[Four]

43 16 7
                                    

Suara pintu yang terbuka buat Evan lirikkan mata sejenak tanpa menolehkan kepala. Dua netra kelam itu kemudian tatap lurus kedepan sembari biarkan seseorang masuki kamarnya dengan langkah terburu, tetap nyamankan diri bersandar pada punggung kursi panjang yang tengah diduduki. Aroma khas masuk ke indera penciuman, semakin kuat saat langkah kaki terdengar semakin dekat.

 Aroma khas masuk ke indera penciuman, semakin kuat saat langkah kaki terdengar semakin dekat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kau tidak perlu mencari Jake, Niki." Ucapnya kemudian sebelum lawan bicaranya hentikan langkah.

Dengar ucapan barusan jelas buat yang lebih muda semakin percepat langkah hingga akhirnya sepasang tungkai itu berhenti tepat di hadapan Evan. Raut wajah tak senangnya terlihat begitu kentara, "apa maksudmu?"

Abaikan kehadiran si bungsu, Evan dengan santai meminta salah satu pelayan untuk tuangkan anggur pada gelasnya yang hampir kosong ditangan. Suara air yang tercipta pecah keheningan sesaat yang sebelum obrolan mereka tersambung kembali.

"Apakah perkataanku barusan kurang jelas untukmu?"

"Aku tanya alasannya."

"Kita akan kembalikan Caelum." Evan nikmati anggurnya sejenak, biarkan Niki menunggu kalimat selanjutnya, "John akan melakukannya."

Niki masih tidak mengerti. Mulutnya baru saja hendak terbuka namun Evan lebih dulu bersuara.

"Jake harus bertemu dengan The Moira. Sebagai satu-satunya penduduk Caelum yang tersisa, jelas ia punya keterkaitan dengan The Moira. Beruntung jika memang Jake adalah putra Herest. Kalaupun tidak, setidaknya kita tahu apa yang akan terjadi nantinya setelah penduduk Caelum dan The Moira bertemu. Sisanya, biarkan John yang akan selesaikan."

"Kau mengorbankan Jake demi keinginanmu?" Niki tatap wajah Evan kesal. Emosinya tercipta, mana bisa ia mendengar hal seperti ini. "Jangan bilang kalau kau sengaja membiarkannya hidup selama ini karena kau telah menantikan hal ini?"

Evan dongakkan kepala, balas menatap Niki yang berdiri di hadapan dengan sebelah bibir yang terangkat, "memangnya menurutmu alasan apalagi yang membuatku membiarkannya disini?"

Puncak emosi Niki terasa. Ia memang tahu kalau Evan tak sebaik yang dipikir, tetapi Niki sendiri tak menyangka kalau Evan akan sejahat ini sampai mengorbankan teman kecil mereka, bahkan yang Niki anggap sudah seperti saudara kandungnya sendiri.

Yang lebih muda kepalkan dua tangan dengan kuat sembari gemeretakkan gigi kuat-kuat, coba tahan emosinya sebisa mungkin. Evan tentu tidak bodoh untuk menyadari kemarahan lawan bicaranya, namun apa pedulinya?

Usai letakkan gelas yang sedari tadi berada di genggaman, Evan berdiri, dekati sang adik yang masih redamkan amarah. Dengan pelan, si sulung bisikkan kalimat, "kalau kau memang mengkhawatirkannya, mengapa kau tidak ikut saja dengan John mencari Absconditus?"

.

.

.

absconditus [ENHYPEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang