PANCA

260 42 4
                                    

Panca terus mondar-mandir di dapur, langkahnya tak beraturan. Raut wajahnya mencerminkan kecemasan mendalam; keringat dingin mengalir di pelipisnya. Sesekali, ia menggigit bibir, berusaha menahan gejolak yang mengganggu pikirannya. Matanya bergerak liar, seolah mencari jalan keluar dari kepanikan yang menggelayuti hatinya.

Kedatangan Raden Mas Prabu adalah sesuatu yang tak terduga. Panca telah mendengar banyak cerita tentang sang adipati—seorang pemimpin yang dihormati namun juga ditakuti. Dalam benaknya, berbagai kemungkinan berputar: apakah Prabu datang untuk memberinya hukuman? Ataukah ada tujuan lain yang lebih berbahaya? Semua pikiran itu membuat jantungnya berdebar kencang.

Mbok Ayu muncul tiba-tiba, memecah lamunan Panca. "Kamu dipanggil sama Raden Mas Joko," katanya dengan nada tenang, meski Panca bisa melihat kepanikan yang sama dalam tatapan Mbok Ayu. Kalimat itu bagai petir di siang bolong, membuat Panca terloncat. Ia merasakan perutnya berkontraksi; seakan semua hal buruk akan menimpanya dalam sekejap.

Ia berusaha merapikan penampilannya, meski tidak ada yang bisa menutupi kegelisahan di wajahnya. "Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya pada diri sendiri, seolah menanti jawaban dari dinding-dinding dapur yang dingin.

Sebelum melangkah menuju ruang tamu, Panca menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jiwanya. Namun, tangannya terasa dingin dan gemetar. Gugup bukan main. Ingatan akan ucapan sang adipati semalam masih membekas kuat. Panca merasa belum sepenuhnya siap menghadapi kenyataan yang menunggu. Pikiran-pikiran menakutkan menghantui, membayangkan kemungkinan terburuk, seperti dicambuk atau dihukum atas kesalahan yang mungkin ia lakukan.

Saat Panca akhirnya melangkah ke ruang tamu, suasana terasa sangat tegang. Begitu memasuki ruangan, matanya langsung tertuju pada sosok Raden Mas Prabu yang berdiri tegak di tengah ruangan, menatapnya dengan tajam. Panca merasa seolah seluruh dunia terhenti; setiap detak jantungnya terasa nyaring di telinga. Aura kepemimpinan adipati itu sangat kuat, dan Panca tidak bisa mengalihkan pandangannya.

Raden Mas Prabu mengenakan baju kebesaran yang khas, dengan kain batik yang diikatkan di pinggang dan blangkon terpasang rapi di kepalanya, melengkapi penampilannya yang penuh wibawa.

Dalam hati, Panca berdoa, berharap agar keberanian bisa mengalahkan ketakutannya. Ia merasa seperti ikan kecil di hadapan hiu, terjebak dalam jaring yang tak terlihat.

"Panca," suara Raden Mas Prabu menggema, menembus keheningan yang mencekam. Panca menelan ludah, berusaha untuk berdiri tegak meskipun kakinya bergetar. "Ada sesuatu yang perlu kau setujui."

Setiap kata yang keluar dari mulut Prabu seolah menjadi beban yang semakin berat. Panca tahu, momen ini adalah titik balik dalam hidupnya. Apakah keberanian akan memihaknya untuk menjawab? Ataukah ketakutan yang akan mengurungnya dalam kebisuan? Dalam sekejap, semua harapan dan ketakutan berkumpul menjadi satu, menanti keputusan yang akan diambilnya.

"Tidak, saya tidak menyetujuinya, Bapak." Sebelum Panca memahami situasi yang sebenarnya, Fajar sudah lebih dulu angkat bicara. Raut wajahnya memerah, menahan amarah, dan tangannya tergenggam kuat di paha. Panca merasa bingung. Sebenarnya, ada apa?

"Panca bukan barang yang bisa diberikan sebagai hadiah. Dia manusia, dan saya sudah menganggapnya sebagai sahabat, bukan pelayan. Bapak tidak boleh memberikan Panca kepada Adipati ini." Suaranya tegas dan penuh keberanian, matanya menatap tajam Prabu, seolah memberi tanda bahwa ia siap berperang. Namun, Panca masih kebingungan.

Hadiah? Apa maksudnya? Bukankah dirinya akan dihukum?

"Tenang dulu, Raden Fajar," ucap Prabu dengan lembut. "Saya menginginkan Panca karena kemarin malam kita sudah menyetujuinya, bukan? Hadiah berupa barang sudah terlalu banyak di kediaman saya, tetapi pelayan seperti Panca, tentu saja tidak ada. Demi kelancaran saya untuk mensejahterakan rakyat, saya butuh dukungan dari orang yang bisa saya percayai. Seperti Raden Fajar percaya pada Panca. Saya juga menginginkan itu."

Mendengar penjelasan Prabu, Panca langsung teringat kesepakatannya dengan Prabu. Namun, bukankah ia akan dihukum? Mengapa sekarang adipati itu menginginkannya sebagai pelayan?

Raden Fajar tampak resah, wajahnya menunjukkan perasaan campur aduk. "Tapi, Bapak, Panca bukan sekadar pelayan. Dia lebih dari itu. Dia sahabat saya, dan saya tidak ingin kehilangan dia."

Mendengar pernyataan itu, Raden Mas Joko mengangkat tangannya agar semua orang diam. "Cukup. Keputusan akan saya berikan kepada Panca. Tidak akan pernah selesai kalau kalian hanya memperebutkan dirinya tanpa persetujuan darinya."

"Tapi dari awal, Panca adalah milik saya, Bapak. Tidak ada yang berhak mengambilnya dari saya," ujar Fajar geram. Dia benar-benar tidak rela melepaskan Panca demi adipati yang kini menatapnya seolah meremehkannya.

"Cukup, Fajar. Jangan kekanak-kanakan. Pelayanmu banyak, dan bukan cuma Panca. Lagipula, kita belum mendengar jawaban dari Panca." Lelaki paruh baya itu mengingatkan putra satu-satunya, lalu pandangannya tertuju pada Panca yang berdiri gugup sambil melihat tangannya yang tertaut. "Bagaimana, Panca?" tanya Raden Mas Joko.

Panca merasa terjebak di tengah pertikaian ini, hatinya berdebar. Apakah ia harus mengikuti keinginan Prabu, atau tetap setia kepada tuannya? Keputusan ini akan mengubah jalan hidupnya selamanya. Ia pun menyadari satu hal: apapun yang terjadi, semuanya bergantung pada pilihan yang akan diambil.

"Hati-hati dalam mengambil keputusan, Panca. Sesuatu yang seharusnya tersembunyi bisa terbongkar kapan saja," kata Prabu dengan nada yang terdengar seperti ancaman. Panca dan Fajar terkejut, matanya membelalak lebar. Amarah yang semula membara dalam diri Fajar mendadak surut, tergantikan oleh rasa takut saat membayangkan jika ayahnya mengetahui apa yang telah ia lakukan. Namun, melepaskan Panca kepada seseorang yang terlihat begitu kejam membuat Fajar merasa sangat keberatan.

Sementara itu, Panca menelan ludahnya dengan susah payah. Dia tahu, dalam situasi ini, sebenarnya dia tidak memiliki pilihan lain selain menyetujui permintaan Prabu, sebagai pelayan adipati. Rasa takut dan terpaksa mengisi pikirannya. Apa yang terjadi selanjutnya bisa berdampak besar pada hidupnya.

"Saya...," suara Panca terhenti, seolah ada sesuatu yang menghalangi. Dia ingin menjelaskan, tetapi kata-katanya terjebak dalam tenggorokan. Dalam hati, ia berdoa agar ada jalan keluar yang lebih baik, meski semuanya terasa begitu gelap dan terjepit.

Fajar memandang Panca dengan rasa campur aduk. Ia tidak bisa membiarkan sahabatnya jatuh ke dalam tangan orang yang berbahaya. Di satu sisi, dia juga tidak ingin ayahnya marah. Keputusan apa yang harus diambil? Pertanyaan itu terus berputar dalam benaknya, membuatnya semakin bingung. Dalam ketegangan ini, Panca dan Fajar menyadari bahwa setiap langkah yang mereka ambil bisa membawa konsekuensi yang tak terduga.

"Saya menyetujuinya, Tuan."

Bila dibandingkan dengan hidup Fajar, jelas bahwa hidupnya tidak ada artinya. Lelaki yang baru berusia 21 tahun ini tidak memiliki keluarga; dirinya dijual sebagai budak sejak kecil, dan hanya Fajar yang memperlakukannya dengan baik. Jika ini bisa menjadi balas budi Panca kepada Fajar, maka ia akan melakukannya. Ia juga tidak tega jika Fajar mendapatkan masalah akibat keberaniannya menolak kemauan sang Adipati.

Setidaknya, Panca tahu bahwa hingga saat terakhir ia menginjak kediaman Suryaningrat, Fajar telah mempertahankannya mati-matian, menganggapnya sebagai manusia dan sahabat. Itu sudah cukup bagi Panca untuk membalas budi.

OBSESI - PONDPHUWIN GEMINIFOURTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang