TAK TERDUGA

291 32 0
                                    

"Panca," panggil Prabu, membuat lelaki yang lebih muda terlonjak kaget. Pikirannya melayang entah ke mana, hingga beberapa panggilan dari Prabu terabaikan olehnya. "Kau sedang memikirkan apa?" tanya Prabu, memandang Panca yang sedang merapikan kasurnya itu dengan penasaran. Prabu duduk tidak jauh dari Panca, memperhatikan gerak-gerik lelaki yang lebih muda itu. Entah kenapa, sejak dirinya pulang, ia merasa Panca tampak berbeda. Lelaki itu seperti sedang memikirkan sesuatu yang tidak diketahui oleh Prabu.

"Tidak ada, Mas Prabu," jawab Panca sambil tersenyum tipis, ia pun menaruh selimut yang dilipatnya di ujung kasur. Raden Mas Prabu tampak lelah, sehingga ia menyiapkan kamar lelaki yang lebih tua itu agar nyaman untuk beristirahat.

"Kau mulai berani membohongiku?" Pertanyaan itu menusuk, membuat fokus Panca teralihkan. Ia menatap Prabu, matanya berkilau penuh ketegangan.

Dengan cepat, ia menggelengkan kepalanya. "Tidak," ucapnya, suara yang hampir tak terdengar, penuh getaran. "Saya tidak berani membohongi Mas Prabu," tambahnya, mencoba meyakinkan Prabu. Namun, si lawan bicara masih tidak puas dengan jawaban Panca. Prabu mengangkat tangannya, menggerakkan tangan untuk memanggil Panca.

"Kemari," ucapnya, perintah itu seperti mantra yang membuat Panca tidak sadar menelan ludahnya dengan gugup. Bayangan bagaimana terakhir kali ia berakhir di pangkuan lelaki yang lebih tua itu muncul dalam pikirannya, membuatnya gugup bukan main. Langkahnya perlahan mendekati Prabu, menundukkan kepala, tidak berani melihat tatapan hangat namun tajam yang Prabu berikan padanya.

"Duduk," perintah Prabu disertai dengan tepukan pada pahanya, membuat Panca lagi-lagi meneguk ludahnya dengan susah payah. Jantungnya berdegup kencang, seolah bayangan bagaimana mereka berciuman terakhir kali memenuhi kepala Panca. Ia mengangkat kepalanya, matanya bertemu dengan mata Prabu yang menatapnya dengan intens. Tatapan Prabu seolah menunggu Panca untuk segera duduk di paha lelaki yang lebih tua itu.

Menggigit bibirnya dengan gugup, Panca perlahan duduk di pangkuan Prabu. Saat lelaki yang lebih tua itu menyelipkan tangannya di sekitar pinggang Panca yang ramping, jantung Panca rasanya mau keluar dari tubuhnya detik itu juga.

"Katakan padaku. Apa yang sedang kau pikirkan?" Suara Prabu begitu lembut, namun ada nada mendesak di dalamnya. Tangan Prabu yang satunya membenarkan anak rambut Panca yang menghalangi matanya, sentuhan itu membuat segalanya terasa kacau. Tubuh Panca lemah oleh pengaruh Prabu, seolah ingin bertekuk lutut dan menyerah pada perasaan yang membara.

"Aku hanya penasaran," jawab Panca perlahan, memberanikan dirinya.

"Tentang apa?" Prabu bertanya, suaranya begitu lembut hingga membuat darah Panca berdesir.

Panca menggigit bibirnya, merasa gugup. "Aku takut mengatakannya," ucapnya pelan, suaranya bergetar penuh keraguan.

Mendengar itu, Prabu sontak tertawa ringan. "Aku tidak akan memarahimu. Jadi, katakan padaku, Panca," ucapnya dengan lembut, matanya tak pernah lepas dari wajah Panca.

Panca menatap Prabu dengan mata yang penuh keraguan. "Aku...aku penasaran mengapa kita berciuman sebelum menikah?" ungkapnya, suara Panca hampir tak terdengar.

Prabu mengerutkan kening, tampak serius. "Apa maksudmu?"

Panca menghela napas, berusaha mengumpulkan keberanian. "Aku mendengar dari orang lain. Ciuman hanya untuk pasangan yang sudah menikah."

Mendengar perkataan itu, tawa Prabu meledak, mengisi ruangan dengan gemuruh tawa. Panca yang polos bagaikan kertas putih yang belum ternoda, dengan pikiran jernih dan murni, membuat Prabu merasa gemas. "Siapa yang mengatakan itu padamu?" tanya Prabu, sambil memandang Panca dengan penuh rasa ingin tahu.

"Seseorang," jawab Panca singkat, menundukkan kepala.

"Apakah aku mengenalnya?" Prabu bertanya lebih lanjut, sementara alisnya terangkat, menunjukkan kebingungan.

Pertanyaan Prabu membuat Panca mengangguk. Prabu mengangkat alisnya, bingung. Siapa yang berbicara pada Panca selain dirinya dan Galuh? Apakah para pelayan di kediamannya? Namun, itu tidak mungkin, karena mereka semua tahu bagaimana Prabu memperlakukan Panca. Tidak ada yang berani mendekati Panca meski dirinya tidak ada.

"Jadi menurut orang itu, ciuman harus dilakukan setelah menikah," kata Prabu, mencoba mencari tahu lebih lanjut.

Lagi-lagi Panca mengangguk.

Kali ini, Prabu tidak dapat menahan tawa, namun segera meredakannya ketika melihat ekspresi serius Panca. "Kalau begitu," katanya sambil meraih tangan Panca, menariknya lembut ke arah bibirnya, "apa kau mau menikah denganku?"

Panca merasa seperti terjebak dalam mimpi aneh. Matanya membelalak, terkejut dengan tindakan Prabu yang tiba-tiba. "Apa maksudnya, Tuan?" tanyanya dengan nada bingung, menambahkan kata "Tuan" untuk mengingatkan status mereka yang berbeda.

"Apakah aku harus mengulangi perkataanku?" tanya Prabu dengan tatapan lembut, bibirnya mendarat lembut di punggung tangan Panca, membuat Panca semakin bingung dan merasa malu.

"Aku pasti salah dengar, Tuan," Panca menundukkan kepalanya, gugup. "Maaf, Mas Prabu. Sepertinya aku salah dengar. Mas Prabu tidak mungkin mengajakku menikah."

"Kenapa tidak mungkin?" Prabu bertanya, menatap Panca dengan intens, matanya penuh gairah yang tersembunyi.

"Itu tidak pantas. Aku hanya seorang pelayan rendahan, sedangkan Mas Prabu adalah seorang adipati yang dihormati di negeri ini. Tidak mungkin rasanya kita bisa bersanding," jawab Panca dengan nada penuh keputusasaan.

Prabu menghela napas dan mengangkat dagu Panca agar mereka saling bertatapan. "Kenapa kau merendahkan dirimu seperti itu, Panca?"

Panca menghindari tatapan Prabu, merasa tidak nyaman dengan pujian yang tidak terduga. "Aku tidak suka saat kau memandang dirimu lebih rendah daripada aku."

Prabu tersenyum lembut, tangannya masih memegang lembut tangan Panca. "Kau dan aku itu manusia. Kita setara. Apapun pekerjaan yang kita lakukan tidak membuat kau lebih rendah daripada aku. Panca, kau bahkan tak sadar bahwa aku sangat memujamu. Aku menginginkanmu. Bahkan saat ini aku ingin menciummu."

Panca menelan ludah mendengar perkataan Prabu. Ia belum pernah diinginkan oleh seseorang sebelumnya. Ia tak tahu rasanya bagaimana. "Mas Prabu, ini tidak pantas."

"Siapa yang bilang? Siapa yang memberikan aturan tentang apa yang pantas atau tidak pantas?" tanya Prabu dengan nada marah yang lembut.

Panca menggigit bibirnya, matanya terpejam karena takut. "Ini... ini bukan hanya tentang aturan. Ini tentang siapa kita dan apa yang terjadi di sekitar kita."

Prabu menghela napas, menatap Panca dengan penuh keinginan dan tekad. "Panca, aku tidak peduli tentang apa yang orang lain katakan. Aku hanya peduli tentang apa yang aku rasakan dan apa yang aku inginkan. Dan aku ingin kau menjadi bagian dari hidupku. Maka, menikahlah denganku."

Kata-kata Prabu menggantung di udara, memecah keheningan yang menegangkan. Panca masih terdiam, terkejut dan bingung, namun di dalam hatinya, harapan dan keinginan yang telah lama tersembunyi mulai muncul.

OBSESI - PONDPHUWIN GEMINIFOURTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang