7.

68 18 4
                                    

.
.
.
.
.

"Bundaaaaaa yang bener aja masa cuman gara-gara masalah kemarin ayah langsung mau nikahin aku." Rengek Alesha menggoyangkan bahu Amel yang tengah sibuk mempersiapkan penampilan Alesha hari ini.

Sedari kemarin anak perempuan Amel ini tiada henti merengek padanya. Bahkan saat dirias gadis itu tak bisa diam samasekali membuat Almel kawalahan menghadapi tingkahnya.

"Apasih kamu. Udahlah dia ganteng kok dijamin kamu gak nyesel deh nantinya." Sahut Amel cuek, kemudian berlalu duduk dipinggir kasur tepat dibelakang Alesha.

"Tap--" Alesha yang hendak berbalik ditahan oleh sang perias yang terlihat sudah sangat tertekan akan tingkahnya.

"Maaf mbak, mohon duduk diam ini sudah hampir selesai kok."

"Iya ya udah." Dengus Alesha masih dengan kekesalannya.

Amel terkekeh, namun setelahnya ia kembali berceramah panjang. Memberikan berbagai wejangan untuk sang anak. Namun percuma, karena sedari tadi Alesha diam bukan untuk mendengarkan melainkan melamun.
"Pokoknya kamu harus jadi istri yang baik dan turuti semua keinginannya selama itu baik. Dan nanti begitu selesai ijab kamu buka deh cadarnya yah."

Perias yang ingin memakaikan cadar pada Alesha sontak berhenti saat sang pengantin berbalik badan dengan mata melotot. "Harus banget Bun?" Tanyanya dengan nada protes.

"Ya iyalah, kan nanti udah jadi suami. Eh atau nanti dia sendiri yang--"

"Udah stopp Bun." Menutup kedua telinganya, entah kenapa sekujur tubuhnya terasa merinding.

Sontak Amel tertawa geli, ia kemudian mendekat dan mengecup pelan jidat Alesha. "Yah nanti bukan bunda lagi yang kecu--"

"Buuun."

"Haha yaudah mbak pasang aja cadarnya terus kita keluar. Dia nanti dijemput suaminya." Tawa bunda sebelum kemudian meninggalkan kamar Alesha.

Hingga akhirnya Alesha benar-benar sendiri sekarang. Degup jantung Alesha sedari tadi tak dapat dikontrol kecepatannya, benar-benar terasa lebih cepat dari pada hari biasanya. Tangannya pun seudah basah dan dingin akibat sedari tadi ia tak dapat mengontrol rasa gugupnya.

Bagaimana tidak gugup? Seminggu setelah pembicaraan serius dengan sang ayah, tepatnya hari ini acara sakral yang tak pernah Alesha sangka akan terjadi dalam waktu dekat. Dan sekarang harus ia lewati tanpa persiapan apapun.

Dalam ruangan kamarnya yang diberi sedikit hiasan Alesha semakin memeluk erat boneka kelincinya menyalurkan semua rasa gugup, cemas, takut yang ia rasa saat ini. Hanya itu yang bisa menenangkan dirinya saat ini, mengingat sang ibu sudah turun kebawah tempat acara diselenggarakan dan mirisnya ia juga tak memiliki teman yang diundang untuk menemaninya sekarang.

Berkali-kali Alesha menghela nafas panjang berusaha tenang namun tak membuahkan hasil apa-apa.

"Arghh rasanya aku pingin loncat loncat diatas kasur atau gak banting barang. Yang penting tantrum dulu deh disini ... Tapi nanti kamarnya hancur terus ada yang ngamuk deh." Cerocosnya menggigit telunjuknya dibalik cadar putih yang ia kenakan.

Satu menit setelahnya, suara berat tapi lantang milik seorang lelaki menggema dirumah minimalis milik orang tua Alesha. Hingga Alesha pun dapat mendengarnya dengan sangat jelas.

Sebuah kalimat sakral yang biasanya membuat para kaum hawa terharu, tersentuh, bahagia, baper atau semacamnya. Tapi diantara itu semua Alesha tak dapat menjabarkan perasaan apa yang ia rasakan saat ini, tapi yang pasti hatinya bergetar saat ucapan kobiltu menusuk indra pendengarannya.

"Ya Allah, aku harus bereaksi kayak gimana? Rasanya pingin tidur, pingsan atau semacamnya deh." Gerutunya semakin tak bisa tenang.

Sekarang berpindah duduk dari meja rias ke atas kasur empuknya dengan boneka yang tak lepas dari pelukan.

Kayifa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang