BAB 6 MAAF

36 17 1
                                    


"Ketika bertanya apakah harus mundur, terkadang yang sebenarnya kita butuhkan adalah keberanian untuk maju ke depan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ketika bertanya apakah harus mundur, terkadang yang sebenarnya kita butuhkan adalah keberanian untuk maju ke depan."

-Rivano Arsa Wiratama-

"Shel, untuk kegiatan program kerja tambahan, kita bakal ngajar di SD dekat sini, kan?" tanya Rivano, mencoba menarik perhatian Arshela.

Arshela hanya menggumam tidak jelas, matanya tetap terpaku pada layar ponselnya.

Rivano tidak menyerah. "Oh ya, dari program kerja kita, menurut lo, yang bagus buat dijadiin jurnal posko apa?"

Tanpa mengalihkan pandangannya dari ponselnya, Arshela menjawab, "Terserah aja, sih."

Rivano menghela napas, menatap Arshela yang sepertinya tidak tertarik dengan pembicaraan ini. Mungkin Arshela memang sedang tidak ingin bicara dengannya, atau mungkin dia benar-benar asik dengan ponselnya. Rivano merasa sedikit frustrasi, tetapi dia berusaha untuk tetap sabar.

"Shel, kalau gue ajak ngomong, perhatiin dong," ujar Rivano dengan nada sedikit memelas. "Gue lagi bahas soal proker posko kita. Sebagai sekretaris, lo harusnya bantuin gue."

Seketika Arshela berhenti memainkan ponselnya, tatapannya tajam terarah pada Rivano. "Maksud lo, beberapa hari ini gue enggak ngebantuin lo gitu?" tanya Arshela, wajahnya mencerminkan sedikit kebingungan dan kekesalan. Terlihat jelas bahwa Arshela sedikit tersinggung dengan ucapan Rivano, yang mungkin terdengar kurang menghargai kontribusinya.

Rivano menatap Arshela dengan penuh perhatian, sadar bahwa kata-katanya mungkin menyinggung perasaannya. "Maaf, Shel. Gue nggak maksud begitu."

Arshela menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan amarah yang mulai membara di dalam dadanya. "Oh, jadi menurut lo semua kerjaan yang udah gue lakuin selama ini nggak ada artinya, gitu?" suaranya mulai meninggi.

"Enggak, bukan gitu maksud gue," Rivano buru-buru menjelaskan, suaranya lebih lembut. "Gue cuma pengen kita lebih banyak komunikasi soal proker, biar semuanya bisa berjalan lancar."

Rivano terdiam, menyadari bahwa dia telah salah bicara, membuat Arshela marah padahal niatnya hanya ingin bisa bicara berdua dengan Arshela. Membahas proker hanya dijadikan alasan saja supaya bisa berbicara dengan Arshela, karena dia menyukai gadis itu. Rivano mencoba mencari kata-kata yang tepat, namun Arshela sudah terlanjur kesal.

"Lo tau nggak sih, dari kemarin gue udah kerja keras bikin surat, ngurusin administrasi, dan masih banyak lagi. Gue juga capek, Van. Gue butuh istirahat juga, kayak yang lain," lanjut Arshela dengan nada kesal.

Rivano merasa hatinya semakin berat. Dia tak pernah bermaksud meremehkan kerja keras Arshela, justru sebaliknya, dia mengagumi dedikasi dan ketekunan gadis itu. Namun, rasa kagum yang dia rasakan terlalu sering berujung pada kata-kata yang tak terencana dan salah paham seperti ini.

KKN (Kuliah, Kerja, Naksir) {Proses Terbit}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang