1 - I Got My Eyes On Him

13 4 0
                                    

Pertengahan Juli, 2019.

Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah, atau apapun itulah, kau tahu? Kuharap kau tahu, jadi aku tidak perlu repot-repot menjelaskannya.

Cukup menyenangkan sebenarnya, tapi menguras energi. Beruntung tidak ada perintah aneh-aneh, seperti membawa batu bata Italy misalnya. Kalau iya, menonjok ketua OSIS atau panitia MPLS yang lain tidak buruk kurasa. Ini hari Jumat, dan besok adalah hari terakhir MPLS. Aku harap waktu mau cepat berlalu, Minggu kenapa lama sekali, sih!?

“Anak-anak udah pada pulang Jumatan,” seruan di sampingku disertai tepukan pelan di atas lengan segera memecah lamunanku. Tak lain pelakunya adalah Arum Lily, temanku SMP yang kebetulan satu SMA lagi denganku. Temanku yang lain, Peruvian Alstrameria, tanpa sadar mengikuti arah pandang Arum—dan aku juga, sih.

Ratusan siswa yang baru saja melaksanakan sholat Jumat tergopoh masuk kembali ke lapangan indoor, di mana para siswi kutebak sudah bosan sebab menunggu mereka selesai menunaikan ibadah. Termasuk aku, aku mau pulang saja rasanya.

Guys, ciwi-ciwi udah pada makan belum?”

Perhatian kami—aku, Arum, dan Alsa— seketika teralih pada seorang pemuda yang berdiri di depan barisan X Bahasa 1—kelasku ngomong-ngomong. Namanya Kak Fennel Nigela, aku lupa dia kelas berapa jurusan mana, pokoknya dia kakak pembimbing untuk kelasku. Serentak sekelasku yang memang dominan perempuan, menjawab ‘sudah’ cukup keras. Kecuali kami bertiga tentu saja. Aku, Arum, dan Alsa itu satu spesies, alias kami gampang lempeng, keinginannya dari tadi pagi tidak berubah, ingin pulang!

Dengan mata yang setengah berat, aku mengedarkan pandangan ke segala arah. Berharap dengan begitu, rasa kantuk yang menyerang bisa sedikit berkurang. Arum dan Alsa sudah heboh sendiri, menonton entah video apa di ponsel Arum. Aku sedikit tidak berminat.

Kemudian retinaku berhenti di satu titik, gerombolan kelas X Bahasa 2 terlihat asyik sekali sedang bercengkrama dengan kakak pembimbingnya. Terbersit sedikit rasa iri menyelundup hatiku, andai Kak Fenn bisa seluwes itu. Sebenarnya Kak Fenn bisa dibilang asyik, hanya saja aku memilih untuk duduk di barisan paling belakang, sehingga tidak ikut bercengkrama dengannya dan teman sekelasku yang lain.

Aku ingin berteriak saking bosannya, namun sempat tertahan setelah kakak pembimbing dari kelas sebelah itu menolehkan kepalanya ke arahku. Bukan, bukan, bukannya dia menatapku. Hanya saja wajahnya berpaling ke arahku, ke arah gerombolannya yang kebetulan berada di depanku, kau paham, kan?

Kalau boleh dihiperbolakan, aku seperti tersihir waktu tak sengaja melihatnya. Ya ampun, matanya yang hilang ketika tertawa itu, lucu sekali! Astaga, ini adalah hari kelima MPLS, dan bisa-bisanya aku baru menyadari ada kambing—maksudku kakak pembimbing— yang lucu dan sedikit—err, tampan itu? Bell, bodoh sekali dirimu! Bagaimana bisa aku tidak menyadari adanya laki-laki dengan mata sabit seperti itu?

Dia memiliki tipikal senyum kesukaanku. Senyum yang tulus karena tak hanya di bibir, namun juga di mata. Menyenangkan sekali melihatnya. Atensiku tersedot seratus persen, menjadikannya poros untuk sepasang retinaku berlabuh. Tiap tawa yang menguar dan satu dua celetukan yang lolos dari bibirnya seolah menjadi sihir yang membuatku lupa bagaimana caranya bergerak. Kalau boleh jujur, sepertinya tidak masalah jika harus memandanginya seharian penuh.

“Bell, coba deh kamu lihat ini!”

Aku tersentak, Alsa tiba-tiba menjulurkan ponselnya padaku dan jujur, aku tidak tahu apa itu karena aku mengajukan pertanyaan lain untuknya. “Al, pembimbing kelasnya si Poppy tuh, namanya siapa? Lucu banget mukanya.” Poppy itu kebetulan aku mengenalnya ketika kami sedang daftar ulang beberapa waktu lalu, sayangnya dia terlempar ke kelas sebelah, gagal sudah formasi blackpink kami.

Larkspur In 2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang