Lira: Chapter VI

5 0 0
                                    

Jika ada yang janggal dan salah, mari berbagi!

___________________________________________

🍁

"Sampai saat ini belum ada respons. Kayaknya harus datangi langsung satu persatu. Pesan saja tidak cukup." Aku juga berpikir begitu. Guru-guru tidak semudah hanya dengan mengirimkan mereka pesan, lalu mau membantuku. Aku harus mendatanginya langsung, meminta dan atau merekap sendiri.

Aku mendengus, "Sepertinya begitu."

Setelahnya panggilan itu berakhir karena kami berdua harus siap-siap berangkat.

Aku turun ke bawah dan melihat Dio dan Bang Leo yang tengah sarapan. "Tumben bangun lebih dulu? Habis mimpi apa? " kataku sedikit mengejek mereka. Karena biasanya mereka molor sampai siang kalau tidak dibangunin. Tapi hari ini aku tidak perlu susah-susah turun tangan. Dan satu lagi, jika mereka habis mabuk atau kelahi seperti kemarin, biasanya tidqk aku bangunin. Karena aku baik dan peka.

"Mimpi basah, nih." Jawaban yang membuat aku menatap Dio jengah. Dia selalu membuat suasana jadi tidak kondusif.

"Jorok!" sinisku ke arahnya.

"Ya, kamu juga. Ngapaiin nanya mimpi orang, dijawab jujur malah marah." Perkataan Bang Leo kembali membuatku kesal

"Ho'o, kasih paham Bang."

"Lo juga jangan jujur amat di depan perempuan, apalagi itu adik gue!" Bang Leo kini beralih menatap Dio garang.

"Ya, jujur lah. Gue emang mimpi basah-basahan tadi malam. Hujan gede, petir juga ada. Gitu aja marah, malah dibilang jorok lagi. Otak kalian tuh yang jorok."

Setelah luapan emosi yang tidak terduga, aku merasa bersalah dan bodoh bersamaan. Apa iya otak gue yang jorok? Tapi kan, mimpi basah memang yang.... itu kan? "Kalimat lo aja yang ambigu. Kalau ngomong jangan setengah-setengah."

"Lo aja yang nyahut duluan. Jadi orang jangan sering potong omongan, jadi salah pahamkan?" ujarnya santai dengan tangan yang terulur mengambil beberapa potong roti dan topples selai.

"Ya, udah. Semerdeka lo aja." Aku menyerah, percuma juga adu mulut sama orang satu ini, yang ada buang-buang tenaga. Bang Leo juga nggak bisa diandelin buat bantu. Lihat sekarang dia malah sibuk makan dan menyimak. "Lo masuk sekolah kan hari ini?"

Perkataanku membuat tangan Dio menggantung, tidak jadi memasukkan roti ke mulut. "Penginnya, sih, masuk," jawabnya setelah jeda sebentar. "Tapi luka gue belum sembuh, masih kelihatan jelas birunya. Jelek."

Aku mengangguk paham. "Tapi lo pulang, kan?"

Aku tidak begitu peduli dia mau masuk apa tidak hari ini. Yang terpenting tugas yang aku minta terselesaikan.

"Nah itu dia!" Dia kembali memakan roti yang ditangannya sampai habis, baru setelahnya kembali bicara, "Gue minta keringanan dikit boleh?"

"Lo nggak jadi pulang? Katanya hari ini mau balik bareng." Bang Leo ikutan nimbrung.

"Nah, itu dia Bang. Plan berubah, Ibu suri entar siang baru OTW pergi. Tapi gue janji nggak akan nginap, suer." Dah ketebak, Dio mana bisa nebeng cuma 24 jam aja.

"Terserah lo aja," ujarku sambil berdiri. "Yang penting lo udah kasih tahu cewek lo. Risih gue didesak mulu."

Di rumah mumet, di sekolah lebih lagi.

"Lo udah cek lagi nggak di rumah lo?"

"Hah?"

"Maksud gue, lo udah cek keadaan rumah lo? Nyokap lo udah tahu kalau lo nggak bisa pulang?"

ENCORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang