Tanah Jawa, Abad ke-19
Bulan purnama bersinar cerah, menerangi malam yang dipenuhi kebahagiaan. Di sebuah pendopo megah milik seorang adipati yang baru dilantik, suasana meriah menyelimuti setiap sudut. Lampion warna-warni bergetar lembut tertiup angin, menciptakan suasana hangat yang memikat para tamu. Para bangsawan dan pejabat keraton hadir, merayakan pesta penyambutan ini, menggenggam harapan akan masa depan yang lebih baik di bawah kepemimpinan baru.
Suara gamelan mengalun, membentuk harmoni yang membawa semangat. Para penari dengan busana berwarna cerah bergerak lincah, mengikuti irama gamelan yang menggugah jiwa. Gerakan mereka anggun, memancarkan tradisi yang telah diwariskan turun temurun. Dalam keramaian ini, gelak tawa dan obrolan akrab menggema, menciptakan kehangatan di tengah nuansa politik yang kerap kali tegang.
Di panggung utama, Adipati yang baru, Raden Mas Adipati Prabu Wiraatmaja atau kerap dipanggil Raden Mas Prabu, berdiri dengan sikap percaya diri. Senyum ramahnya menyambut setiap tepuk tangan dan sorakan dari rakyat yang hadir. Ia menyampaikan terima kasih yang tulus atas dukungan yang diberikan, berjanji untuk mengabdikan diri demi kemajuan daerah. Raden Prabu ingin menjadi pemimpin yang dekat dengan rakyatnya, membangun jembatan antara kerajaan dan komunitas yang dilayani.
Namun, di sudut keramaian, dua pemuda berdiri terpisah dari keramaian. Raden Fajar, putra dari adipati sebelumnya menyipitkan matanya penasaran, mencoba melihat ke arah adipati. Di sampingnya, Panca, pelayannya tampak cemas.
"Raden, bagaimana kalau kita ketahuan?" tanya Panca, matanya melirik sekeliling dengan khawatir. Ia tahu bahwa kehadiran mereka di pesta ini bukan tanpa resiko, mengingat status keluarganya yang diabaikan oleh adipati baru.
"Sstt, percaya saja padaku, Panca," jawab Fajar sambil melangkah lebih dalam ke kerumunan. "Kau tidak penasaran siapa adipati yang sombongnya minta ampun sampai tidak mengundang keluargaku?"
"Sejujurnya, saya tidak penasaran, Raden. Itu tidak memengaruhi hidup saya," jawab Panca, lelaki yang lebih tua itu selalu berpikir secara realistis.
Kehidupan Panca yang hanya sebagai pelayan atau bagian dari kasta paling rendah tidak terpengaruh oleh pergantian pejabat-pejabat. Asalkan lelaki itu tidak ikut campur dalam urusan apapun.
"Benar juga," Fajar mengangguk setuju, meski rasa penasarannya semakin menggelora. "Tapi aku penasaran. Jadi, kau hanya perlu mengikutiku saja."
"Baiklah, Raden," Panca akhirnya menyerah, mengikuti langkah Fajar. Mereka berbaur dengan kerumunan warga desa yang antusias, semuanya berharap Adipati baru akan membawa perubahan yang selama ini dinantikan.
Di tengah kebisingan, bisikan-bisikan tentang harapan dan ketakutan mulai terdengar. Para petani berharap agar kebijakan baru akan memperbaiki nasib mereka, mengakhiri tahun-tahun kelaparan yang kerap menghampiri. Pedagang kecil berharap pemerintah yang baru bisa melindungi hak-hak mereka dari praktik-praktik yang merugikan.
Saat malam semakin larut, Fajar dan Panca mendekati meja yang berisi makanan dan minuman. Fajar menyeringai saat membuka botol kecil di genggamannya, lalu tetesan isi botol itu ia tuangkan ke dalam minuman yang ada di sana.
"RADEN, APA YANG KAU LAKUKAN?" pekik Panca, terkejut melihat aksi gilanya. Sungguh, Panca ingin menyeret lelaki yang lebih muda itu jika saja status mereka setara.
"Panca, kamu ini berisik," keluh Fajar dengan nada frustrasi, matanya tetap fokus pada botol kecil di tangannya.
Panca mengabaikan keluhan tuannya. Dengan ragu, ia bertanya, "Apa yang sudah Raden lakukan?"
Fajar tersenyum nakal. "Aku hanya memberinya hadiah. Hadiah untuk jabatan barunya," jawabnya sambil mengocok botol itu, menambah kecemasan di hati Panca.
KAMU SEDANG MEMBACA
OBSESI - PONDPHUWIN GEMINIFOURTH
Fiksi PenggemarPesta penyambutan itu berubah menjadi malapetaka, yang membuat Panca harus menyerahkan diri kepada seorang adipati menggantikan tuannya, Raden Fajar Suryaningrat. Semua menjadi semakin rumit ketika Galuh ikut campur.