19

285 29 0
                                        

Naruto sungguh tidak habis fikir dengan sikap Hinata, tidak memahami arah pemikiran Ratunya, tidak terima saat Hinata tidak sependapat dengannya.

Sudah sangat wajar jika semua orang yang tidak mematuhi peraturan kerajaan dihukum, sudah sangat normal saat semua orang yang tidak tunduk pada Raja harus mendapatkan pelajaran yang setimpal.

Saara hanyalah seorang selir, dia tidak berhak atas apapun. Namun wanita itu menjalin kasih dengan panglima Gaara, melakukan hubungan terlarang sampai memiliki bayi.

Gaara adalah seorang panglima, seharusnya dia tau semua konsekuensi yang diperbuatnya, bahkan saat pertama kali memutuskan untuk menjalin hubungan gelap itu.

Itu berarti, bukankah mereka sama-sama tau? Sama-sama mau? Sama-sama siap dengan semua konsekuensinya? Bahkan jika harus dihukum dengan berat. Mereka semua sudah sangat siap bukan?

"Brengsek!"

Naruto mengumpat berkali-kali sambil berpikir solusi yang tepat untuk menyelesaikan kasus ini.

...

Saara masih menangis memegangi Gaara yang sudah tidak berdaya, bersandar di tembok dingin penjara bawah tanah tanpa menggunakan alas.

"Panglima"

Gaara tersenyum kepada Saara disisa tenaganya, mengelus pipi kekasihnya itu lembut. "Jangan khawatirkan aku"

Saara menggeleng. "Tetaplah bertahan, kau tidak boleh meninggalkan kami"

Ya, wanita itu tidak ingin sendiri, tidak ingin menjalani hidup tanpa kekasih hati. Dia ingin bahagia, membina keluarga kecil bersama Gaara dan bayi mereka.

Gaara terbatuk. "Maafkan aku"

"Tidak, tetaplah bertahan, aku mohon" Saara memeluk Gaara.

Gaara tidak berbicara lagi, dia sungguh lemah sekarang ini, tenaganya habis. Pria itu sangat haus, begitu lapar. Dia hanya bisa mengelus punggung Saara, menenangkan kekasihnya itu agar tidak menangis lagi.

...

Hinata berada di tempat ibadah lagi, berdoa untuk yang kesekian kali. dia sudah memantapkan hati, bersungguh-sungguh ingin pergi dari tempat ini.

"Tuhan, izinkan aku kembali ke tempatku"

Hinata begitu tenang, sangat meresapi doanya iu, begitu sungguh-sungguh, sangat ingin doanya dikabukan seepatnya.

"Tuhan, izinkan aku kembali ke tempatku"

Hinata menarik nafas lagi, masih memejamkan matanya, masih menangkupkan kedua tangannya. Dia meneteskan air mata.

Wanita itu bersujud lama sekali, kembali duduk kemudian sujud lagi. Begitu seterusnya.

...

Naruto bersama Shikamaru di ruang pribadinya, meminta pendapat pada penasehatnya itu.

"Anda harus mematuhi peraturan istana, Yang mulia" Shikamaru memberi pendapat.

"Lalu aku harus membuat Ratuku menangis sepanjang hari?" Naruto sengit.

Naruto sebenarnya sudah mengetahui hal itu, namun saat melihat tangisan Hinata pria itu menjadi lemah.

Shikamaru menarik nafas. "Anda adalah seorang raja, sudah sepantasnya bisa mengambil keputusan secara pasti. Peraturan istana harus dipatuhi dan keputusan anda hukumnya mutlak"

Ya, pada akhirnya Naruto harus mengorbankan salah satu. Harus melaksanakan hukuman sesuai prosedur lalu membuat permaisurinya itu menangis seharian, atau bahkan bisa jadi membencinya.

Semua ini demi kredibilitasnya, demi keseimbangan kerajaan, demi menjaga kehormatan kerajaan. Orang yang melakukan perbuatan keji harus di hukum, tidak boleh ditiru atau bahkan di bela!

...

Mereka menikmati kudapan setelah melakukan diskusi, minum teh jasmin yang begitu nikmat sambil merenggangkan otot-otot syarat yang baru saja kaku.

Suara pintu diketuk, disusul dengan seorang kasim yang berjalan tergesa menghadap Sang Raja, menunduk. "Mohon maaf, Yang Mulia. Yang Mulia Ratu tidak sadarkan diri"

Naruto berdiri, matanya membelalak. "Dimana Ratu sekarang?"

"Yang Mulia Ratu sedang berada di kamarnya, bersama Tabib istana" ucap kasim itu lagi.

Naruto segera meninggalkan tempat tanpa berpamitan dengan Shikamaru, berjalan tergesa menuju kamar permaisurinya.

"Merepotkan" Shikamaru bergumam.

...

Para dayang mengatakan jika Hinata sedang berdoa begitu khusu di tempat ibadah, biasanya hanya dua jam, namun ratu mereka tidak kunjung keluar saat sudah empat jam di dalam.

Sang dayang yang begitu khawatir mencoba masuk, memeriksa ratunya. Sang Ratu bersujud lama, tidak bangun, tidak ada tanda-tanda pernafasan.

Dayang itu memberanikan diri menyentuh Sang Ratu, namun Hinata tidak merespon. Dayang itu memberanikan diri lagi untuk menggoyangkan tubuh Hinata, dan pada akhirnya Ratunya itu terguling, memejamkan mata dengan sisa tangis di matanya.

...

"Bagaimana keadaan Ratuku?" tanya Naruto sedikit panik.

Tabib itu menunduk. "Maafkan saya Yang Mulia Raja, Yang Mulia Ratu sudah meninggal dunia"

Mata Naruto bergetar, memerah. "Apa maksudmu?"

Tabib itu menunduk semakin dalam. "Maafkan saya harus mengatakan ini. Yang Mulia Ratu mengalami tekanan darah rendah, beliau sangat kurang istirahat, ditambah janin di perut Yang Mulia Ratu. Kondisi beliau sudah memprihatinkan"

Naruto membolakan mata, pria itu tidak kuasa menahan air matanya.

Sang Tabib bersimpuh di hadapan Naruto. "Saya mohon maaf, tidak bisa menyelamatkan Yang Mulia Ratu bersama Pangeran yang ada di dalam perutnya. Saya mohon ampun Yang Mulia"

Jadi? Hinata hamil putranya, lalu meninggalkannya lagi, sendiri seperti dulu? Jadi itulah karma yang dimaksud permaisurinya itu? padahal Naruto belum mengeksekusi pendosa itu.

Naruto menerjang tubuh Hinata, memeluknya erat. Naruto menangis, berteriak, berkali-kali menyebut nama Sang Ratu yang sudah tidak bernyawa itu. Sekali lagi, Naruto merasa sangat membenci dirinya sendiri.

Mengabaikan Hinata, tidak tau dengan kehamilannya, tidak ada saat Hinata menghembuskan nafas terakhirnya. Hinatanya yang sekarang meninggalkannya lagi seperti Hinatanya yang dulu.

...

[Arwah Hinata menuju RS]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[Arwah Hinata menuju RS]

Your Majesty ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang