TTOFT: BAB 3 "Liontin"

24 6 0
                                    

"Ibu, bagaimana perjalanan dalam salju? Salju pertama di sini turun sangat lebat." Dialog awal yang Arin keluarkan semenjak mereka masuk ke dalam rumah.

Gadis itu tampak menuntut jawaban. Raut wajahnya khawatir, jelas. Perjalanan dari desa ini ke kota membutuhkan waktu paling tidak dua bulan jika menggunakan gerobak. Selain itu, mereka juga perlu transit sejenak untuk mengurus berbagai dokumen dan izin lewat, di gerbang perbatasan. Walau begitu, kita tidak tahu sedang di mana dan apakah sudah sampai atau belum dari desa satu ke desa lainnya pada saat cuaca buruk.

Ibu tersenyum. Raut wajah yang tidak muda lagi masih terlihat cantik dan menawan. Rambut hitam legamnya yang dulu sangat indah, kini sudah bermunculan uban. Ibu menguar surai Arin. Dia tahu putrinya itu mencemaskannya.

"Ibu ada di penginapan saat itu. Sepertinya salju pertama tahun ini lebih lebat dari sebelumnya," ucap ibu disetujui Arin.

Memang benar. Dua pekan lalu, Arin dan Soobin terjebak di rumah dan tidak bisa keluar barang sebentar untuk membeli bahan pokok. Dua minggu salju turun dengan teratur, tak menyisakan sedetik waktu untuk manusia beraktivitas. Namun, ada sisi positifnya, Arin yang muak dengan kebosanan berakhir membuat kue jahe.  Dia juga menyuruh Soobin untuk membantunya. Tetapi tetap saja, Soobin mana mau membantu dengan gratis. Dia lebih memilih berdiam diri di kamar, membaca buku-buku lama dari perpustakaan kecil rumah. Hingga dia menemukan sebuah buku yang sampai saat ini masih dia simpan di kamarnya.

Arin menegakkan punggungnya. Dengan tidak sabaran dia mengambil secangkir teh dari nampan yang Soobin bawa. Hampir saja jatuh, jika dia tidak segera sigap mengatasinya.

"Bisa tidak jangan seperti ayam berebut makanan?"

"Tidak, tuh," jawab Arin dengan wajah mengejeknya.

Soobin mendengus. Dia pergi mendudukan diri di sofa depan ibunya. Meraih tas ransel besar berwarna coklat yang keren. Tas itu terbuat dari kulit hewan yang entah dari hewan apa. Yang jelas, ini sangat bagus dan kuat. Mirip seperti yang dia minta sepuluh tahun yang lalu.

"Kamu suka, Bin?" Tanya ibu.

Soobin menatap netra ibunya dan mengangguk. Tentu saja dia menyukainya. Ini adalah permintaan hadiah ulang tahunnya dulu. Walau dia harus bersabar sampai sepuluh tahun, sih.

"Tentu saja, terima kasih ibu." Akhirnya dengan senyuman. Ibu membalas senyuman itu lebih lebar sebelum berucap, "selamat ulang tahun ke tujuh belas, Soobin sayang," ucap ibunya tiba-tiba.

Soobin terdiam. Matanya kembali menatap ibunya, mengabaikan sejenak tas yang menjadi daya tarik awalnya. Tunggu, dia ulang tahun hari ini? Memangnya ini tanggal berapa? Derap kaki cepat melangkah ke arah mereka. Arin sudah membawa sebuah kue kecil dengan lilin di atasnya - entah sejak kapan kakak pergi ke dapur. Soobin benar-benar lupa jika bulan ini dia berulang tahun. Walau terlewat jauh, toh, dia sendiri saja lupa.

Kedua telapak tangannya saling bertaut. Matanya terpejam dengan hati mengucap banyak harapan untuk usianya kedepan. Kemudian dia membuka kembali matanya dan meniup lilin itu. Suara tepukan tangan menggema di seluruh rumah. Soobin tersenyum ketika ibunya memeluknya.

"Selamat ulang tahun, putraku, maaf jika terlambat."

"Tidak ibu, bukan masalah. Aku bahkan melupakan tanggal ulang tahunku." Jujur Soobin.

"Baiklah sebagai gantinya, nanti malam kita pergi ke festival!"

🌲🌲🌲

Lantunan lagu natal yang dinyanyikan bersama, suara alat musik tradisional, suara tepukan tangan yang kompak mengikuti irama musik membuat kesan acara ini semakin meriah. Selain itu, ada banyak tenda-tenda makanan, cindera mata, pakaian, tato, dll, berjejer rapi di pinggir jalan. Hiasan lentera kuning dipadukan warna hijau daun di langit-langit akses jalan membuatnya semakin indah. Pohon natal besar di tengah lapangan luas ini menjadi pusat dari semuanya.

Soobin tak henti-hentinya tersenyum. Dia merasa begitu bahagia bisa pergi ke festival ini untuk sekian lama. Aslinya dia berani pergi sendiri, tetapi ibunya melarangnya pergi. Itu petuah ibu agar tidak terjadi apa-apa nantinya. Soobin juga menurut saja, lagi pula benar adanya. Seperti sekarang, mata orang-orang menatapnya dengan tatapan tak bersahabat. Tidak sedikit mereka berbisik-bisik yang pastinya Soobin mengerti apa yang sedang mereka bicarakan, tanpa mendengarnya langsung.

Ibu yang mengetahui hal tersebut pun menarik Soobin ke salah satu tenda penjual cendera mata. Soobin aslinya bingung, karena dia laki-laki jadi dia pikir tidak begitu penting jika harus membeli sebuah permata. Beda dengan Arin yang berbinar melihat permata-permata indah di sana.

"Nyonya, lama tidak berjumpa. Apakah ini Soobin? Dia sudah besar ya," kata pedangang itu basa-basi.

Ibu tersenyum tidak berniat menjawab. Dia ikut melihat-lihat batu permata di sana. Sedangkan Soobin hanya menonton. Pedagang itu menatap intens Soobin membuatnya merasa tidak nyaman. Soobin mencoba mengalihkan perhatiannya melihat-lihat sekitar.

"Kamu benar-benar mirip ayahmu," ucap pedagang itu tiba-tiba. Soobin tentu terkejut mendengarnya. Tahu apa dia tentang ayahnya?

Entah perasaan Soobin saja sekitar menjadi sunyi atau memang waktu seperti berjalan lebih lambat - atau memang sengaja berhenti. Pedagang itu masih tersenyum membuat bulu kuduknya berdiri. Baiklah, sekarang Soobin akui dia takut. Dengan segala keberaniannya, dia mencoba menatap mata pedagang itu. Tak gentar melawan.

"Apa yang anda tahu tentang ayahku?" Tanya Soobin. Walau dia merasa takut, rasa penasarannya justru lebih tinggi dari rasa takutnya.

"Sebelumnya, maafkan aku jika membuatmu takut. Tapi aku benar-benar tidak berbohong mengenai dirimu yang mirip sekali dengan ayahmu." Jelasnya lagi yang membuat Soobin jengkel sendiri.

Dia tidak bisa langsung menjelaskan ke intinya atau hanya ingin mengulur-ulur waktunya saja?

"Tolong lebih jelas, Tuan," pinta Soobin sopan namun, dengan nada menuntut penuh jawaban, yang untungnya langsung disetujui pria itu.

"Aku tahu mengenai ibumu yang selama ini tidak pernah pergi ke kota untuk berdagang. Di sana hanya karyawan yang mengerjakan semuanya. Ibumu hanya akan datang setiap enam bulan sekali untuk mengevaluasi dan lainnya," jedanya.

Tiba-tiba dia meraih sebuah liontin dengan ukiran salju, terdapat beberapa hiasan permata berwarna biru yang indah. Pria itu menyodorkan liontin itu kepadanya, Soobin hanya diam karena tak mengerti apa tujuan pria ini.

"Todoland itu bukan sebuah negeri nyata Soobin, mereka adalah sebuah pulau atau negeri dongemg yang benar-benar adanya. Ayahmu ada di sana, dia adalah orang yang berasal dari sana. Ini permata yang ayahmu berikan kepadaku, kami bertemu di kota ketika mereka pergi mengunjungi kota tempat usaha mereka berdiri.

Dia menitipkan ini dan menyuruhku untuk memberikannya kepadamu saat usiamu sudah menginjak tujuh belas tahun. Untuk alasannya, lebih baik cari tahulah sendiri jawabannya," jelas pedagang itu panjang lebar.

Soobin bukan tipe orang mudah percaya dengan ucapan orang lain. Tetapi entah mengapa, dia seperti dimantra, Soobin tanpa sadar meraih liontin itu - digenggamnya erat. Pedagang itu tersenyum ketika Soobin sudah menggenggam liontin itu.

"Semoga kau berhasil, Soobin."

Sekitar yang tadinya sunyi kini berubah ramai lagi. Soobin menatap liontin itu dalam diam.

"Soobin, kamu mau kami tinggal?" Teriak Arin memecahkan lamunan Soobin.

Dia menoleh ke kakaknya sekilas kemudian menatap pedagang permata yang masih tersenyum kepadanya. Soobin memasukkan liontin itu ke saku celananya dan berlari menyusul kakak dan ibu.

.

.

.

.

.

To Be Continue.

The Truth Of Fairy Tales - [Yeonbin] | Friendship StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang