*⁠.⁠✧35✧.*

7.2K 984 119
                                    

Kakinya berjalan perlahan menuju ruang perapian, di mana suasana hangat dan tenang menyelimuti ruangan. Malam musim gugur terasa nyaman dengan angin sepoi-sepoi yang masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma dedaunan kering dan tanah basah. Layla duduk di sebelah sofa, asyik membaca novel dengan kacamata terpasang di hidungnya, Nero sibuk dengan makan malamnya, sementara Paman Bill baru saja datang membawa kayu bakar, menambahkannya ke tumpukan di sisi perapian. Aroma kayu bakar baru terbakar memenuhi ruangan, memberikan kehangatan yang menyenangkan dan suara api  berderak menambah suasana nyaman.

Setelah selesai menata kayu bakar Paman Bill duduk di kursi goyang favoritnya, menikmati secangkir kopi yang hangat. Aire mengambil tempat di sofa, duduk dengan tenang sambil menatap api yang berkobar lembut di perapian. Rambutnya terurai basah sehabis mandi dengan baju berkerah mandarin terbuat dari bahan yang lembut namun tebal berwarna putih tulang menutupi bekas tanda yang diberikan Matthias dengan rok kotak-kotak bernuansa hijau tua menutupi hingga sebetis, ditambah kaus kaki berwarna putih dan sepatu loafer terpasang pas dikakinya menambah kenyamanan Aire ditengah suasana malam hari.

Mereka bertiga terdiam saat ini menikmati hangatnya perapian sembari sibuk dengan pikiran masing-masing. Cahaya bulan yang redup masuk melalui jendela, menambah sentuhan magis pada suasana ruangan.

Kemudian ditengah malam yang hening itu Aire memulai dengan suara lembut, "Paman Bill, besok bisa mengantarkan aku ke kota menggunakan kereta kuda yang paman gunakan sewaktu pertama kali aku ke sini?"

Paman Bill mengangguk sambil meletakkan cangkir kopinya, "Tentu saja Aire, memang ada keperluan apa di kota? Apakah kamu hendak membeli buah tangan untuk dibawa ke Frizton lusa?"

"Tidak paman, aku ingin langsung ke stasiun kereta api besok. Lebih baik aku pergi lebih awal saja supaya bisa mengawasi persiapan lelang." Jawabnya sambil menahan rasa perih di bibir bawahnya akibat gigitan Matthias.

Layla, yang masih asyik dengan bukunya, menyela, "Oh pantas saja Kakak sedari tadi di kamar terus, sedang merapihkan koper ya?"

"Iya, ada banyak barang yang harus aku kemas." Ujarnya singkat.

"Jadi Paman, besok kita bisa berangkat pagi-pagi sekali ya?"

Paman Bill mengangguk sambil tersenyum, "Tentu saja Aire, kita berangkat pagi-pagi supaya kamu bisa sampai di Frizton dengan aman."

"Aku ikut ya." Sahut si gadis berambut pirang keemasan itu yang disambut anggukan Paman.

Aire tersenyum meskipun di dalam hatinya ia tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya untuk mengawasi pelelangan hotel. Dia butuh waktu untuk menyembuhkan diri, jauh dari bayang-bayang Sang Duke. Dengan keberanian yang tersisa, Aire berharap bahwa Frizton akan memberinya kedamaian yang ia butuhkan.

Namun di balik senyum tipisnya, kecemasan tetap menghantui pikirannya. Dua orang yang ada di hadapannya terutama Paman Bill yang mudah tersulut emosi, menjadi sumber kegelisahannya. Aire teringat dengan insiden kebakaran rumah kaca dalam novel aslinya, ketika Matthias berhasil memanipulasi emosi Paman Bill demi menarik Layla kembali padanya. Insiden itu hampir menewaskan nenek Matthias dan pemeran utama wanita, yang akhirnya tidak punya pilihan selain menyerahkan dirinya demi kebebasan Paman Bill.

Aire merenungkan nasib Layla, yang terjebak dalam kemiskinan dan ketidakadilan pada masa di mana hak-hak asasi manusia dan wanita masih belum diterapkan. Layla tidak bisa meminta bantuan pada siapa pun bahkan media cetak sekalipun yang menjadi alat penyebaran informasi penting dimasyarakat pada masa itu pasti tidak berpihak jikalau Layla tidak mempunyai uang atau kekuasaan. Sehingga si gadis terpaksa bersepakat dengan Matthias, Duke yang memegang kekuasaan tertinggi. Pria licik itu benar-benar bajingan, menggunakan kekuasaannya demi memiliki Layla.

Duke's GripTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang