Lira: Chapter XIII

4 0 0
                                    

Mari berkabar jika ada yang salah dan rumpang!

______________________________________
🍁

Aku jarang peduli dengan keributan— yang sering banget terjadi di luar kelas. Apalagi di jam-jam yang bisa dibilang krusial. Sebelum bel masuk berbunyi. Namun, saat melihat Aya yang lari dengan wajah panik, aku langsung sadar sepertinya aku juga akan terlibat dalam keramaian tersebut.

"Dio berantem!" Aku nggak begitu terkejut karena ini bukan kali pertama aku dengar tentang Dio yang kelahi. "Dia berdarah." Kata terakhir cukup buat kakiku berdiri spontan.

"Di mana?"

"Lorong gedung kakel Mipa."

Di dalam pikiranku, aku menyumpahi Dio karena tindakan gegabahnya. Aku nggak peduli dia benar atau salah dalam pembelaannya nanti. Tapi jikalau sampe berdarah,  dia benar-benar udah totol banget. Ingat dia nggak pandai kelahi. Oleh sebab itu, aku biarkan saja kakiku berpacu lebih cepat dari yang aku kira.

Dari kejauhan aku bisa melihat keruman orang yang menghalangi pandangan dan jalan. Pikirku, apa baku hantam memang seseru itu untuk di tonton. Di antara keruman itu tidakkah ada satu yang bisa menghentikan mereka. Dan sekali lagi aku menyumpah di dalam hati untuk mereka semua.

"Cara lewatnya gimana?" Aku bertanya pada diri sendiri saat langkahku sudah nggak bisa lagi berpacu sebab terlalu banyak orang yang menghalangi. Dan membuatku hanya bisa menonton dan teriak dari kejauhan.

Jika kalian pikir aku akan berlari menembus kerumunan, lalu menjadi super hero kesiangan, maka kalian salah besar. Nyatanya aku hanya bisa menonton keramaian dari arah paling belakang.  Mendengar Dio menggeram keras, beberapa kali meloncat sebelum dia rebah. Ada beberapa temannya yang aku ketahui membantunya. Dan itu membuat suasana semakin pecah.

Nggak berselang lama, ada beberapa guru datang mengamankan. Aku bernapas lega.

"Dasar bajingan pengecut!" Terakhir, teriakan Dio menggema di bawah rengkuhan guru. Wajahnya berantakan. Aku berdiri melihatnya yang semakin jauh sambil berontak.

Kerumunan sudah mulai mereda, tapi aku kasih berdiri di tempat. Dadaku bergemuruh cepat. Ada apa? Aku belum pernah merasa gemuruh dada cemas yang sahebat ini.

"Ra, Dio sepertinya dibawa ke UKS." Aya menyadarkanku. "Ayo!"

Dan kembali kakiku berlari tanpa bisa aku kekang. Membawaku lebih cepat dari pikirku.

Dadaku masih bergemuruh akibat darah yang memompa lebih cepat. Dan tanpa basa basi langsung menyumpahi Dio yang tengah berbaring di bankar UKS. Aku nggak peduli banyak orang yang mungkin akan melihatku.

Dan benar saja. Saat fokus membersihkan lukanya, dari ekor mata aku melihat Dila. Sepertinya sudah lama di sana, sungkan untuk mendekat. Atau mungkin sengaja mengawasi kami.

Tanganku terjeda sebentar, menggantung di udara saat  Dio bertanya apakah aku bisa menemaninya sore ini. Katanya dia akan bertemu dengan Maminya. Aku nggak berpikir dia akan terlalu takut untuk bertemu orangtuanya dalam keadaan seperti sekarang. Dia sudah terbiasa. Dan bukan sekali dua kali mendapat luka. Mungkin pertemuannya nggak akan jauh beda dari beberapa minggu yang lalu.

"Kenapa harus gue? Dila kan ada," ujarku. Dan dia hanya diam sebagai respons membuatku merasa semakin nggak enak.

"Lo cantik juga." Setelah diam cukup lama Dio kembali membuat suasana semakin canggung. Andai saja dagingnya halal dimakan, mungkin aku akan membunuhnya langsung saat ini. Perkataannya membuatku bergidik ngeri.

ENCORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang