10 | Bukan Masalah

45 8 0
                                    

Xarell tak tahu harus memulainya dengan bagaimana. Di sisi lain, Xarell sangat menikmati waktunya bersama Diara. Tidak ada lagi Diara yang pergi saat melihatnya. Tidak ada lagi Diara yang menutup pintu rumah saat ia datang. Keadaan ini bukan masalah, tetapi kesempatan.

"Kok bisa kamu jatuh mulu. Perasaan kamu gak pernah gini."

Pagi ini Xarell kesandung batas lantai kamar mandi lagi. Luka yang sempat mengering itu berdarah lagi. Sekarang Diara tengah mengobatinya. Sakit, tetapi perhatian Diara lebih menghangatkan hatinya. Yang lama-lama membuatnya terenyuh. Cairan bening menyelimuti mata beningnya.

Diara selesai memasangkan plester anti air pada dagu sang putra. "Abis ini jangan ja-"

Ucapan Diara terhenti saat mendongak. Xarell tak bisa menahan tangisnya lalu bergerak lembut memeluk Diara. "Aku kangen Mama," ucapnya dari lubuk hati yang terdalam.

Diara membalas meskipun sempat hanya terpaku karena bingung dan mungkin aneh. Tak lama kemudian, Xarell dapat merasakan kelembutan tangan Diara mengelus-elus punggungnya. Perhatian yang entah ke berapa kalinya ia dapatkan lewat raga kembarannya.

Pada akhirnya Xarell sendiri yang mengakhiri pelukannya. Xarell menyeka air matanya dengan tangannya.

"Udah, udah." Diara meraih tangan putranya lalu mengajaknya pergi dari ruang tamu lalu akhirnya berhenti di depan kamarnya. "Tunggu bentar."

Diara melempar senyum sebelum memasuki kamarnya. Saat keluar, wanita itu membawa jam tangan keren di tangannya. Kemudian Diara merangkul putranya ke meja makan. Bukan hendak makan, tetapi memberikan jam tangan keres yang ia tenteng.

"Ini dari Om Fandi. Inget kan Om Fendi adiknya Om Evan? Om Fandi beliin ini dari sebelum kamu kecelakaan, dititipin ke Om Evan. Om Evan baru kasih ini ke Mama kemarin, dan Mama baru bisa kasih ke kamu sekarang."

"Mama pasangin, ya." Diara antusias memasangkan jam tangan tersebut ke pergelangan tangan putranya. "Bagus jamnya, Ell," ucapnya menatap jam tangan yang sudah terpasang sempurna.

"Semoga nanti kita bisa ketemu adiknya Om Evan lagi." Diara mengakhiri ucapannya dengan senyum.

Xarell tak peduli jam tangan itu. Xarell tak peduli siapa itu Om Fandi. Siapa itu Om Evan. Senyum Diara menyalurkan bahagia untuknya.

Senyum yang akan dilihatnya setiap hari.

Akan Xarell garis bawahi, ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk kedepannya.

***

"Api, ayo maen cepeda."

"Api, itu gambal apa?"

Wajah itu tidak jauh berbeda dari dulu meskipun sudah tumbuh tinggi. Dia Api, teman masa kecilnya. Dulu ia dan Qarell sering bermain ke rumahnya bersama sang mama. Dan ia selalu menangis setiap diajak pulang karena saking betahnya. Teman kecil yang ia rindukan. Ayah Api adalah teman sekolah mamanya. Setelah Diara pergi dari rumah, tidak ada yang mengajaknya ke rumah temannya itu. Ia tak pernah bertemu Api juga Om Ecan yang baik dan terkadang lucu.

"Mama lupa bawa jaket kamu. Jadi Mama minta Om Evan bawain jaket Navy."

Jadi?

Navy itu Api.

Om Evan itu Om Ecan.

"Itu Qarell." Diara melihat kehadiran putranya. Tanpa basa-basi menuntun tamunya mendekati sang putra. "Yaudah ya ...."

Diara pergi setelah mengembangkan senyum kalem dan mengusap halus punggung remaja laki-laki yang Diara sempat sebut namanya "Navy" itu. "Navy, sepedahan sendiri?"

Sementara orang di hadapannya tersenyum, Xarell menatap penuh wajah di hadapannya itu. Tidak salah lagi. Dia adalah Apinya. Rasa bahagianya tidak bisa diutarakan dengan kata-kata. Xarell serta-merta merangkul tubuh yang sudah dirindukannya. Bibirnya merekah senang.

Xarell mengakhiri pelukannya cepat. "Sini."

Xarell menarik teman masa kecilnya itu untuk duduk pada sofa. Sudah bersiap antusias menanyakan kabar, Xarell tersadar akan satu hal. Wajahnya memaling dengan garis wajah yang berubah. Saat melirik lalu melihat ekspresi kebingungan orang di sebelahnya, ia menceletuk dengan sesal. "Lupa mau ngomong apa."

Xarell menghindari tatapan teman kecilnya sebelum akhirnya melihat pergerakan halus Navy---ya mulai sekarang Xarell akan memanggil sesuai namanya---yang menaruh tas punggungnya sampai dia menunjukkan suatu karya. Lukisan burung-burung berterbangan di bawah mendung. Xarell meraihnya lalu menatap Navy dengan sorot mata bertanya-tanya.

Navy tersenyum suram. "Aku baru dikasih tahu Ayah, kalau kamu sempat kecelakaan." Navy melanjutkan, "Maaf baru ke sini sekarang."

Xarell tak tega melihatnya. Kali ini ia tak akan diam. "Nggak. Lo gak perlu minta maaf. Lo nggak salah." Ada jeda sejenak. "Ngomong-ngomong ini karya lo?"

Dari kecil Xarell tahu Navy hobi corat-coret, sementara dirinya dan Qarell bagian merecoki kegiatannya. Navy mengangguk jujur sebagai respons. Xarell tersenyum lalu menatap lebih teliti lukisan itu. Simpel, tetapi bagus. Xarell juga baru sadar ada nama Navy dan tanggal pembuatannya di bawah kanan. Navytara Davandra. Senin 2 Februari 20XX. Wah, lukisan yang dibuat Navy tiga tahun lalu. "Ini buat gue ya."

Xarell menggangkat lukisan tersebut, memeluknya erat di dada. Xarell tak peduli jika karya itu hanya ditunjukkan bukan untuk dikasihkan. Namun, sepertinya memang dikasihkan karena Navy tak protes sama sekali.

"Eh, jam tangan kita sama." Tanpa ragu, Xarell menyentuh jam tangan yang terpasang pada tangan Navy. Meniliknya dan benar-benar persis. Pasti dari Om Fandi Om Fandi itu. Wajar saja. Ia atau lebih tepatnya Qarell saja dapat, apalagi Navy yang keponakannya.

Wajah yang kental akan sorot sesal itu akhirnya sedikit bercahaya oleh senyum tipis. "Dari Om Fandi juga?"

Ternyata Navy belum tahu. Xarell langsung mengangguk yang membuat senyum Navy lebih terlihat.

Di pikiran Xarell saat ini dipenuhi ribuan pertanyaan yang sama. Mengapa selama ini Qarell tak pernah menceritakan soal Navy maupun Evan?

Namun Xarell harus menepis pertanyaan itu segera untuk fokus pada Navy. Xarell bangkit kemudian mencari-cari posisi yang pas untuk tempat lukisan karya Navy. Harus dipajang pada ruang tamu seperti beberapa lukisan karya Lona yang dipamerkan pada ruang tamu. Xarell melihat paku yang tertancap di dinding. Xarell segera memasangkannya di sana berhubung lukisan itu juga sudah benangnya.

Lukisan telah terpasang sempurna. Xarell menoleh belakang tak lupa dengan melempar senyum.

Navy tak ragu untuk segera membalas senyum.

***

Fantastic YearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang