4 - His Hold

5 2 0
                                    

Benar saja, begitu aku selesai memutuskan untuk mengambil ekskul tempus dan beranjak keluar dari arena pameran ekstrakurikuler menuju indoor, Arum dan Alsa langsung menodongku dengan pertanyaan, “Maksud Kak Yarrow yang semalam tuh apa coba?”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Benar saja, begitu aku selesai memutuskan untuk mengambil ekskul tempus dan beranjak keluar dari arena pameran ekstrakurikuler menuju indoor, Arum dan Alsa langsung menodongku dengan pertanyaan, “Maksud Kak Yarrow yang semalam tuh apa coba?”

Aku sontak gelagapan. Alsa menatapku dengan pandangan curiganya, dan Arum terlihat senyum-senyum sambil menaik-turunkan alisnya meledekku. Tidak salah andaikata aku benar-benar menyukai Kak Yarrow, hanya saja aku masih sanksi dengan perasaanku sendiri. Iya kalau aku betulan naksir Kak Yarrow, kalau beneran sekedar ngefans, bagaimana? Lagipula kalau aku betul-betul menyukai Kak Yarrow, dua temanku itu tidak boleh tahu. Malu, tahu!

Aku mencoba mengambil napas cukup panjang, memasang wajah sedatar mungkin meski dalam hati sudah deg-degan bukan main. Kalau aku terlihat panik, yang ada dua bocah itu akan semakin gencar meledakku. Sebenarnya salah satu alasan kenapa akau tidak mau mereka tahu jika aku menyukai Kak Yarrow adalah; aku tidak suka diledek. Geli rasanya.

“Aku cuma nanya besok bawa apa aja, ih,” jawabku, mempertahankan mimik kesal di wajahku senatural mungkin. Pura-pura kesal karena mereka tak kunjung berhenti menodong, padahal sebenarnya aku gugup sekali.

“Yang bener?” yang ini Arum, ingin sekali kucakar wajahnya yang penuh ledekan itu.

“Bener, Rum, ya ampun! Emangnya kalian mengharapkan apa sih? Aku PDKT-in Kak Yarrow gitu?”

“Iya juga gak papa kali, Bell,” Alsa menimpal, raut curiganya kini berganti seolah menggodaku. Tangannya pun tak diam, Alsa mendorong pelan pundakku sampai aku hampir oleng.

“Heh, dengerin, ya. Kak Yarrow emang ganteng, imut. Emang harus banget ya aku suka sama dia? Banyak kali yang ngefans sama dia,” aku lalu melotot pada Alsa. “Kamu sendiri juga ngefans sama dia, Al!”

Seperti yang kuduga, Alsa nyengir. Ini kalau dia bukan temanku, sudah kutabok mukanya. Menyebalkan sekali. Aku kan jadi malu kalau diledekin suka sama Kak Yarrow. Kalau anak-anak lain dengar, bagaimana? Dasar rempong.

Suara pengumuman dari atas panggung permanen dalam indoor menjadi pemutus perdebatan alot kami bertiga. MPLS harus berakhir hari ini, maka kami para siswa baru dikumpulkan lagi untuk berbaris sesuai kelas. Basa-basi ketua OSIS dan beberapa panitia MPLS mengakhiri acara yang selama seminggu ini kami lewati dengan sukses. Rangkaian ucapan terima kasih dan maaf mengiringi prosesi penutupan MPLS.

Terakhir, jajaran OSIS berbaris di ujung lapangan. Menunggu kami—para siswa baru— berjalan berbaris ke arah mereka untuk salam perpisahan. Di atas pijakan, aku gugup bukan main. Melihat barisan siswa yang menyalami para OSIS membuatku berkeringat dingin. Itu artinya, aku akan bersalam dengan Kak Yarrow juga.

Aku ingin segera keluar dari sini, tapi aku tidak siap harus bersalaman dengan Kak Yarrow. Kalau nanti aku tiba-tiba pingsan, bagaimana? Atau yang lebih parah, bagaimana kalau aku kejang-kejang duluan sebelum pingsan? Bisa-bisa aku viral, dan itu memalukan sekali!

“Bell, ayo! Malah bengong, kebiasaan!”

 Tarikan cukup kasar segera menyadarkanku. Di hadapanku, Arum terlihat berjalan berbalik ke arahku sebab dia dan Alsa sudah terlebih dahulu berjalan bergabung dengan barisan, sementara aku masih termenung di tempat. Aku nyengir tipis, merasa bersalah pada Arum dan anak-anak lain yang berbaris di belakangku. Karena aku, barisan jadi sedikit terputus. Arum sampai menarik-narik tanganku hingga kami berhasil bergabung dengan barisan depan, gadis itu baru melepaskan tangannya.

Kak Yarrow berdiri sekitar nomor empat sampai lima dari barisan ujung menuju pintu keluar indoor. Aku bahkan belum menyalami satu OSIS pun sebab posisiku masih cukup jauh, tapi jantungku sudah bersiap melorot ke lutut. Kak Yarrow terlihat begitu senang, dari tadi sudut bibirnya tak ada habisnya untuk tersenyum. Bahkan makin lama kelopak matanya makin menyipit. Lucu sekali.

Kemudian waktu yang ku tunggu-tunggu namun di sisi lain ingin aku hindari, akhirnya tiba juga. Aku menyalami satu persatu OSIS yang berbaris di hadapanku, bibirku tersenyum membalas senyum dan untaian semangat dari mereka. Aku sama sekali tidak merasa istimewa, toh apapun yang mereka katakan itu adalah template yang sama yang mereka berikan pada siswa lain.

Hingga Kak Yarrow Tina menjulang di hadapanku, dadaku kembang kempis. Tanganku berpindah menyalaminya. Seperti yang lain, Kak Yarrow menyalamiku dengan tempo salam-kepal-salam, namun apa yang dilakukan Kak Yarrow setelah itu benar-benar berhasil membuat jantungku meledak. Kak Yarrow menahan tanganku.

Sekali lagi, Kak Yarrow-menahan-tanganku.

Bocah itu malah dengan entengnya tersenyum sangat lebar, tidak menyadari bagaimana aku menahan ledakan dalam dada yang mercon saja kalah heboh meledaknya. Alsa dan Arum sudah berjalan beberapa langkah di hadapanku, Alsa bahkan hampir menyelesaikan sesi salamnya dan keluar dari indoor. Tapi si Achille Millefolium Kampret Yarrow ini malah menahan tanganku!

“Kak—”

“Semangat, ya. Semangat terus pokoknya!”

Dengan sisa tenaga yang kumiliki, aku menjawab Kak Yarrow dengan suara yang nyaris bergetar. “Makasih, kak. Kak Yarrow juga semangat terus.”

Kak Yarrow terkekeh sekilas, wajahnya terlihat seperti meledek. Tiga detik setelahnya baru ia lepaskan tangannya. Buru-buru aku menyalami sisa OSIS lain sebelum memutuskan untuk berlari keluar indoor. Tiba di luar, aku berhenti sejenak hanya untuk menetralkan napas dan degup jantungku yang menggila.

Yarrow kurang ajar. Aku ingat bagaimana wajahnya yang terlihat sangat meledek itu. Kulirik telapak tanganku sekilas, ada bekas tangan Kak Yarrow yang sengaja menahan tanganku tadi.

“Bell! Ayo, cepetan!”

Teriakan Alsa yang berdiri tiga langkah di depanku membuatku tersentak. Ia dan Arum melambai padaku, menyuruhku agar segera menyuruh mereka. “Iya!”

Hari ini rasanya ringan sekali. Alsa dan Arum terlihat bercengkrama entah membicarakan apa, aku tidak tertarik. Karena bekas tangan Kak Yarrow di telapak tanganku tentu seribu kali lebih menarik daripada bahasan Arum dan Alsa. Aku menoleh ke belakang sejenak, melihat Kak Yarrow yang masih menyalami beberapa siswa.

Aku tersenyum.

Kenyataannya, aku tidak pernah melupakan jabatan tangannya.

Kenyataannya, aku tidak pernah melupakan jabatan tangannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Larkspur In 2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang