gerbang mahabatain

144 55 23
                                    

Hola guys minya balik lagi dengan judul cerita yang baru😊.yah, kisah ini minya tuliskan khusus cinta, hehehehe .capek guys dengan alur yang lurus dan penuh misteri hehehehe, minya kan juga mau bercinta juga, tapi dia nggak peka guys🤣, udah udah kok malah minya yang curhat si.
Yuk seperti biasa sebelum baca harus vote, komen, dan share ya guys 🥰. See you
.


.
.
.
.
.
.
.
.
.

Jika cinta dilandasi oleh nafsu itu bukan cinta namanya, sebab cinta itu tidak dengan nafsu tapi dengan perasaan
_zahra camelia putri_

🤍🤍happy Reading📖

Senja mulai merangkak turun di langit pesantren, mewarnai awan-awan dengan semburat merah dan oranye. Di depan gerbang Mahabbattain, gerbang putih megah milik Pondok Pesantren Zabania, suasana begitu tenang. Bulan Ramadhan memberikan nuansa khusus pada hari itu. Dimana para santri sibuk dengan kegiatan ibadah, dan menyiapkan diri untuk berbuka puasa.

Namun, di balik ketenangan itu, ada sepasang mata yang terus mengamati gerbang Mahabbattain. Mata itu milik Fikri andriana putra, seorang santri yang memiliki paras tampan dan badan ideal dan juga dikenal akan kecerdasannya,tengilnya bukan hanya itu saja dirinya juga sering melanggar aturan pesantren yang menurutnya tidak pantas dipatuhi. Di saat waktu yang sama, dari arah yang berlawanan, muncullah santriwati yang bernama Zahra camelia putri seorang santriwati yang memiliki paras cantik, juga terkenal rajin dan taat, sedang berjalan menuju gerbang tersebut, membawa setumpuk buku untuk dibawa ke perpustakaan.

Fikri menunggu dengan penuh kecemasan, sesekali melirik ke arah jam tangannya. Bulan Ramadhan yang mana seharusnya menjadi waktu untuk memperkuat iman dan taqwa, tetapi didalam hati Fikri tidak bisa tenang. Ada sesuatu yang ingin dia sampaikan pada Zahra, sesuatu yang telah lama dia pendam dalam hati. Dia tahu ini salah, dia tahu ini melanggar aturan, tapi perasaannya tak bisa dibendung lagi.

"Zahra!" panggil Fikri setengah berbisik saat Zahra melintasi gerbang Mahabbattain.

Zahra berhenti dan menoleh, sedikit terkejut melihat Fikri berdiri di sana. "Fikri? Apa yang kamu lakukan di sini? Ini waktu yang sangat tidak tepat," katanya dengan nada tegas namun lembut.

Fikri mendekat, matanya penuh kegelisahan.

"Aku tahu, Zahra. Aku tahu ini salah. Tapi aku harus bicara denganmu. Ada yang ingin kukatakan sebelum terlambat."

Zahra menatap Fikri dengan campuran rasa penasaran dan khawatir. "Apa yang begitu penting sampai kamu harus melanggar aturan pesantren di bulan Ramadhan ini?"

Fikri menarik napas
. "Zahra, aku... aku tidak bisa menahan perasaanku lagi. Aku mencintaimu. Sejak pertama kali kita bertemu, hatiku selalu terpaut padamu. Aku tahu ini tidak mudah, dan mungkin kau marah padaku sekarang. Tapi aku harus jujur padamu."

Zahra terdiam, hatinya berdegup kencang. Kata-kata Fikri mengguncang dinding hatinya yang selama ini berusaha dia pertahankan. Namun, dia juga tahu konsekuensi dari perasaan ini. "Fikri, kita adalah santri. Kita punya tanggung jawab dan aturan yang harus kita patuhi. Apa yang kau katakan ini bisa membawa masalah besar bagi kita berdua."

Fikri mengangguk pelan.

"Aku tahu, Zahra. Tapi aku tidak bisa berpura-pura lagi. Aku hanya ingin kau tahu perasaanku. Aku akan menerima apapun keputusanmu, asalkan aku bisa jujur padamu."

Zahra menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. "Kita harus berhati-hati, Fikri. Perasaan ini mungkin benar, tapi cara kita menyampaikannya harus sesuai dengan jalan yang benar pula."

Fikri tersenyum tipis, merasa sedikit lega meskipun tahu perjalanan ini tidak akan mudah.

"Terima kasih, Zahra. Aku akan menunggu dan berusaha untuk melakukan yang terbaik."

"Fikri, aku mengerti perasaanmu, tapi kita harus memikirkan konsekuensi dari hubungan ini," kata Zahra, matanya menatap serius.

"Aku tahu, Zahra. Tapi aku juga percaya bahwa cinta yang tulus tidak seharusnya disembunyikan. Kita bisa menemukan jalan, meskipun ada aturan yang mengikat kita," balas Fikri, berusaha meyakinkan.

Zahra mengangguk pelan, berjuang antara hatinya dan akal sehatnya. "Mungkin kita bisa saling mendukung dalam ibadah kita. Cinta yang baik adalah yang membuat kita lebih baik, bukan sebaliknya."

Fikri tersenyum, merasakan harapan di tengah ketidakpastian.
"Ya, aku akan berusaha menjadi santri yang lebih baik. Dan aku ingin kau tahu, aku akan menghormati keputusanmu. Jika kau merasa ini tidak tepat, aku akan mundur."

"Jangan salah paham, Fikri. Aku juga merasakan sesuatu, tapi kita perlu waktu. Ramadhan adalah waktu untuk merenung dan memperkuat iman kita," jawab Zahra, suaranya lembut namun tegas.

"Baiklah. Mari kita jalani ini dengan hati-hati. Mungkin kita bisa mulai dengan menjadi teman yang saling mendukung. Dan jika ada kesempatan, kita bicarakan lagi di lain waktu," usul Fikri, merasa lebih tenang.

"Setuju. Kita harus saling menjaga jarak, tapi tetap saling peduli. Semoga Allah memudahkan jalan kita," kata Zahra, memberikan senyum kecil sebagai tanda dukungan.

Mereka berdua mengangguk, menyadari bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan bulan Ramadhan akan menjadi waktu bagi mereka untuk merenung dan memperkuat niat. Dengan itu, mereka melanjutkan langkah masing-masing, penuh harapan dan tantangan di depan.

Dengan langkah berat, Fikri dan Zahra berpisah di depan gerbang Mahabbattain, menyadari bahwa percintaan mereka akan penuh liku dan tantangan. Bulan Ramadhan akan menjadi saksi bisu awal dari cerita cinta yang rumit antara dua santri di Pondok Pesantren Zabania.

percintaan yang rumitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang