First Snow

100 18 3
                                    

Yoo Joonghyuk selalu mendefinisikan hidupnya dengan warna hitam dan kelabu.

Tidak ada hal yang menarik, satu-satunya hal yang membuatnya ingin tetap hidup adalah tujuannya yang ingin menyelamatkan dunia.

Joonghyuk sudah terbiasa ditinggalkan, jadi ia tidak pernah menaruh harapan apapun pada makhluk yang bernama manusia. Joonghyuk tidak pernah berani memberi ekspektasi lebih, karena ia tahu semua orang pasti akan datang dan pergi. Joonghyuk menerima fakta itu karena itu adalah hukum dunia.

Berjalan, berlari, merangkak, Joonghyuk melewati semuanya dengan beban mental yang menumpuk. Ia menelannya bulat-bulat, mengabaikan seruan menyakitkan yang terdengar dari sisi dirinya yang lain. Seruan yang memintanya untuk berhenti sejenak.

Rasanya seperti akan gila. Tidak ada yang mengerti, tidak ada yang paham, dan tidak ada yang peka bahwa Joonghyuk juga sebenarnya merasa takut. Setiap hari, perutnya selalu bergejolak ketika memikirkan skenario apa lagi yang harus ia hadapi. Joonghyuk terluka, tapi ia tak punya kesempatan untuk mengobati lukanya.

Joonghyuk tidak mengerti apa dosanya, sehingga kematian pun enggan menghampirinya.

Saat kehidupannya yang suram itu mulai berkabut dan kehilangan arahnya, sebuah tangan terulur dihadapan wajahnya. Ketika Joonghyuk mendongak, seseorang dengan wajah menyebalkan menyapa matanya.

"Kenapa kau sendirian?"

"Kau pikir untuk apa aku berusaha sampai sejauh ini?"

Sosok asing itu datang begitu saja, memporak-porandakan prinsip yang Joonghyuk pegang selama ia hidup. Dengan senyum menyebalkan dan tingkah liciknya, Joonghyuk mendapat banyak sekali kemudahan dalam menjalani skenario.

Joonghyuk tidak sendirian.

Ia akhirnya menyadari itu.

Kim Dokja, pemuda kecil dengan manik kecoklatan yang selalu menatapnya dengan kilat jenaka yang menyebalkan.

Walau begitu, Joonghyuk tetap senang. Memiliki sosok seperti Dokja di sisinya adalah hal yang sangat ia syukuri secara diam-diam.

Namun, saat ia mulai menggantungkan harapannya, saat ia mulai membalas genggaman Dokja, semesta kembali merenggut Dokja darinya.

Joonghyuk berani bersumpah, rasa sakit saat tubuhnya terluka ketika melawan monster di setiap skenario tidak ada apa-apanya dengan rasa sakit saat ia kehilangan Kim Dokja.

Semua orang mengira bahwa dirinya baik-baik saja. Tak ada yang tahu bahwa Joonghyuk kehilangan arah.

Tidak ada yang tahu, Joonghyuk terluka dengan sangat hebat setelah Dokja pergi.

Joonghyuk tidak pernah merasa seterluka itu ketika ia kehilangan rekannya yang lain sebelumnya. Bukan karena mereka tidak berharga, tapi itu karena Joonghyuk menganggap Dokja tak lagi sebagai rekan biasa, melainkan sebagai sahabat yang selalu ingin ia genggam sampai akhir skenario.

"Apa kau mengalami kesulitan, Joonghyuk-ah?"

Suara halus itu menyapa gendang telinga Joonghyuk. Sebuah benda dingin ditempelkan dipipinya. Joonghyuk menoleh, lalu mendengus sembari mengambil sekaleng soda yang disodorkan padanya.

"Tidak."

"Lalu kenapa wajahmu kusut begitu?"

"Wajahku selalu begini."

Tawa renyah terdengar.

"Ya ya ya. Jadi, apa yang sedang kau pikirkan sehingga melamun di taman belakang begini? Sudah hampir tengah malam, udaranya dingin."

"Menurutmu apa?" Joonghyuk membuka soda miliknya, lalu menenggak isinya.

"Hmm, kau berpikir untuk regresi lagi?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Another StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang