuvenilLira, tidak pernah menyangka bahwa dia akan bisa jatuh cinta dengan Dio. Cowok yang beberapa tahun terakhir menganggap dirinya sebagai sahabat terbaik Lira. Yang bagi Lira, dia tidak ubah benalu yang menggerogoti inangnya, oke ini berlebihan. Tetapi...