03 | Malam Berdarah

85 6 0
                                    

Kapten tim basket SMA Angkasaraya bermain bagus dengan teman-teman kompleksnya meskipun arena pertandingan jauh dari standar peraturan. Jangan lupakan Ryean, teman seklubnya di sekolah itu juga bermain bagus. Di sekolah setim, tetapi setiap bermain di arena kompleks keduanya adalah rival. Dari awal bermain, keduanya sama-sama menjadi tulang punggung tim. Qarell berhasil membawa timnya unggul sementara. Sepatu baru dari Diara membuatnya semangat.

Decit suara sepatu beradu dengan lantai semen terus berlanjut. Luka di tangan Qarell karena terkena kuku jari tangan saat latihan basket minggu lalu di sekolah bertambah satu. Itu tidak menjadi alasan permainan Qarell akan menurun.

Kemenangan sudah di depan mata. Qarell berancang-ancang memasukkan bola ke ring, tetapi tahu-tahu seorang menjewer telinganya kencang dan menyeretnya jauh-jauh dari arena pertandingan. Siapa lagi jika bukan Diara.

"Ma," ringis Qarell berusaha melepas jeweran Diara.

"Makanya kalau main inget waktu," omel Diara.

Jeweran Diara bertahan sampai keduanya tiba rumah. Qarell langsung mengusap-usap kasar telinganya yang merah usai Diara melepaskannya.

"Langsung mandi. Awas kalau balik ke sana."

Qarell tak menyahut, hanya menatap punggung Diara yang menjauh sembari meratapi nasib kupingnya yang masih terasa panas.

Keduanya bertemu kembali 90 menit kemudian, saat Qarell merasa lapar juga saat Diara tepat menyiapkan makanan yang baru dimasaknya untuk makan malam. Tumis pokcoy, kentang balado, dan nila goreng tertata di meja makan berukuran sedang. Qarell langsung menyingkirkan ingatan soal beberapa saat lalu dan mengambil piring untuk memulai mengisi perut, terlebih mengambil nila goreng yang sudah diincarnya.

"Mama nggak bisa nemenin kamu makan. Mama mau jengukin anak mama."

Qarell terdiam. Xarell?

Ia sempat salah tangkap sebelum akhirnya mengerti.

"Oh iya, yang bentar lagi anaknya nambah," singgung Qarell sebentar mulai menikmati makanannya tanpa mau pikir pusing.

"Jangan gitu kamu. Doa yang baik biar masa depan Mama sama kamu jadi lebih baik."

"Iya, iya."

Siapa sih yang enggak pengen hidup lebih baik?

Qarell tak melarang sang mama dekat dengan lelaki manapun, asal lelaki itu baik dan tak menambah beban mamanya. Cukup dirinya saja yang menjadi beban sang mama.

***

Seperti ada benda berat yang jatuh ke tempat tidur. Qarell berjengit setelah menoleh ke belakang dan serta-merta berdiri melihat kembarannya sudah nyaman dalam posisi memeluk guling yang entah masuk lewat mana. Xarell sangat nekat.

Xarell pasti masuk lewat jendela karena pintu utama ia kunci dari dalam. "Hehhh lo," tegas Qarell lalu melangkah lebih mendekati.

Xarell tak bergerak sedikit pun dan mata itu terpejam halus. Xarell tidak tidur, tapi Qarell meyakini kembarannya itu tengah lelah. Qarell membiarkan suasana hening sampai Qarell mengaca tanpa sebab hingga tiba-tiba menatap dua lukas di tangannya.

Saat hendak mengambil duduk di tepi tempat tidur, Xarell lebih dulu melakukannya. "Ada minum nggak?" pinta Xarell bak majikan.

Namun ekspresinya yang lemas membuat Qarell iba. "Bentar," sahutnya datar segera melangkah ke dapur.

Tak sampai semenit, Qarell kembali dengan gelas berisi air putih. Xarell menerima dan menegaknya sampai tandas.

"Yang rajin minum air putih sama olahraga biar sehat."

Qarell menasehati tetapi tak digubris. Sampai ujungnya Qarell mengembuskan napas kasar sendiri. Ponsel Qarell di atas meja menampilkan notifikasi pesan masuk. Saat Qarell hendak membukanya, terdengar deru motor yang familier. Bukannya Diara tak membawa motor? Diara hanya pergi tidak jauh dari rumah.

Di sisi lain, Xarell langsung panik karena berpikir Diara yang pulang. Mata Xarell mencari tempat untuk bersembunyi di kamar yang sempit itu. Pilihannya kolong tempat tidur, tetapi ternyata ada banyak barang seperti dua bola basket dan beberapa pasang sepatu. Qarell juga tegang tetapi segera memastikan sendiri ke depan dan tak menemukan mamanya. Hanya deru tamu tetangga depan. Qarell kembali ke kamar dengan lega. "Bukan Mama," lapornya setelah menghadap Xarell.

Xarell juga jadi lega, tetapi Qarell memperhatikan garis-garis kesal di wajah kembarannya. Bukan karena kejadian barusan, karena sebenarnya garis-garis kesal itu sudah terlihat dari sebelumnya. Pasti yang lain. Sayangnya Xarell jarang sekali bercerita dan mencurahkan isi hatinya.

Qarell tahu-tahu ada ide.

"Gue mau keluar, ikut nggak?" ajaknya yang membuat Xarell menatapnya penuh. "Motor Mama di rumah kok," tambahnya.

"Asal lo nyetir bener," jawab Xarell setelah sempat berpikir. "Pas juga gue gak bawa motor."

"Oke."

Malam ini firts time bagi Qarell membonceng kembarannya. Bukan berarti baru bisa naik motor. Qarell sudah bisa mengendarai motor dari dua tahun lalu.

"Ayo," tegas Qarell yang sudah menunggang di atas motor dan sudah mengunci rumah serta menitipkan kuncinya pada tetangga.

Qarell mulai menjalankan motor mamanya menuju suatu tempat yang sudah ada di pikirannya. Perjalanan cukup panjang, tetapi akhirnya terbayarkan begitu tiba di tempat tujuan. Lalu Qarell tersenyum penuh arti melihat Xarell mulai mengekspresikan ketakutannya melihat pemandangan di depan. Proyek gedung mangkrak yang horor tanpa secercah lampu sedikitpun. Qarell sengaja mengalihkan suasana hati saudaranya secara anti mainstream seperti ini.

"Ngapain?"

Qarell cepat menahan tangan Xarell saat berbalik badan. "Gak pa-pa. Gue pernah beberapa kali ke sini sama Ryean, aman."

Qarell melepaskan Xarell lalu duduk menyandar motor dengan santai. Xarell tak mau kalah dan pelan-pelan mengambil duduk di samping kembarannya.

"Kenapa lo takut banget sama yang berbau horor? Emang lo pernah liat setan?" Qarell bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari gedung horor lalu tersenyum remeh. "Lebih sereman mana setan sama pengusik dalam bentuk orang?"

"Untungnya orang-orang di sekitar gue baik-baik aja." Qarell menoleh Xarell yang masih tanpa suara. Selang beberapa detik, Qarell menepuk-nepuk gemas bahu kembarannya itu. Bagus jika ucapannya dicerna Xarell, tidak juga terserah.

Qarell sengaja tak bicara lagi hingga perkataan Xarell membuatnya tersenyum.

"Thanks, udah perhatian."

"Jadi gak sia-sia gue nyari lo."

Qarel tersenyum lebih bahagia dari sebelumnya dengan segaris haru di wajahnya.

Tiga puluh menit berlalu. Qarell melakukan perjalanan mengantar pulang Xarell yang pucat. Kembarannya itu sepertinya tidak enak badan. Qarell memacu motornya dengan kecepatan lebih dari biasanya.

"Pelan."

Xarell menegur. Qarell mulai sadar dan langsung menurunkan kecepatan.

Nasib apes tak ada yang tahu kapan datang. Baru beberapa menit menurunkan kecepatan, tiba-tiba mesin motor yang mereka tunggangi mati. Belum sempat menepi, keduanya ditabrak dengan keras oleh kendaraan roda empat dari belakang. Qarell mendengar jelas suara dentuman setelah itu. Qarell masih sadar meski seperti tinggal seujung nyawa. Ia tak tahu posisi saudara kembarnya di mana.

Kelip bintang-bintang di langit masih dapat ia saksikan samar.

Kemudian semuanya gelap.

***

Fantastic YearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang