6.

55 20 0
                                    

.
.
.
.
.

Tok
Tok

Suara ketukan pintu membuat Alesha terbangun dari tidurnya yang nyaman diatas sajadah seusai sholat isya.

"Lesha ini ayah,"

" Iya, masuk aja yah." Sahut Alesha merubah posisinya menjadi duduk dengan mata sayu yang sedikit bengkak akibat menangis terlalu lama.

"Sudah sholat isya?" Tanya sang ayah begitu masuk.

"Ini baru aja selesai." Balas Alesha.

Memang sehabis dari taman belakang Alesha segera melaksanakan sholat isya, mengingat waktu isya tiba saat ia tengah terlibat cekcok dengan para anak motor tadi. Alhasil ia tak sempat mampir di masjid.

"Ayah mau ngomong serius sama kamu." Ujar Reno memulai, sembari duduk dipinggir kasur bernuansa biru itu.

"Yaudah ngomong aja." Sahut Alesha sembari membuka mukenanya dan melipat sajadahnya. "Eh tapi orang yang nolong lesha tadi kemana ayah." Tanyanya sedetik kemudian.

"Udah pulang." Jawab Reno.

"Ayah gak apa-apain dia kan?" Alesha melayangkan tatapan selidiknya dengan tangan berkacak pinggang. Sejenak tangannya berhenti bekerja.

"Enggak, malah tadi ayah ngajak dia bakar-bakaran." Sahut Reno santai.

"Bakar apa?"

"Ya bakar daging."

Sontak Alesha mengernyit heran. "Daging apaan? Perasaan stok daging di kulkas udah habis deh yah."

Reno menggaruk tengkuknya bingung. "Udahlah gak usah bahas dia, yang penting itu manusia udah pulang dengan nyawa yang utuh. Ck gara-gara dia topik penting yang mau ayah bahas jadi buyar kan." Alih Reno tak ingin jujur lagi, dengan decakan kesal diakhir kalimat.

"Awas aja kalau Fathan ngelapor ke aku kalau sahabatnya kenapa-napa karena ayah."

"Idih emang kamu bisa apa? Makan aja masih dari ayah kok."

"Terserah." Pasrah Alesha, menurunkan tangannya yang sedari tadi berkacak pinggang. Kemudian kembali lanjut merapikan peralatan sholatnya.

Lalu hening untuk beberapa saat, Reno tampak berpikir, memilah kata-kata yang akan ia keluarkan. kerutan yang mulai muncul diwajahnya bertambah jelas saat seperti ini.

"Kalau misalkan ayah lepasin kamu gimana?" Ujarnya memulai percakapan yang cukup serius. Raut ramah yang semula terpasang sekarang terganti dengan raut tegas khasnya.

Sontak Alesha menatap ayahnya dengan dahi berkerut.

"Apaan lepasin lepasin? Emang Lesha kucing piaraan ayah yang diikat gitu? bercandanya gak elit banget deh." Cerocosnya kemudian, tak menganggap serius hal itu. Dengan santai Alesha beranjak menuju lemarinya untuk meletakkan peralatan sholat yang sudah rapi ia lipat.

"Ayah serius. Ayah mau lepasin semua tanggung jawab mengenai kamu."

"Aduh yah udah deh ngelawak nya. Pas Lesha jadi anak brandal ayah fine fine aja tuh, masa sekarang pas udah jadi alim kek gini mau dibuang." Ujarnya terkekeh, lalu menghempaskan tubuhnya keatas kasur.

"Alesha Alifa Hibatillah."

Alesha langsung duduk dari posisinya saat ini. Meneguk ludahnya berat, jika ayahnya sudah memanggil nama lengkapnya dengan nada seperti ini ia yakin ayahnya tidak sedang bercanda atau semacamnya.

Dan akhirnya ia memilih menunduk memainkan satu-satunya gelang manik-manik yang terpasang ditangannya. Entahlah Alesha tak tau cara merangkai kata yang tepat untuk bertanya saat ini, terlalu banyak pertanyaan di kepalanya hingga semua buyar begitu saja.

"Ayah benar-benar akan melepas kamu dan mengalihkan semua tanggung jawab tentang kamu kepada seseorang." Lelaki setengah baya itu kembali membuka suara, menatap lekat sang anak dengan raut sendu.

"Maksudnya?" Sebuah kemungkinan sudah ada dibenak Alesha saat ini.

"Yah menikahkan kamu dengan seseorang."

"Ha??" Alesha spontan menatap ayahnya dengan wajah cengo.

Sebenarnya kemungkinan seperti ini sudah ada dibenak Alesha dari tadi, mengingat ia seorang pecinta novel yang tak jarang menceritakan tentang perjodohan.

Tapi apa Sekarang ia juga mengalaminya?

"Dijodohin gitu?" Pekik Alesha nyaring.

"Bisa dibilang enggak bisa juga iya." Jawaban yang sangat tidak bermutu menurut Alesha.

"Kenapa gitu?"

"Kamu akan tau nanti. Intinya sekarang kamu harus bisa menerima ini."

"Lesha gak mau aaaaaayah" Rengek Alesha lagi.

Mendekatkan dirinya pada sang ayah lalu menyandarkan kepalanya pada lengan lelaki setengah baya itu. memasang raut yang biasanya sangat bisa diandalkan untuk membujuk sang ayah.

Namun Reno segera berpaling tak ingin terbujuk kali ini. "Kamu pikir melepas kamu itu mudah nak? Gak gak samasekali, tapi ayah juga harus melakukannya." Batin Reno yang tanpa sang anak ketahui air matanya menetes begitu saja.

Namun segera ia hapus dan kembali memasang raut serius yang tak bisa dibantah.

"Oke, tapi ayah akan kasih Lesha ke siapa?" Pasrahnya dengan wajah tak ikhlas.

"Kasih kasih apaan. Ayah gak buang kamu ya ... Tapi lelaki itu yang memilih kamu. Dan ayah menyetujuinya karena ayah percaya dia bisa."

"Terserah, Sekarang aku mau tau lelaki itu siapa?"

"Nanti aja ayah kasih taunya."

Lantas Alesha memberengut sebal. Sudahlah ia dipaksa menerima sekarang harus menahan penasaran juga akan siapa lelaki yang dimaksud sang ayah.

.
.
。⁠◕⁠‿⁠◕⁠。
.
.

Laskhar memasuki sebuah ruangan dominan berwarna putih dengan aroma khas obat-obatan.

Hingga pemandangan menyakitkan harus kembali ia lihat lagi. Disana diruangan yang luas, diatas brankar rumah sakit yang identik dengan warna putih bersihnya. seorang perempuan setengah baya tengah terbaring lemah dengan wajah pucat yang begitu kentara, binar mata cerah yang selalu Laskhar lihat sekarang tertutup rapat.

Dengan langkah berat Laskhar mendekat pada sosok yang masih dalam alam bawah sadarnya. Situasi yang sangat Laskhar benci adalah saat dimana ia harus melihat sosok yang sangat dicintai dalam keadaan sekarat seperti ini dan dirinya tak mampu melakukan apapun.

Diambilnya tangan putih itu yang bebas dari infus, lalu mengelusnya seringan kapas seperti terlalu takut sentuhannya akan membuat sosok itu tersakiti.

"Umi." Panggilnya pelan, terdengar seperti bisikan.

"Askhar udah dapet apa yang umi mau. Umi mau liat Askhar menikah bersama orang yang Askhar cintai kan? Sebentar lagi itu akan terwujud. Dan Askhar harap ... dihari itu umi bangun kayak kemarin, terus sehat lagi kayak dulu dan temenin Askhar disana nanti."

Yah seperti inilah rutinitas Laskhar yang tak pernah absen setiap harinya semenjak sosok yang melahirkannya harus terbaring lemah karena suatu alasan.

Tanpa sadar untuk kesekian kalinya air mata kembali menetes dari mata tajamnya. Lelaki yang dikenal orang-orang sebagai sosok yang dingin tetapi cerewet saat ceramah dan tegas pasal agama sekarang luruh disamping seorang wanita yang tak kalah hebat dari dirinya.

Setiap kali memasuki ruangan ini Laskhar benar-benar tak bisa mengontrol air matanya untuk tidak jatuh. Setiap kali menceritakan kesehariannya pasti selalu diakhiri dengan isakan yang hanya akan berhenti disaat ia tertidur dengan posisi duduk disamping sang ibu. Berakhir dengan Azan subuh yang membangunkan nantinya.

.
.
.
.
.

BERSAMBUNG.

By. Esa

Kayifa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang