satu persatu datang

37 3 1
                                    


"iya, dulunya...," tak sempat Selia menyelesaikan kalimatnya, mereka ternyata sudah sampai tujuan. Sebelum turun dari mobil, Eve meminta Selia untuk melanjutkan kalimatnya tadi. Kilat matanya yang sekilas berwarna ungu terlihat sangat antusias. Setelah bendapat persetujuan dari Selia Eve merasa senang. Akhirnya mereka bertukar nomor dan segera berpamitan.

"akhirnya Eve bertindak seperti anak seusianya. Dari tadi dia terlihat lemas dan tidak ada semangat. Aku ingin meminta maaf kepadanya karna sudah menyamakan dirinya dengan mia" ucap Selia ditengah perjalanan pulangnya. Riji menjawabnya dengan tertawa dan mengiyakan ucapan Selia, tapi ia juga menambahkan pertanyaannya terkait kebiasaan kecil Eve yang terlalu mirip dengan Mia. Dari caranya memegang sendok, caranya menyingkirkan cabai dan daun bawang di makannnya, serta caranya menaruh minuman di depan piring makannya sejajar dengan arah duduknya.

Selia menyangkal itu dan bilang kalau itu adalah suatu kebetulan. Riji mengiyakan kemungkinan tersebut walaupun terasa masih ada yang mengganjal.

.

.

Esoknya Selia mendapat telfon Ella Tiana atau lebih dikenal sebagai Echi Ceres di kota asalnya. Echi hanya mengatakan kepada Selia bahwa dia akan ke tempat Selia lalu langsung menutup panggilan. Setelah itu Echi mengirim pesan bahwa dia sudah berada di pesawat dan akan take off. Sesaat kemudian status Echi menjadi offline.

"hahh punya adek gini amat perasaan, Sukanya kaya tahu bulat. Dadakan mulu" gerutu Selia setelah membaca pesan dari Echi. Riji yang mendengar gerutuannya tertawa dan lanjut bertanya "adik yang mana?" menandakan adik mereka lebih dari satu. "itu, si Echi," tawa Riji makin besar mendengar nama itu. "kalo itu sih ngga usah ditanya, emang Ajaib anaknya" yang hanya ditanggapi helaan nafas dari Selia.

.

.

.

.

Ponsel Eve bergetar, notifikasi pesan dari Selia masuk saat ia sedang bekerja. "Eve, Tolong bawa ini ke meja tujuh belas!" saat ini, Evelyn bekerja di sebuah restoran jepang. berdasarkan peraturan, seharus nya Eve tidak diijinkan bekerja disana, tapi Eve sangat memohon kepada manager resto tersebut agar mau memperkerjakannya. Awalnya pemilik resto itu menolak dan menawarkan Eve untuk mensponsori biaya sekolahnya. Namun Eve menolaknya karna menurutnya sudah terlalu ketinggalan untuk mengikuti pelajaran formal di sekolah. Bahkan selama ini Eve bisa membaca, menulis, dan berhitung karna diajari ibu 'asuh' nya.

Dengan berat hati pemilik resto itu akhirnya memperbolehkan Eve untuk bekerja di tempatnya tapi dengan syarat dia hanya akan bekerja dari siang sampai sore menjelang petang.

.

.

.

"MIA?!" teriakan itu berasal dari meja tujuh belas. Cukup keras untuk membuat beberapa kepala menoleh kearah sana. "ee.... Apakah maksud kakak saya?" tebak Evelyn dengan bingung karna Wanita dimeja tujuh belas tersebut berteriak tepat setelah melihat wajahnya. "IYA! KAMU MIRIP BANGET SAMA ADIKKU" jawab Wanita itu dengan berteriak kembali. "chii.. udah, ngomongnya biasa aja, jangan teriak teriak" seorang lelaki yang juga berada di meja tujuh belas berusaha untuk menenangkan teman semejanya itu dan meminta maaf kepada pelanggan yang merasa terganggu.

"iyaa.., eh kamu, bisa duduk disini ngga? Duduk dan makan bareng kita?" ajak perempuan tersebut. Tapi Eve menolak karna ini masih jam kerjanya. Lalu perempuan itu berkata akan menunggu Eve sampai jam kerjanya selesai. Saat itu sudah jam lima sore. Sudah hampir satu jam pelanggan meja tujuh belas itu berada di tempatnya. Mereka benar benar menunggu Eve sampai jam kerjanya selesai.

Baru sekarang Eve bisa membuka pesan dari Selia. Selia meminta untuk bertemu dengannya yang kebetulan tempatnya adalah restoran jepang tempatnya bekerja. Tapi sebelum bertemu Selia, Eve pergi menemui pelanggan di meja tujuh belas yang sedari tadi sudah menunggunya.

Sekarang Eve sudah melepas seragam kerjanya dan menggantinya ke baju sehari harinya. Sesampainya Eve di meja tujuh belas, perempuan tadi memperkenalkan dirinya "aku Ella Tiana. Panggil aja ka Echi gapapa kok" dengan senyum yang lebar dan menjabat tangan Eve. "aku lentera, panggil aja Glen" lelaki yang duduk di meja itu juga memperkenalkan dirinya. Echi mengajak Eve untuk duduk di depannya. Saat mendengar nama Echi, Eve merasa seperti sangat akrab dengan panggilan itu Dan baru sadar kalau Echi masih belum melepas tangan Eve. Dengan canggung Eve meminta echi untuk melepaskan tangannya. Dan tak lama kemudian Selia datang dan menuju ke meja tujuh belas. "loh? kalian udah ketemu ternyata" karna tujuan awal Selia adaah untuk mempertemukan Echi dan Evelyn.

"halo ka Selia, ka Riji" seperti biasa riji selalu berada disamping selia. "jadi... kalian saling kenal? Apakah memang dari awal kita berencana untuk bertemu ka Echi?" tebak Eve melihat keadaan ini. "tentu saja kita kenal. Kita ini kaka adik" setelah mendengar jawaban dari selia Eve melihat wajah Selia dan Echi secara bergantian. Tapi tidak menemukan kemiripan layaknya saudara kandung. "Maaf, kalau boleh tanya, kalian itu bukan saudara kandung ya?" dengan ragu Eve menyuarakan kebingungannya. "nggapa kok, itu bukan hal yang meyinggung. Iya, kami emang bukan saudara kandung, tapi kami masih mengakui satu sama lain sebagai keluarga" setelah penjelasan tersebut dari Selia, mereka makan malam.

Selesai makan mereka pergi menuju tempat yang Selia tentukan. "kalo aja villanya belom dijual, pasti enak deh tinggal disana" celetukan Echi mengingatkan Selia atas hutang ceritanya kepada Evelyn.

"lyn? Kamu masih mau dengerin lanjutan dati cerita kemaren ngga?"

"kalau boleh tentu saja mau" jawab Eve dengan antusias. Lagi lagi kilat matanya terlihat seperti warna ungu.

"cerita apa tuuhh??" Echi menimpali karna penasaran.

"cerita tentang villa kita. Walaupun aku bilangnya ngelanjutin cerita, sebenernya aku belom cerita sama sekali sih tentang itu, atau mau kau aja yang cerita chi?" selanjutnya, Echi menerima tawaran dari selia dan menceritakan tentang villa itu. Tentang Kenangan kenangannya Bersama keluarga nya orang orang dalam keluarganya dan tanpa Echi sadari, karna terlalu semangat bercerita, ia tak sengaja menyebut tentang Gudang senjata yang dulunya ada di villa itu.

"Gudang senjata?" mata Evelyn samar samar berubah menjadi warna ungu

"eee.... Eh itu salah, bukan Gudang senjata, maksudku Gudang makanan, gara gara kebanyakan nonton film ya gini nih. He he" penyangkalan Echi yang disertai gaya garuk tengkuk walaupun tak gatal dan diakhiri dengan tawa canggungnya itu sangat terlihat bohong nya.

'haduh Echii!' gumam selia sambil memijat keningnya. "ooohhh gitu ya, nggapapa kok ka Echi, setiap orang pasti ada salahnya. Ya kan?" dengan senyum diwajahnya dan matanya yang kini berwarna ungu itu terkena cahaya bulan dan lampu jalanan di malam hari. Serta nada dan gaya bicaranya yang agak berubah sesaat. Kali ini bukan hanya sekadar mirip saja, ini seperti benar benar sedang Bersama dengan mia.

"Lyn, iris matamu sebenarnya warna apa?"  

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Eve : ASCENDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang