KESULITAN

378 37 4
                                    

Di jalan setapak yang membelah hutan, gemerisik dedaunan yang saling bersentuhan terdengar lembut saat angin bersemilir. Helaian rambut Fajar tertiup angin, menari-nari di udara, sementara pemuda itu tampak tenggelam dalam pikirannya, tak seperti biasanya. Galuh yang berjalan di sampingnya menatap ke depan, bingung harus memulai percakapan atau hanya mengikuti langkah Fajar. Suasana hutan yang tenang dan sejuk semakin memperdalam ketegangan di antara mereka. Setiap langkah di jalan setapak terasa berat, seolah-olah beban yang mereka bawa jauh lebih berat daripada hanya sekedar beratnya tanah di bawah kaki mereka.

"Menurutmu, apakah Panca akan baik-baik saja?" Pertanyaan tiba-tiba itu memecah keheningan, membuat Galuh menoleh pada Fajar dengan tatapan penasaran.

"Kenapa?" Galuh mencoba menyelipkan kekehan kecil dalam suaranya, berusaha mencairkan suasana. "Apakah kau berpikir kakakku akan menyakitinya?"

Fajar menggelengkan kepalanya, tatapannya serius. "Bukan Raden Mas Prabu yang akan menyakitinya, tapi Gunjingan orang lain."

Kata-kata Fajar menggantung di udara, dan Galuh terdiam sejenak. Meskipun niat awalnya adalah untuk meredakan ketegangan, suasana kini terasa semakin berat. Rasa cemas menyelimuti wajah Galuh saat ia merenungkan kemungkinan omongan warga desa yang akan menyakiti Panca.

"Seperti pemikiranmu sebelumnya tentang diriku yang tidak bisa aku kendalikan, tapi karena kau mengenalku, kau bisa menanyakan hal itu kepadaku dengan jelas dan kesalahpahaman itu bisa terselesaikan," jelas Fajar, sambil menatap Galuh dengan serius. Galuh menyimak dengan seksama, menunggu lanjutan penjelasan.

"Namun, bila hal itu terjadi pada Panca, tidak ada yang akan mendengarkannya," lanjut Fajar dengan nada penuh kesedihan dan kekhawatiran. "Semua orang hanya akan membicarakan apa yang mereka lihat, tanpa ingin tahu kebenarannya. Meskipun cinta mereka tampak indah, namun bukan itu yang akan dibicarakan. Semua orang hanya akan membicarakan bagaimana seorang pelayan menikahi adipati, bagaimana seorang lelaki menikahi lelaki."

Suasana di sekitar mereka semakin tegang, dipengaruhi oleh gerimis yang mulai turun lembut. Hujan menetes perlahan, membasahi pakaian mereka, namun keduanya tampak tidak memperhatikan. Mereka terlarut dalam perbincangan yang mendalam, seolah dunia di sekitar mereka menghilang sejenak.

"Panca tidak mengerti apa yang sebenarnya dia hadapi," ucap Fajar, tangannya terangkat untuk merasakan tetesan air hujan yang mulai menetes. "Dia tidak tahu bagaimana pandangan orang akan menghakimi atau perkataan tajam apa yang akan menantinya." Fajar menatap Galuh dengan penuh kekhawatiran, seolah ingin mengungkapkan betapa berat beban yang akan dipikul Panca di hadapan masyarakat. Gerimis semakin deras, membasahi mereka, tetapi kesedihan di wajah Fajar dan kerutan di dahi Galuh tampaknya lebih dominan daripada rasa dingin yang perlahan menyelimuti mereka.

"Apa kau akan menentangnya?" Pertanyaan Galuh membuat Fajar terdiam sejenak. Dia merasa bimbang, apakah mungkin untuk menentang keputusan Panca yang begitu bulat? Tidak ada yang bisa. Fajar melihat betapa yakin Panca dengan keputusannya, dan kini Panca bukan lagi pelayannya—Fajar tidak memiliki hak apapun.

"Aku tidak bisa menentangnya," jawab Fajar, suaranya penuh kepasrahan. Galuh memberikan senyuman tipis sebelum menepuk pundak lelaki itu dengan lembut.

"Kau tidak perlu khawatir. Pernikahan antara sesama lelaki bukanlah hal baru. Kau ingat Raden Gama Laskawara dan Fabio Abraham? Bukankah tidak ada yang mempermasalahkannya?" Galuh berusaha memberikan sudut pandang lain agar Fajar tidak terlalu khawatir.

"Mereka berbeda, Galuh," Fajar menghela napas berat. "Keduanya berasal dari keluarga terpandang, dan pernikahan mereka terjadi dalam kerangka adat yang harus dihormati. Siapa yang bisa menentangnya? Tidak ada." Keduanya terdiam sejenak, hujan semakin deras, menambah kedalaman ketegangan di antara mereka.

•••

"Raden Mas Adipati Prabu Wiraatmaja," panggilan yang begitu lengkap itu membuat perhatian Prabu tertuju pada pria paruh baya yang baru saja memasuki ruangan kerjanya. "Kau sungguh begitu muda dan berdedikasi pada pekerjaan, seperti yang semua orang katakan." Pujian itu tidak membuat Prabu menyunggingkan senyumnya. Sebaliknya, pemuda itu menutup lembaran kertas-kertas yang sedang dibacanya dan menatap pria paruh baya itu dengan penuh perhatian.

"Ada perlu apa kesini, Tuan Jacob de Jongh?" tanya Prabu kepada lelaki keturunan Belanda yang sedang mengamati ruangan kerjanya.

Ruangan itu, yang berada di kantor pemerintahan di Wonokromo, Jawa, mencerminkan gaya kolonial dengan furnitur kayu mahoni yang elegan dan kursi-kursi berlengan yang empuk. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan bingkai foto tua dan lukisan bergaya klasik, sementara jendela-jendela besar dengan tirai berwarna krem membiarkan cahaya matahari menerobos masuk.

Cahaya tersebut menciptakan pola-pola lembut di lantai ubin keramik yang dingin dan bersih. Aroma kayu yang baru dipoles dan lembaran kertas yang tertata rapi menambah kesan keseriusan dan ketertiban di ruang tersebut.

Jacob de Jongh, seorang pria Belanda berusia sekitar lima puluhan, berdiri dengan penuh percaya diri. Kulitnya yang putih tampak kontras dengan kulit Prabu yang kecokelatan, dan rambut pirangnya terkena cahaya matahari yang masuk dari celah-celah jendela. Penampilannya yang rapi dan berpakaian jas resmi menambah kesan bahwa ia adalah pejabat penting.

"Apakah tidak boleh saya mengunjungi Adipati yang baru saja dilantik?" tanya Tuan de Jongh sambil tertawa kecil. Senyumannya menampilkan gigi yang rapi dan sikapnya yang sopan namun tampak memiliki maksud lain.

"Tentu saja saya merasa terhormat dikunjungi oleh Residen de Jongh," ujar Prabu sambil bangkit dari kursinya. Dia melangkah mendekati pria paruh baya itu. "Namun, akan lebih baik kalau Tuan Residen tidak membuang-buang waktu saya, karena pekerjaan saya tidak bisa ditunda."

Mendengar pernyataan tersebut, tawa Jacob de Jongh mengudara di sekitar ruangan, mengisi ruang dengan suasana yang sedikit tidak nyaman. Prabu memutar matanya dengan malas, merasa tidak suka. "Kau memang tidak bisa berbasa-basi, ya, Raden Mas Adipati," keluh Jacob de Jongh, nada suaranya seolah menyindir.

"Saya hanya tidak suka membuang-buang waktu yang berharga untuk percakapan yang tidak penting, Tuan Residen," balas Prabu dengan nada tegas. Tangannya yang sebelumnya memegang lembaran kertas kini diletakkan di meja dengan agak keras, menegaskan ketidaknyamanannya.

Jacob de Jongh tertawa ringan lagi, lalu menggelengkan kepalanya sambil mengangkat kedua tangannya, seolah merelakannya. "Baiklah, baiklah. Saya akan langsung pada tujuan sebenarnya saya datang kemari."

Prabu menyilangkan tangan di dada, menunggu dengan sabar sementara Jacob de Jongh mulai berbicara dengan nada serius. "Saya ingin kau menjadi menantuku," katanya dengan tegas.

Perkataan itu keluar bukan sebagai sebuah permintaan, melainkan perintah yang jelas. Wajah Prabu menegang sejenak, mata hitamnya menatap tajam pada pria Belanda itu. Setelah sebelumnya Jacob de Jongh memberikan hadiah tiga gadis pada pesta penyambutannya, kini tiba-tiba dia menyatakan keinginannya untuk menjadikan Prabu sebagai menantunya. Sungguh lelucon macam apa ini?

"Mas Prabu," panggilan dari suara yang dikenalnya membuat ingatan pagi ini buyar seketika. Kesadaran Prabu kembali, dan ia melihat Panca yang berdiri di depannya, menatapnya penuh khawatir. "Apakah Mas Prabu sedang sakit? Mengapa pucat sekali?" tanya Panca dengan nada cemas, membuat Prabu mengangkat sudut bibirnya hingga menampilkan senyum tipis.

Alih-alih menjawab pertanyaan Panca, Prabu yang lebih tua menarik tubuh Panca dengan lembut hingga lelaki yang lebih muda itu terjatuh di pangkuannya. Panca memekik kaget, namun segera Prabu menjatuhkan kepalanya di dada Panca, mendengarkan degup jantung yang tenang dan teratur.

Mereka berada di kamar tidur Prabu, dengan suasana yang tenang dan cahaya rembulan yang lembut masuk melalui jendela besar. Prabu duduk di pinggir kasur. Tangan Prabu yang lemah memeluk Panca, sementara Panca berusaha menenangkan diri.

"Panca," Prabu berbisik, suaranya serak dan penuh keputusasaan, "sepertinya mulai sekarang jalannya akan sulit." Kata-kata itu menggantung di udara, menambah berat suasana di dalam kamar yang sunyi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

OBSESI - PONDPHUWIN GEMINIFOURTHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang