PERASAAN

142 22 1
                                    

Terlepas dari kebingungan yang terjadi, Prabu tampaknya tidak merasa perlu menjelaskan apa pun kepada mereka. Ia malah memandang Galuh dan Fajar dengan tajam, lalu bertanya, "Jadi?" nada suaranya mengisyaratkan bahwa ia membutuhkan penjelasan mengenai kehadiran tamu di kediamannya saat ia tidak ada.

Kesadaran Galuh segera kembali. Ia berdeham, lalu menjelaskan dengan tenang, "Dia temanku. Aku yang mengundangnya datang, Mas."

Mendengar penjelasan tersebut, Fajar langsung membisikkan dengan nada bingung, hanya cukup didengar oleh Galuh, "Aku temanmu?"

Galuh membalas dengan senyum jahil, "Kalau bukan teman, kau mau menjadi kekasihku?"

Jawaban Galuh membuat Fajar berdecak kesal sambil memerah. Ia kemudian menyikut lengan Galuh, yang langsung mengundang senyum lebar dari si empu.

Prabu, yang melihat kedekatan Galuh dan Fajar, merasa bingung. Entah sejak kapan hubungan mereka menjadi sedekat itu, hingga Prabu tidak mengetahuinya. "Kau mengundang tamu saat aku tidak ada, Galuh?" tanyanya dengan nada tajam. Panca, yang berdiri di samping Prabu, hanya diam sambil bingung harus bagaimana.

Galuh menundukkan kepalanya, merasa menyesal. "Maaf, Mas," jawabnya lembut.

Prabu menarik napas dalam-dalam, mengatur kembali emosinya. "Kita akan membahas ini nanti, Galuh. Sekarang aku terlalu pusing. Aku akan beristirahat." Prabu berbalik dan mulai berjalan menuju kamarnya, sementara Galuh dan Fajar menghela napas lega bersamaan.

Panca, yang masih berdiri di samping Prabu, langsung menoleh dengan penuh perhatian. "Apa aku perlu menyiapkan air hangat, Mas Prabu?" tanyanya dengan nada penuh perhatian.

Mendengar pertanyaan itu, Prabu menggelengkan kepala. "Tidak usah. Aku akan mengurusnya sendiri," jawabnya sambil melanjutkan langkahnya menuju kamar, meninggalkan Panca yang tetap berdiri di tempat dengan wajah bingung.

Setelah punggung Prabu tidak terlihat lagi, Fajar segera melangkah mendekati Panca, seolah segala pertanyaan yang tadi ia tahan ingin ia keluarkan semua. "Panca!" serunya, sambil menarik lengan lelaki yang masih menatap ke arah menghilangnya sosok Prabu. Panca kemudian mengalihkan pandangannya ke Fajar dengan ekspresi bingung.

"Sekarang ceritakan padaku. Bagaimana bisa kau menjadi kekasih Adipati itu?" tanya Fajar dengan nada penuh rasa ingin tahu. Pandu, yang terkejut mendengar pertanyaan itu, mendapati dirinya terjepit antara rasa malu dan kebingungan. Baru saja ia menyadari bahwa kejadian tadi disaksikan oleh Fajar dan Galuh.

Pandu menoleh ke arah Galuh, yang kini memandangnya dengan tatapan menunggu, seolah ingin tahu lebih jauh tentang apa yang baru saja terjadi. Dengan napas panjang, Pandu mulai bercerita, mencoba menyusun kata-kata agar dapat menjelaskan situasinya dengan baik.

Fajar dan Galuh mendengarkan dengan seksama, masing-masing mengolah informasi baru yang mereka terima. Pandu merasa lega setelah akhirnya bisa membuka cerita di balik hubungan yang mungkin tidak mereka duga.

"KAU MAU MENIKAH DENGANNYA?!" teriak Fajar, terkejut bukan main kala Panca mulai bercerita bahwa Prabu mengajaknya menikah. Siapa yang menyangka Adipati yang tampak kejam itu memiliki ketertarikan pada Panca. "APA KAU SUDAH GILA ATAU KAU SUDAH KEHILANGAN AKAL SEHATMU?!" Fajar kembali berteriak, seolah belum puas dengan informasi tidak masuk akal yang diterimanya. Sementara itu, Galuh terdiam, benar-benar shock hingga tak mampu berbicara lagi.

"Raden Fajar, jangan berteriak. Nanti ada yang mendengar," ujar Panca sambil memandang sekeliling, berusaha memastikan tidak ada orang yang mendengar perkataan Fajar.

"Bagaimana bisa kakakku tiba-tiba mengajakmu menikah? Bahkan saat para pejabat menawarkan gundik, kakakku menolaknya," Galuh akhirnya angkat bicara, masih dalam keadaan bingung. Dia sangat membutuhkan jawaban atas kebingungannya.

"Aku tidak tahu," jawab Panca sambil menggelengkan kepalanya. "Aku sendiri juga terkejut dengan tawaran itu. Semua ini terjadi begitu mendadak, dan aku tidak pernah membayangkan bahwa Adipati akan meminta sesuatu seperti ini dari aku."

Fajar dan Galuh saling bertukar pandang, jelas masih sulit menerima kenyataan yang baru mereka dengar. Rasa penasaran dan kebingungan mereka semakin dalam, dan suasana di sekitar mereka semakin tegang. Pandu merasa tertekan, tetapi dia tahu bahwa ia harus menjelaskan situasinya dengan jujur agar mereka memahami keputusan yang harus diambil.

"Lalu, kau menyetujuinya?" tanya Fajar dengan tatapan penasaran.

Panca mengangguk, membuat Fajar mendesah frustrasi. Ia benar-benar tidak paham pemikiran lawan bicaranya ini.

"PANCA! BARU BEBERAPA BULAN KAU TINGGAL DI SINI DAN SEKARANG AKAL SEHATMU SUDAH HILANG ENTAH KEMANA!" Lagi-lagi Fajar berteriak, seolah tidak bisa menahan rasa frustrasinya. Keputusan yang diambil Panca tampak tidak masuk akal baginya.

Bagaimana bisa? Mengapa? Segala pertanyaan terus memenuhi kepala Fajar, hingga ia tidak bisa memahami mengapa Panca mau menikahi Adipati yang telah mengambil Panca darinya.

"Aku suka bersamanya, Raden," ujar Panca tiba-tiba, suaranya lembut namun penuh keyakinan. Ia mengangkat kepalanya untuk menatap Fajar dan Galuh dengan tatapan yang menunjukkan keyakinan mendalam terhadap keputusannya. "Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tetapi aku suka saat bersamanya. Meskipun tampak kejam di luar, Mas Prabu selalu menunjukkan kelembutannya padaku. Dia memperlakukanku dengan baik," tambah Panca, membuat Galuh dan Fajar saling bertukar pandang dengan kebingungan yang mendalam.

"Bila ini bisa disebut cinta, maka aku mencintainya, Raden," kata Panca dengan suara yang lebih lembut, menekankan ketulusan perasaannya.

Kata-kata Panca membuat Galuh dan Fajar terdiam cukup lama, keduanya menghembuskan napas panjang secara bersamaan. Mereka saling memandang, berusaha memahami keputusan Panca yang tampak tidak biasa. Fajar memijat pelipisnya, sementara Galuh menatap Panca dengan ekspresi campur aduk antara bingung dan prihatin. Keduanya sadar bahwa mereka tidak bisa melarang Panca, terutama jika perasaan sudah terlibat. Keputusan Panca jelas menunjukkan bahwa ia mengikuti kata hati dan emosi, sesuatu yang sulit untuk diabaikan.

OBSESI - PONDPHUWIN GEMINIFOURTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang