8-what status?

39 1 0
                                    

Setelah hari itu berakhir, aku dan James masih aktif berbincang. Kami masih menggunakan fitur pesan teks dari dating apps, karena aku menolak memberikan nomorku padanya. Selama 2 minggu ini aku tidak akan bertemu dengannya, karena ia memampiri teman kuliahnya di Italy, dan menginap disana. Ia bahkan mengirim foto-fotonya padaku.

Keesokan harinya, aku akan bertemu temanku, Feby. Dia juga orang Indonesia, ia mahasiswi jurusan marketing di salah satu universitas swasta di Paris. Dia orang yang paling dekat denganku, aku selalu curhat dengannya. Kali ini kami akan bertemu di salah satu coffee shop biasa kami bertemu, lokasinya tidak jauh hanya 30 menit dengan metro.

Kami janjian jam 3 sore, namun aku datang lebih cepat dari dugaan. Aku tiba pukul 2.50, ya hanya 10 menit lebih cepat. Aku pesan Hazelnut Latte, dan mencari tempat duduk yang paling enak. Pojok ruangan, dengan sofa  yang saling berhadapan.

Walaupun sedikit telat, Feby akhirnya datang pukul 3 lewat 5. Aku melihatnya masuk  ke coffe shop, dan dia langsung mengantri untuk memesan minum. Sekitar 5 menit kemudian, ia sudah berjalan membawa gelas kopinya dan berjalan ke arahku.

"Duh Linn, sorry banget ya gue telat. Metro 4 kena *travaux tuh, gue jadi telat deh." ujarnya kesal. (travaux itu seperti ada gangguan di keretanya).

Aku sejujurnya tidak keberatan, tapi aku senang bercanda dan kubalas, "Ih males banget, gue udah nunggu 1 jam disini gila ya".

Feby mmutarkan bola matanya, karena tahu betul aku berbohong hanya untuk mengerjainya. Lalu dia duduk di depanku, meletakkan tasnya di sofa, dan menyeruput kopinya sebelum melipatkan tangnnya di atas meja.

"Jadi... lo mau cerita apa?"

Kemudian kuceritakan semuanya pada Feby, hingga detail terkecilnya. Feby seperti biasa gampang kaget, jadi setiap kuceritakan hal 'itu', dia langsung shock dan hampir berteriak. Matanya melotot, dan sesekali celetus...

"ck ck ck... gila ya lo" , atau , "HEH! DEMI APA?!", dan juga, "Sumpah, otak lo udah ilang."

Ya aku tidak bisa menyalahkan dirinya, aku juga akan sama kagetnya jika mempunyai teman yang punya  kisah gila seperti ini. Setelah ceritaku selesai, Feby bertepuk tangan.

"Gile lu ndro. At the same time, gw seneng sih... akhirnya sekarang Lina punya pacar juga." Katanya.

Aku bingung, "Pacar?"

Feby memiringkan kepalanya, hening sejenak, lalu menutup mulutnya tanda tidak percaya.

"LAH?! Trus hubungan lo sama nih cowok om-om satu apaan, Lin? Friends with benefit? Situationship? atau jangan-jangan tuh om-om cuma mau enaknya doang?! OMG, YANG MANA ORANGNYA!". Ujarnya heboh.

Akupun juga belum tahu pasti hubunganku dengan James apa. Aku tidak mencari hubungan yang terlalu serius sekarang, tapi Feby ada benarnya juga, kita ini apa?

"Gak tau, Feb. Mungkin gue yang udah gila, tapi di titik ini gue ngga mencari apa-apa."

Feby menatapku khawatir, "Hati-hati lho, Lin. Di Paris ini banyak cowok gajelas, banyak banget yang napsuan juga. Apalagi lo ketemu lewat Dating Apps, gue cuman gamau lo kenapa-napa."

"Sekarang gimana? Masih kontakan? atau udah completely lost?". lanjutnya.
"Iya, Feb. Thanks udah khawatirin gue. Kita masih kontakan sih sampai sekarang, cuman lagi gabisa ketemu aja. He's on a trip in Italy for like 2 weeks, nih gue tunjukin." Jawabku, lalu kutunjukan chatku dengan James.

Feby men-scroll semuanya, melihat foto-foto yang dikirim James. Dia juga terkesan karena James sama sekali tidak pernah mengirimi foto-foto telanjang, atau bahkan memintaku untuk mengirim foto telanjang.

Feby tersenyum, "Dari yang gue liat sih, Lin... dia kayaknya serius deh sama lo? Iya gak sih? I mean, he's so gentle to you, isn't he?"

"I don't know, Feb. Kita baru ketemu, dan gue gabisa menilai juga." tungkasku.

"Okay, make it this way... kalau semisal dia nembak lo, what would you say?" Tanyanya lagi.

Jujur, aku tidak tahu lagi. Mungkin otakku akan menjawab iya dengan cepat, tapi ada sesuatu yang menjanggal hatiku.

Feby melihat raut wajahku, dan dia langsung menyeruput kopi. "Lo emang gila, Lin."

***

Seminggu kemudian, aku sadar kalau chat James sudah tenggelam dengan chat orang-orang yang mencoba mendekatiku. Aku tidak mencari mangsa lain dari dating apps itu, ingin sekali kuhapus tapi itu satu-satunya cara bisa berkomunikasi dengan James. Jadi kuputuskan untuk membiarkan notifnya menumpuk, aku sudah bosan juga.

Libur musim panas masih tersisa satu bulan lebih dan aku hanya menghabiskan waktuku di rumah menonton series, atau sekalinya keluar hanya ke taman, belanja mingguan, dan sesekali bertemu teman.

Malam ini jadwalku benar-benar kosong, aku sama sekali tidak ada niatan untuk pergi keluar. Aku berniat untuk melakukan full skincare hari ini, jadi aku bersihkan kamarku, merapihkan rumahku, baru mandi.

Setelah mandi, aku mengganti baju tidurku (tanktop tanpa bh, dan celana pendek berumbai), lanjut aku skincare-an, dan menggunakan clay mask mukaku. Sambil menunggu itu kering, aku membuka laptopku dan mengambil cemilan. Aku baru saja duduk sebentar di sofa, mencari posisi nyaman,  dan tiba-tiba bel pintu apartemenku berbunyi.

"Haa... siapa yang datang malam-malam begini? Ngerepotin aja..", ucapku kesal.

Ku berjalan menghentak-hentak, dan langsung membuka pintu itu. Betapa kagetnya aku saat melihat James dengan kemeja flannelnya berdiri tepat di depanku.

Mampus!

One Only Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang