rintangan dan keputusan

64 48 7
                                    

Apa ini cinta, atau nafsu?
_zahra camelia putri_

Beberapa hari berlalu sejak insiden di gerbang mahabatain dan dibelakang jendela kamar asrama, suasana di Pondok Pesantren Zabania terasa lebih tegang dari biasanya. Fikri dan Zahra mencoba untuk menjaga jarak satu sama lain, meskipun hati mereka terus saling memanggil.

Di Pagi hari saat matahari mulai muncul dari arah ufuk timur, Zahra bersiap siap untuk berangkat kesekolah
Dirinya terus saja melamun sepanjang jalan menuju kelas Saat dia sedang dalam lamunan, langkah Fikri dari arah barat untuk menuju sarapan ke kantin dalam keadaan menundukkan pandangannya sehingga dirinya tak menyadari bahwa langkanya dan langkah Zahra akan bertubrukan dengan perasaan kaget padangan keduanya saling bertemu dengan tatapan campuran antara kekhawatiran dan rindu.
"Astagfirullah haladzim, maaf saya melamun tadi" seru zahra sambil menundukan pandangannya.
"Zahra," ucap Fikri dengan suara lembut. "Aku minta maaf atas semua yang terjadi belakangan ini. Aku tahu aku telah melanggar aturan dan membuatmu merasa tidak nyaman."

Serasa Zahra mengenal suara itu maka zahra memberanikan menatap Fikri, dan matanya mencari-cari kejujuran dalam setiap kata yang diucapkan,fikri. "Fikri, aku juga tidak bisa mengabaikan perasaan ini. Tapi kita tahu apa yang harus kita lakukan. Kita harus menghormati tempat ini dan nilai-nilai yang kita pelajari di sini."

Fikri mengangguk dan mengerti akan apa yang Zahra maksudkan. "Aku ingin berbuat yang benar, Zahra. Aku ingin kita bisa menjalani ini dengan cara yang tepat."

Zahra tersenyum tipis, merasa lega mendengar ketegasan Fikri. "Aku juga, Fikri. Kita harus berusaha untuk memperkuat iman dan menjalani aturan yang ada."

Selepas mereka mengungkapkan kegelisahan masing-masing, duanya kembali melanjutkan perjalanannya menunju tujuannya masing masing.
                  🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍

Seminggu telah berlalu tanpa ada kontak langsung antara Fikri dan Zahra setelah percakapan mereka. Keduanya mencoba untuk fokus pada ibadah dan pelajaran, tetapi setiap kali mereka bertemu di koridor atau di pelajaran, tatapan mereka saling bertautan dengan rasa kerinduan yang sulit untuk disembunyikan.

Pada waktu sore hari, setelah kajian maghrib di masjid pesantren, Fikri duduk di bangku taman yang teduh, mengamati anak-anak santri yang bermain di sekitarnya. Hatinya gelisah dan pikirannya terus melayang pada Zahra. Dia tahu dia harus mengambil keputusan, meskipun sulit bagi mereka berdua.

Mendadak ia melihat Zahra berjalan sendirian di seberang taman. Tanpa berpikir panjang, Fikri bangkit dari tempat duduknya dan mendekati Zahra dengan langkah mantap.

"Zahra," panggil Fikri dengan suara yang tegas namun penuh perasaan.

Zahra berhenti dan menoleh ke arah sangat empu yang memanggilnya dengan ekspresi campuran antara keterkejutan dan harapan. Dia menunggu apa yang akan Fikri katakan kali ini.

"Fikri," jawab Zahra dengan suara lembut.

Fikri menatap Zahra dengan serius. "Zahra, aku telah memikirkan semuanya. Aku tahu kita berdua menghadapi banyak rintangan. Tapi aku tidak bisa lagi menyembunyikan perasaanku. Aku mencintaimu dengan tulus, dan aku ingin kita bisa menjalani ini dengan cara yang benar."

Zahra mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. Dia merasakan getaran yang sama dalam hatinya, tetapi dia juga sadar akan tanggung jawab mereka sebagai santri di pesantren.
"Fikri, aku juga merasakan hal yang sama. Tapi kita harus menghormati aturan dan nilai-nilai yang kita pelajari di sini. Kita harus berusaha untuk memperkuat iman dan tidak terjebak dalam emosi semata."

Fikri menarik napas dalam-dalam, menghela udara dingin malam itu.
"Aku mengerti, Zahra. Aku tidak ingin kita melanggar aturan atau membuat situasi sulit bagi kita sendiri. Tapi aku ingin kau tahu, perasaan ini adalah nyata bagiku."

Zahra tersenyum tipis, mengangguk mengerti. "Kita bisa saling mendukung dalam hal ini, Fikri. Kita bisa tetap dekat sebagai sahabat dan sesama santri yang saling menguatkan."

Fikri tersenyum lega, merasa lega mendengar pemahaman Zahra. "Terima kasih, Zahra. Aku akan selalu menghargai persahabatan kita, apapun yang terjadi."

Keduanya saling tersenyum, merasa lega telah berbicara dengan jujur satu sama lain. Meskipun perasaan cinta mereka ada, mereka memilih untuk menghormati tempat dan waktu yang mereka jalani sebagai santri di Pondok Pesantren Zabania. Bersama-sama, mereka menemukan kekuatan dalam iman dan persahabatan mereka yang tulus.
                              👑👑
Malam itu, setelah percakapan mereka di taman pesantren, Fikri dan Zahra kembali ke kamar masing-masing dengan perasaan yang campur aduk. Mereka merasa lega telah bisa berbicara terbuka, tetapi juga merasa tegang menghadapi masa depan yang penuh dengan rintangan.

Fikri duduk di atas tempat tidurnya, memandangi langit-langit kamar yang redup. Pikirannya melayang pada Zahra, sosok yang begitu dekat namun sekaligus begitu jauh. Dia tidak bisa mengabaikan perasaannya, tetapi juga tidak ingin melanggar aturan yang telah mereka pilih untuk diikuti.

Sementara itu, Zahra duduk di sudut kamar asrama, memegang tasbih kecil yang biasa dia gunakan untuk berzikir. Dia mengulang-ulang kalimat-kalimat doa dalam hatinya, memohon petunjuk dan kekuatan untuk menjalani cobaan ini dengan baik. Hatinya ingin mengikuti hati, tetapi akalnya menuntutnya untuk tetap berada di jalan yang benar.

Keesokan harinya, suasana pesantren terasa seperti biasa. Anak-anak santri sibuk dengan pelajaran dan kegiatan keagamaan mereka. Fikri dan Zahra berusaha untuk menjaga sikap profesional dan tidak menunjukkan apa pun yang bisa menimbulkan spekulasi di antara sesama santri.

Namun, mereka berdua tahu bahwa di balik keributan sehari-hari pesantren, perasaan cinta mereka masih ada, tetap teguh di hati masing-masing. Mereka saling menatap dari kejauhan, dengan senyuman yang samar, sebagai tanda penghormatan terhadap perasaan mereka yang tulus namun juga sebagai penghormatan terhadap tempat dan waktu yang mereka pilih untuk dijalani.

Bulan Ramadhan berlalu dengan penuh makna bagi Fikri dan Zahra. Mereka belajar banyak tentang diri mereka sendiri, tentang cinta yang sesungguhnya bukan hanya emosi tetapi juga pengorbanan dan penghormatan. Meskipun jalan mereka masih penuh dengan rintangan, mereka merasa yakin bahwa keputusan untuk tetap menjaga batas dan nilai-nilai pesantren adalah yang terbaik bagi mereka.

percintaan yang rumitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang