04 | Qarell dan Kebingungannya

83 9 2
                                    

Qarell menyentuh kepalanya yang pusing saat sadar dari pingsannya. Matanya mulai mengamat sekitar. Tembok bercat putih, tiang infus dan Diara?

Namun, mengapa wajahnya berbeda? Qarell hanya terdiam saat wanita seumuran mamanya itu tersenyum tipis dan menyapanya pelan. "Hei."

Tak ada sepatah kata yang keluar. Qarell tak mengenal wanita itu. Atau mungkin wanita itu teman mamanya? Berpikir tak mau membuat malu mamanya, Qarell menjaga sikapnya. Ia membalas senyum meskipun sedikit terlambat. "Tante lihat Mama aku?"

Wanita yang duduk di sisi ranjangnya itu mengangkat alis.

"Tante ... temen Mama aku, kan?"

Sudah bingung, wanita itu semakin terlihat bingung. "Kamu nggak ingat Tante?"

Qarell menggeleng dengan hati bingung, sedangkan wanita seumuran mamanya itu mengekspresikan raut tidak percaya. Wanita itu sempat menatapnya lagi sebentar sebelum akhirnya meninggalkan ruang rawatnya seperti hendak memanggil seseorang.

Qarell mendadak ngeri. Gagasan dari kepalanya, berpikir jika wanita itu pura-pura mengenalnya. Tampak jelas tas mahal wanita itu tertinggal di ruangannya. Sebelum wanita itu kembali, Qarell segera pergi dari ruangannya dengan menyeret tiang infusnya secara nekat.

Langkahnya tertatih-tatih. Qarell banyak meringis karena beberapa jahitannya masih sangat fresh. Qarell mencari siapa pun yang ia kenal. Diara. Xarell. Navy? Teman kecil sekaligus calon saudaranya itu. Atau Om Evan? Tetapi mana mungkin. Calon suami mamanya itu sedang di luar kota.

Diara tahu-tahu datang dari arah berlawanan di antara orang tak dikenal sebelum berbelok ke salah satu koridor. "Mama!" teriak Qarell segera mengikuti dengan kekuatan yang ada.

Diara menghentikan kakinya di depan salah satu ruang rawat pasien. Menangkap mamanya terisak, Qarell dengan cepat mendekat dan merengkuh perhatian wanita itu. Qarell tak berkata apa-apa. Isakan pilu sang mama membuat perasaannya sedih.

Beberapa saat kemudian, perempuan tak dikenal tadi datang di antara keduanya. Qarell pun melepas pelukannya. Dan yang terjadi setelah itu adalah Diara yang pergi meninggalkannya dengan wanita tak dikenal tersebut.

"Mama kamu masih butuh waktu." Wanita itu menahan tangan Qarell yang hendak mengejar Diara. "Percaya sama Tante."

Qarell tak mengerti ucapan wanita itu juga sikap Diara ke padanya. Apakah motor yang ia gunakan rusak parah bahkan ringsek sehingga Diara marah besar. Apa Diara sedang tidak punya uang dan marah karena ia malah kecelakaan? Itu semua bukan alasannya karena selama ini Diara menganggapnya lebih berharga dari segalanya.

Namun, rasanya sekecewa itu hanya karena ditinggalkan tanpa alasan jelas.

***

Qarell hanya pasrah saat kembali berbaring dan wanita tak dikenalnya itu menyentuh tangannya sembari menatap area luka jahitannya. Kini Qarell yang mulai ditatap, tetapi wanita itu hanya terdiam.

Siapa wanita ini? Qarell belum lepas dengan pertanyaan itu.

Pria berkemeja biru memasuki ruang rawat Qarell dengan senyum lega. "Ahh, ketemu juga. Ngapain sih kelayapan di luar."

Pria itu menepuk-nepuk punggung Qarell gemas. Di sisi lain, Qarell terdiam dan berpikir keras. Sebenarnya apa yang terjadi? Siapa lagi pria ini? Mengapa mirip dengannya. Qarell seperti melihat dirinya versi usia hampir lima puluh tahunan.

"Kamu tidur aja sekarang. Gak usah mikir apa-apa sama ini-itu. Om sama Tante gak bakal ke mana-mana."

Qarell benar-benar bingung dan sulit mengungkapkannya.

Gelang identitas pasien yang melingkar di tangannya itu tiba-tiba menjadi perhatiannya. Nama belakang yang tertulis adalah "Aditya". Padahal nama belakang Qarell "Dewangga". Qarell membenarkan posisi gelang identitasnya dan membaca nama yang tertulis.

Xarellano Sekaya Aditya.

Apa?

***

Ini sulit dipercaya. Pantulan wajah pada kaca itu bukan miliknya. Qarell menampar pipinya keras berharap terbangun dari mimpinya. Namun sudah tiga kali hingga membuat salah satu sudut bibirnya berdarah pun tak ada hasil.

Xarell.

Di mana Xarell?

Sepertinya Qarell butuh penjelasan kembaraannya. Langkahnya tertatih keluar dari kamar mandi. Wanita belum jelas namanya sedang tertidur di sofa. Qarell kembali kelayapan mencari kakak kembarnya. Qarell tak menemukannya di sepanjang koridor. Rumah sakit ini besar dan bertingkat. Qarell tak akan mampu jika menyusuri seluruhnya. Lebih baik langsung bertanya pada resepsionis.

Akan tetapi, seorang pria menghadang jalannya. Dan Qarell sudah ingat orang itu.

"Kenapa masih kelayapan?" ucap pria itu separuh lelah.

Qarell sudah ingat. Pria itu adalah Lano. Kakak kandung ayahnya yang sempat turut membesarkannya dari bayi sampai lelaki itu pergi tanpa kabar. Jujur Qarell juga rindu, tetapi apakah pria itu masih menganggapnya keponakan?

Sayangnya, Qarell tak pernah mendengar pria itu mencarinya apalagi datang ke rumah kontrakannya.

Qarell berjalan melewati Lano begitu saja dengan mata berlapis cairan bening. Sejujurnya Qarell rindu omnya itu.

"Rell."

Qarell tak mengacuhkan panggilan itu sampai akhirnya Lano kembali menghadang jalannya. "Kamu masih sakit, Rell," ucap Lano tak sepenuhnya tegas.

"Om minggir. Aku mau cari orang." Pada akhirnya Qarell terpaksa bersuara.

"Dia udah pulang duluan. Dia gak pa-pa. Kamu disuruh fokus pulih dulu."

Jadi?

Mendadak Qarell terdiam. Apakah Xarell baik-baik saja atas kecelakaan kemarin malam?

Qarell bersyukur. Namun ia juga sangat membutuhkan Xarell sekarang.

"Sabar dulu. Om bakal anterin kalau kamu udah sehat."

Qarell tak merespons. Qarell hanya terus diam.

Sementara Lano tak mengerti apa-apa maupun permasalahannya.

***

AN :
Hari ini dobel karena kemarin libur. ♡♡♡

Fantastic YearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang