7

126 19 4
                                    

Setelah memastikan keadaan Sovia dan Hexa aman, ketiga pemuda itu pun kembali kelapangan untuk melanjutkan pelatihan mereka yang tertunda, Sovia yang melihat kesempatan pun lantas bangkit dari ranjangnya dan berjalan menegur pemuda manis yang masih terbaring nyaman di ranjang sebelah.

"Hexa, kita perlu bicara!" Ujar Sovia dengan nada yang sedikit meninggi.

"Ya udah sih Bu, tinggal ngomong aja! Toh kita kan sebelahan, ga mungkin juga saya ga denger suara ibu." Sahut Hexa acuh seraya berbalik memunggungi si cantik yang merajuk itu.

"Kamu tuh tau sopan satun ga sih?! Kalau diajak bicara itu DUDUK!! Lihat wajah orang yang ajak bicara! Bukan malah leyeh-leyeh ga jelas begitu! NGERTI GA HEXA!!" Bentak Sovia geram.

Hexa menarik nafas lelah. Dengan wajah malas, Hexa bangkit dan duduk menghadap sang guru perempuan.

"Apa?" Tanyanya singkat.

"Saya peringatkan kamu ya! Jauhi Arlingga! Dia itu cowo tulen! Ga mungkin dia suka sama bocil jamet kayak kamu, apa lagi kamu itu laki-laki, sudah sepatutnya kamu introspeksi diri dan ga usah sok kecentilan lagi sama Arlingga! Karena sampai kapan pun --- kamu ga akan bisa gantiin posisi saya di hati dia! Ngerti kamu!" Tunjuk Sovia tajam.

Mata Hexa menyipit. Rupanya sang guru sudah menandainya sebagai rival yang pantas untuk disingkirkan keberadaannya.

"Kalau benar apa yang ibu katakan tentang pak Arlingga, tentunya ibu ga perlu sekhawatir ini dong tentang saya, sampai harus mengancam saya segala, buat apa?"

"Dan tentang posisi ibu di hati pak Arlingga, sumpah saya ga pernah ada niatan sedikit pun untuk menggantikannya. Karena saya tau --- saya ga mungkin bersaing dengan seorang simpanan bos, yang berstatus janda anak satu yang sok polos dan sok lemah kayak ibu."

"Jadi menurut saya --- kalau pun diantara kita ada yang harus sadar diri --- itu ibu! Bukan saya! Terakhir, saran dari saya --- mending, ibu deh, yang jauh-jauh dari pak Arlingga! t
Tapi --- itu pun kalau harga diri ibu masih tersisa." Sindir Hexa.

"KURANG AJAR KAMU YA!!" Sovia melayangkan tangannya pada Hexa namun dengan secepat kilat Hexa mampu menahan tangan lentik itu agar tak sampai ke pipinya.

Hexa tersenyum miring saat sang wanita berusaha menarik lengannya dari cengkraman tangan yang muda.

"Jangan marah dong, kan saya hanya mengungkapkan fakta yang ibu sembunyikan selama ini. Gimana? Double kill ga tuh?!" Hexa tersenyum puas.

"LEPASIN TANGAN SAYA!! Saya peringatkan sama kamu Renzana Hexa! Jangan coba-coba bermain dengan saya! Saya akan kasih kamu pelajaran yang lebih menyakitkan dari ini! Cam kan itu!"

"Apaan sih?! Lu itu guru ya bukan preman pasar! Mainannya ngacem mulu! Heran! Kenapa juga si Arlingga bisa suka sama cewe kayak lu? Apa cewe baik di dunia ini udah punah sampe dia harus muji kuntilanak merah kayak lu gini? Iddiihh... Gua sih ogah!" Umpat Hexa.

"Jaga mulut kamu ya, Hexa! Sampai kapan pun kamu ga bakal bisa dapetin Arlingga! Di hati Arlingga cuma ada saya! Dan kamu ga akan bisa menggantikannya!! Ga akan!!"

"Ah, yang bener? Mau taruhan?" Tantang Hexa.

"JANGAN GILA KAMU!!" Umpat Sovia.

"Wuisshh, biasa aja dong bu ga usah ngegas gitu --- hujan lokal nih jatohnya." Hexa melucu.

"Denger ya bu, ibu ga usah kepedean nganggep pak Arlingga cuma punya ibu, cuma suka sama ibu, cuma ibu yang ada di hatinya, haaallaahh --- ga mungkin! Saya ga percaya! Itu semua bulshit!"

"Saya akan tunjukan sama ibu, arti ibu yang sebenarnya di mata pak Arlingga, sehingga ibu ga akan salah paham lagi atas semua kebaikan yang pak Arlingga kasih ke ibu selama ini."

[BL] Batas WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang