Dua Puluh Enam - Healing, katanya.

91 7 0
                                    

Ternyata kemarin itu part 25 ya? Aku ingetnya 24 🙂🙏

Btw, part ini banyakan narasi ya..

..

Cuaca sore ini mendung. Tak nampak sinar indah keemasan yang biasanya muncul di kala senja. Hanya ada awan gelap yang menggantung rendah di cakrawala. Langit begitu muram. Kemuraman yang juga tercetak jelas di wajah seorang gadis yang sedang duduk bersama teman-temannya di bangku panjang koridor kampus.

Rambutnya beterbangan kesana-kemari, tertiup oleh angin kencang yang menandakan hujan bisa turun kapan pun ia mau. Pandangannya terarah lurus ke depan, menatap apa saja yang tertangkap oleh netra gelapnya.

Suara tawa dan obrolan tiga orang yang sedang bersamanya seakan tidak lebih menarik dari deretan motor di parkiran yang menjadi objek penglihatannya saat ini. Biasanya dia selalu menjadi salah satu yang paling mendominasi obrolan ketika berkumpul.

"Kamu kenapa, Al?" Tanya salah satu di antara mereka.

Alana tersentak lalu mengangkat kedua alisnya. Menatap Kia dengan tatapan heran. "Kenapa apanya?"

"Diem banget dari tadi. Mikirin apa?" Tanya Kia yang diikuti tatapan kepo dari dua lainnya—Jefri dan Nofal.

Mereka berempat sedang berada di kampus dengan keperluan masing-masing. Nofal bimbingan skripsi, Kia dan Jefri ada urusan dengan akademik, sedangkan Alana datang untuk meminta tanda tangan pembimbing yang tak kunjung membalas chatnya selama dua hari ini. Padahal dia perlu tanda tangan itu untuk mendaftar Seminar Hasil.

"Apalagi kalau bukan karena pembimbing saya tercinta." Alana membuang napas kasar. "Sumpah ya. Capek banget diginiin terus. Mahasiswanya full effort malah diginiin, nanti giliran telat lulus diomelin. Maunya apa sih?"

Tiga orang disana lantas terdiam. Kisah Alana dan dosen pembimbingnya itu sudah menjadi rahasia umum. Kia yang iba, menepuk-nepuk pundak temannya. Bermaksud menyalurkan semangat yang sepertinya sia-sia karena muram di wajah gadis keturunan Batak itu semakin kentara.

Tiga hari ini moodnya sedang berantakan. Ditambah dengan fakta Bu Dira tidak ada di kampus. Padahal dia sudah rela berangkat ke kampus pagi-pagi. Iya, Alana ada di kampus sejak pagi dan masih bertahan hingga saat ini. Hanya pergi sebentar untuk mencari makan siang lalu kembali.

Sangat sialan. Alana ingin mengamuk. Tapi tidak tahu harus ditujukan ke siapa emosi itu. Tidak mungkin kan dia memberikan kata-kata mutiaranya di kolom chat dengan Bu Dira? Kecuali kalau ingin usahanya selama hampir empat tahun belakangan tamat seketika.

"Nanti malam healing yuk, biar nggak stress." Celetuk Kia memamerkan senyuman tiga jarinya.

"Boleh juga." Sahut Jefri, yang sejak tadi memilih menjadi penonton. "Udah lama enggak."

"Gas!" Kali ini Nofal. Ditambah dengan cengiran khasnya.

Berbeda dengan temannya yang tampak begitu bersemangat, Alana menjadi satu-satunya yang tidak tertarik dengan pembahasan. Hal ini disadari oleh Kia. "Ikut ya, Al. Nanti aku kujemput. Kita satu mobil aja semua. Ajak Ale sama Kina biar rame."

"Liat nanti deh." Balas Alana seadanya. Setelah itu dia kembali terdiam, menyimak obrolan mengenai rencana malam ini dengan wajah—yang masih—muram. Begitu hingga sepuluh menit kemudian barulah mereka sepakat untuk pulang karena kampus yang sudah sepi. Urusan mereka—kecuali Alana tentunya—juga sudah selesai.

Di perjalanan menuju kos, Alana membelokkan motornya ke salah satu angkringan langganannya untuk membeli nasi kulit dan ayam geprek cabe sepuluh sebagai makan malamnya hari ini. Terlalu cepat memang. Tapi daripada bolak-balik, pikirnya.

Sambil menunggu pesanannya, Alana memainkan ponsel. Memeriksa seluruh media sosial yang dia miliki. Mulai dari Instagram untuk melihat update terbaru kehidupan teman-temannya, Tiktok untuk membalas chat Ale agar api obrolan mereka tidak padam, X untuk melihat berita terkini, dan terakhir aplikasi hijau dengan logo telepon.

Whatsapp. Untuk melihat tanda 'online' di sebuah kontak yang isi pesannya tidak update sejak tiga hari lalu. Pesan terakhir adalah dirinya yang mengirimkan ucapan terima kasihnya karena sudah diantar sampai ke kosan dengan selamat setelah dibantu belajar. Pesan yang sampai saat ini tak kunjung mendapatkan jawaban. Entah sudah terbaca atau belum, Alana tidak tahu karena pemiliknya menonaktifkan fitur centang biru.

Sebenarnya tidak ada yang aneh, sebelum-sebelumnya juga seperti itu. Tapi biasanya tidak sehampa ini. Masih ada kiriman video-video yang menghiasi direct message Instagram mereka. Beberapa saat ini seakan ada yang menahan diri Alana setiap  jempolnya akan menekan kata 'send' di layar.

Entahlah, Alana juga tidak paham apa yang membuat perasaanya menjadi risau seperti ini. Satu hal yang dia sadari, bahwa perasaan ini dimulai sejak pertanyaannya dua hari lalu dibiarkan mengambang tanpa penjelasan lebih lanjut.

Perasaan itu masih menghiasi pikirannya hingga sampai di kos. Semakin malam, semakin muncul ke permukaan.

Saat sedang berbaring di atas kasurnya, menatap pantulan bulan dan bintang dari pantulan cahaya lampua hias, sebuah notifikasi muncul. Pesan dari Kia berisi ajakan mengenai rencana sore tadi yang kali ini dibalas persetujuan oleh Alana. Sepertinya dia butuh pengalihan.

Pengalihan dari emosinya dengan Bu Dira, pengalihan dari ayam gepreknya yang harus berakhir tragis di lantai kamar dan berujung harus mengepel dalam keadaan lelah, serta pengalihan dari kegundahan yang masih belum dia pahami sebab pastinya.

Otaknya penuh. Dia butuh hiburan. Walaupun hiburan kali ini cukup berbeda. Sedikit tidak menyangka bisa kembali ke tempat ini lagi. Tapi kali ini, sudah tidak ada lagi pandangan aneh memindai seluruh isi ruangan. Gadis dengan atasan hitam tanpa lengan dan loose pants putih itu duduk dengan tenang di meja yang sudah dipesan untuk mereka.

Kepalanya mengangguk-angguk sesuai tempo musik yang dibawakan oleh DJ di atas panggung. Sesekali tertawa melihat tingkah Kia dan Ale yang mengerjai Nofal karena toleransi alkoholnya yang sangat rendah. Minuman mereka bahkan masih ada setengah, tapi kesadaran Nofal sudah melayang entah kemana.

"Ke depan yuk! Joget." Kata Jeffri sambil berteriak. Berbicara dengan nada normal tidak akan bisa terdengar di dalam tempat ini. Musiknya sangat kencang dan memekakkan telinga, anehnya banyak yang suka.

"Males ah. Kamu aja, aku nunggu disini." Tolak Alana dengan suara tak kalah kencang. Matanya menatap kepergian Jefri yang menuju area depan tempat orang banyak sedang bergerak meliuk-liukkan badannya. Tangannya memutar-mutar isi gelas sebelum menenggak cairan bening itu dengan satu kali tegukan.

Matanya menyipit begitu merasakan pahit di ujung lidah, dilanjutkan dengan rasa hangat yang menjalar di lehernya. Kalau boleh jujur, sampai detik ini dia belum menemukan alasan kenapa banyak orang—termasuk Ayahnya begitu menggilai cairan bening ini. Tidak ada yang spesial selain rasa pahit yang menyengat serta efek pusing yang mulai Alana rasakan saat ini.

Adrenalinnya meningkat, membawanya untuk bergabung bersama tiga temannya yang lain sebelum akhirnya menyusul Jefri ke dance floor ala kadarnya yang disediakan oleh Club ini. Walau tidak semewah tempat-tempat di kota besar, tapi tidak mengurangi sukacita par pengunjungnya.

Tawa Alana pecah ketika melihat Nofal yang sedang berjoget tak tentu bersama seorang waria yang tiba-tiba mendekatinya. Tidak mau kalah, gadis itu menyambut rangkulan Jefri di pundaknya dan mulai berjoget bersama. Dia bergerak kesana kemarin tanpa beban, melupakan sejenak beban pikirannya untuk sesaat.

Tidak menyadari bahwa setiap gerakannya terekam oleh sepasang mata tajam dari lantai atas. Seseorang yang tengah berdiri sambil memegang sebuah gelas, sebelah tangannya bertumpu ke pagar pembatas. Sorotnya tidak terbaca.

..
Rabu, 24 Juli 2024.

Jadwal ujianku sudah keluar. Jadinya Senin nanti. Doakan lancar ya🥰🙏

Titik Temu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang