"Terkadang, dalam keheningan salah paham, kata-kata diamlah yang paling mengiris."
-Rivano Arsa Wiratama-
Rivano menghela napas dalam-dalam, berusaha meredam gejolak dalam dadanya. Tatapan matanya yang tadinya fokus kini berubah redup, melihat Arshela dan Lutfi tertawa bersama di hadapannya. Setiap tawa mereka seperti pisau yang mengiris hatinya, membuatnya merasakan nyeri yang tak tertahankan. Dia mencoba mengalihkan pandangan, namun rasa cemburu itu terlalu kuat, menghantui pikirannya tanpa henti.
"Harusnya mereka nggak perlu sedekat itu," batinnya berbisik, penuh dengan rasa sakit dan kepahitan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Hingga akhirnya, Rivano tidak bisa membendungnya lagi. Dengan gerakan mendadak, dia berdiri dari duduknya, membuat kursi bergesekan dengan lantai cukup keras, menghasilkan bunyi "ciit" yang membuat Dewina, Fiona dan juga Zulfan yang berada disekitarnya menoleh kaget.
Arshela dan Lutfi juga terhenti sejenak, memandang Rivano dengan tatapan bingung. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Rivano melangkah keluar, meninggalkan suasana yang tiba-tiba hening. Hatinya berdebar keras, campuran antara amarah, cemburu, dan kekecewaan membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Dia berjalan tanpa tujuan, berharap bisa menemukan tempat untuk menenangkan diri dan merenungkan perasaannya.
Dewina menyusul Rivano keluar dengan langkah ringan, menyusuri lorong menuju ke luar ruangan. Melihat Rivano berdiri sendirian, dia mendekat dengan senyum manis yang selalu dia perlihatkan saat ingin menarik perhatian.
"Lo kenapa, Van?" tanyanya dengan suara lembut, sambil menyentuh lengan Rivano dengan penuh perhatian.
Rivano menghela napas, menggeleng pelan. "Nggak apa-apa kok," jawabnya singkat, mencoba menyembunyikan rasa campur aduk di dalam hatinya.
***
Seperti malam-malam sebelumnya, setelah makan malam mereka mengadakan rapat untuk membahas rencana kegiatan besok atau program kerja yang akan dilakukan. Namun, malam ini terasa berbeda. Rivano terlihat tidak seperti biasanya. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Ekspresinya lebih murung dan serius dari biasanya, kadang-kadang matanya terlihat terpaku, seolah tenggelam dalam pemikiran yang mendalam. Meskipun demikian, dia tetap menjelaskan agenda yang akan dilakukan untuk besok.
Setelah rapat singkat, semua bergegas masuk ke kamar yang sudah disediakan. Ada dua kamar, satu untuk cewek dan satu lagi untuk cowok. Setelah yang lainnya masuk, tersisa Arshela dan Rivano yang saling memandang.
"Lo enggak apa-apa, Van?" tanya Arshela dengan nada lembut, melihat Rivano yang tampak terdiam.
Rivano mengangguk pelan. "Enggak apa-apa kok," jawabnya cuek, lalu berlalu pergi meninggalkan Arshela sendirian.
Arshela memandang kepergian Rivano dengan ekspresi campuran antara kekhawatiran dan kebingungan. Dia merasa ada yang salah, tetapi Rivano tampaknya tidak mau berbagi atau mungkin tidak siap untuk berbicara tentang apa yang sedang dia alami.
KAMU SEDANG MEMBACA
KKN (Kuliah, Kerja, Naksir) {Proses Terbit}
Ficção AdolescenteDi tengah-tengah tanggung jawab untuk membantu desa dan menyelesaikan proyek KKN dengan sukses, Arshela dan Rivano terperangkap dalam labirin perasaan yang rumit. Meskipun keduanya merasakan tarikan emosional yang kuat, kesalahpahaman dan ketakutan...