Bab 11. Kabur Dari Pemotretan

665 102 3
                                    

"Kenapa kamu tidak menerima telepon dari papa?. Kalau papa menghubungi kamu, itu artinya papa perlu sama kamu." Tanya Sean
tidak sabar.

la sedikit kecewa dengan apa yang telah putranya lakukan padanya, sehingga ketika ia pulang kerja sore harinya, ia langsung.menuju rumah sang putra meski harus memberikan begitu banyak alasan agar Gracia tidak curiga.

Ferrel cuek. Dia tidak mengindahkan apa yang dikatakan ayahnya. Ia masuk ke kamarnya, mengambil pakaiannya, dan masuk ke kamar mandi begitu saja.

"Hei, Ferrel!. Papa ngomong dijawab, jangan cuek gitu!" Teriak Sean.

"Pulang saja, pa. Jangan banyak bicara. Besok kita bicara saja!" Balas Ferrel dari dalam kamar mandi.

Sean kesal. la ingin membanting segala hal yang ada di hadapannya, namun itu bukan miliknya. Pada akhirnya, menjadi seorang papa dari Ferrel harus benar-benar menyetok banyak kesabaran.

"Aish! Awas aja kalau besok malah ngapain lagi. Aku aduin ke mama, mampus kamu Rel!"

Dengan sangat terpaksa, Sean keluar dari kamar itu dan pulang setelah
Kehadirannya di rumah anaknya sendiri, tidak diharapkan. Bahkan ia diusir pula. Cuek. Keras kepala. Tapi, ingat satu hal yang sudah tidak membuatnya heran sejak awal.

Keduanya memang memiliki kepribadian yang sama. Buah jatuh memang tak jauh dari pohonnya.

***

Perasaan Ferrel semakin gelisah dan tidak bisa tenang. Berulang kali, bahkan sampai membuatnya kesal pada dirinya sendiri, tetapi ia tetap memikirkan wanita yang sudah ia tinggalin di saat-saat berduka seperti itu. Ada sedikit penyesalan dalam dirinya.

Sudah jam 2 siang dan Ferrel juga belum tidur, padahal dia tahu kalau dia ada fotoshoot besok paginya. Ia tahu kalau begadang tidak akan membuatnya fit, apalagi sebelumnya ia sudah berselisih dengan Arman.

Beberapa kali Ferrel memukul kepalanya sendiri, sambil berkata,

"tidur, nggak?!. Mikirin ceweknya mulu kerjaannya, tidur gak."

Tidak lama, dia kembali ngedumel.

"Aish! Benar-benar ada yang salah
denganku saat ini dan rasa ini sudah tidak beres. Padahal dia tidak terlalu cantik, tapi kenapa aku malah menyukainya. Bahkan banyak juga yang lebih cantik darinya di kampus. Kalau aku mau, aku bisa memacarinya, bukan malah nyakitin diri mikirin wanita lain sampai tidak bisa tidur seperti ini!"

Dia berusaha untuk tidur lagi, bahkan
menutup matanya dengan penutup mata. Selimut tebal sudah siap mengantarnya ke gerbang mimpi, namun pikirannya benar- benar belum siap untuk terjun membasahi
pantai kapuk. Berusaha untuk tenang agar bisa terlelap. Hingga akhirnya dia tersentak dan berkata,

"Setelah fotoshoot besok baru pergi ke rumah, ya. Jangan terlalu banyak berpikir lagi. Tidurlah dan lupakan masalah hari ini." Gumamnya.

"Yuk bisa, yuk. Tidur yuk!"
Dia seperti orang gila yang berbicara
sendiri. Yuk bisa yuk, Ferrel. Minum obat, yuk!

***

Zavon kesiangan. Dia bangun setelah
ponselnya lelah berbunyi untuk
membangunkannya. Matanya pun masih lelah, enggan untuk terbuka.
Setelah mandi pun dia masih menguap tidak jelas. Sarapan di rumah biasanya dengan roti dan selai yang sudah tersimpan manis di kulkasnya.

Drt... Drt...

Ponselnya kembali berbunyi dari pihak kantornya. Ini sudah panggilan kesepuluh. Jika sebelumnya ia menolak, kini tidak lagi.

Karyawannya sudah seperti keluarganya. Tanpa mereka, Ferrel tidak mungkin bisa berjaya sampai saat ini, meski dengan pengaruh dari ayahnya sendiri.

"Iya, maaf ya kalian udah nunggu. Nanti saya berangkat . Siapin aja semuanya." Katanya dengan cepat dan kemudian mematikan panggilan itu, tanpa mendengar apa yang mereka ucapkan.

Menerima telepon dari mereka ternyata membuat Ferrel tergesa-gesa. Ia belum menghabiskan rotinya, meninggalkan setengahnya di dapur, dan beranjak keluar rumah.

"Semoga lancar dan dia tidak mencoba menghancurkan pikiranku lagi. Setidaknya sampai pemotretan selesai." Ujarnya dan menghidupkan mesin mobilnya.

***

Deon, pria yang bertanggung jawab atas pemotretan ini kini sedang sibuk
mengarahkan Ferrel yang baru saja datang. la melakukannya sambil berjalan memasuki ruangan yang akan menjadi tempat pemotretan.

Sebenarnya Ferrel agak kurang suka
dengan cara Deon menjelaskannya. Hingga akhirnya dia berhenti, menghadap Deon dan dengan tatapan tegas,

"Tidak bisakah kau mengatakannya nanti?. Kau membuat saya tidak bisa fokus menuju ruang pemotretan. Kau tahu kalau saya sangat enggan bekerja kalau tidak nyaman. Ingat itu!" Katanya, dia meninggalkan Deon yang mematung.

Baru saja memasuki ruangan itu, ia
langsung diminta ke bagian make over untuk keperluan make up look.

"Jangan terlalu berlebihan. Saya tidak suka dengan penampilan yang berlebihan." Katanya dingin, lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan cermin di depannya.

Perempuan yang akan merias wajahnya pun hanya bisa mengangguk. Dia sudah
menyiapkan begitu banyak alat-alat yang akan dia gunakan, tinggal mengeksekusinya saja pada pria yang kini sedang sensitif hatinya.

Deon kembali masuk dan mengambil kursi untuk duduk di dekat Ferrel. Ia kembali menjelaskan semuanya pada Ferrel, sedangkan make up artist itu memberikan polesan tipis pada wajah Ferrel.

Hingga akhirnya, dirinya sendiri yang berdusta. Dia mengatakan dan berjanji pada dirinya sendiri kalau tidak akan memikirkan Marsha sebelum semua syuting berakhir. Tapi, pada kenyataannya, ia malah memikirkan wanita itu, bahkan kini pikiran-pikiran buruk menghampirinya.la cepat bangkit dan membuat segalanya terasa aneh baginya.

"Sepertinya kita tunda lagi pemotretan ini. Aku harus pergi. Ada urusan yang sangat penting!" katanya,

kemudian lari keluar dari ruangan itu, menyisakan keluhan dari semua karyawan yang berada di ruangan itu.
Bahkan ada pula yang dengan terang-
terangan menyatakan kalau ia ingin
mengundurkan diri dari perusahaannya.

***

Ferrel elajukan mobilnya dengan cepat, akhirnya membuat Ferrel kini sudah sampai di rumah Marsha. Dia tidak menemukan siapapun di depan rumah itu. Tampak kosong dan tak
berpenghuni.

Tapi, entah mengapa Ferrel berpikir kalau Marsha masih di sana. Instingnya begitu kuat, apalagi perasannya enggan meninggalkan
rumah ini begitu saja. Terlebih lagi, ia
melihat ada sandal yang menggantung di depan rumah.

Ferrel mencoba membuka ketukan pintu beberapa kali, tetapi tidak ada yang nyahut. Ketika ia mencoba membukanya, ternyata masih terkunci. Perasaan Ferrel sudah tak
karuan, seakan-akan apa yang ia pikirkan tadi di kantor benar-benar akan terwujud di depannya. Hingga akhirnya Ferrel nekad dengan mendobrak pintu itu.

Brak!

"Marsha?!"

Tidak ada yang nyahut. Ia masih berusaha mencari ke setiap ruangan meski kecil kemungkinannya untuk mendapatkan keberadaan Marsha di sana. Sampai ketika dia menyerah dan hendak pulang, namun dia
mendengar seperti suara yang mengalir. Mencari keberadaan suara itu, Ferrel menemukan satu ruangan yang terbuka lebar. Perasaannya menjadi tidak karuan setelah melihat tubuh yang terkapar tak berdaya dan di bawah pancuran air itu.

"Marsha!"

apa yg terjadi sama marsha? Kita lihat di bab berikutnya

Segini dulu ya guys author lagi nulis buat cerita baru

PACARKU TERNYATA ADIK ANGKATKU (FreSha) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang