EMPAT

407 69 1
                                    

The Prejudice

Dalam keheningan pekat, Noir berdiri. Di hadapannya, sepotong lukisan terpajang dengan posisi vertikal. Tidak ada yang spesial—hanya potret seorang gadis muda berumur tujuh belas. Kedua mata gadis tidak memantulkan apa pun selain kepolosan dan .. cinta, pertanda bahwa saat itu dirinya belum dinodai oleh kejinya dunia. Ia melukisnya sendiri. Yang sedang ditatap dengan penuh cinta oleh gadis itu tidak lain adalah dirinya. Tatapannya lantas jatuh pada bagian sudut kanan atas, di mana beberapa bercak kemerahan terpatri lekat layaknya tinta. Itu adalah darah. Darah milik gadis itu.

Saat sekelabat bayangan masa lalu kembali merasuki benaknya, Noir tidak berusaha menghindar. Ia pantas dihukum oleh rasa bersalah seumur hidupnya. Seumur hidup. Ia tertawa kecil. Umur tidak berlaku bagi makhluk sepertinya. Bisikan-bisikan dari para mortal yang mengatakan kalau ia adalah awal dan akhir mungkin benar. Ia dikutuk untuk melihat segalanya, menyaksikan mortal-mortal bodoh itu menjalani hidup secara semberono.

Namun di malam-malam paling sunyi, Noir sedikit berharap kalau ia bisa menyicipi kehidupan semberono itu sebagai seseorang yang memiliki detak jantung dan darah berwarna merah pekat.

°❈°

Mora semakin meyakini asumsi kalau dirinya telah secara mandiri kembali ke kamar semalam. Lihat saja sikap acuh tak acuh yang Noir berikan kepadanya pagi ini. Noir menyantap sarapannya tanpa banyak kata, lantas beranjak pergi begitu saja seolah Mora tidak ada di sana. Rune, seperti hari-hari normal, memperlakukannya seperti hama penyakit yang layak dijauhi. Satu-satunya sosok waras yang bisa ia ajak bicara tak lain adalah Anna, tapi wanita paruh baya itu hanya menampakkan diri di waktu-waktu tertentu.

Saat Mora berpikir bahwa hidupnya di manor raksasa ini akan terasa sangat membosankan, pintu utama terdobrak terbuka dan memunculkan satu sosok berlumuran darah. Ia sontak menjerit, menutup mulutnya dengan kedua tangan.

"Noir!" Rune tiba hanya dalam sekejap mata. Ia bergegas menghampiri tuannya, mamapah pria itu ke dalam. "Apa yang terjadi?"

Mora tanpa sadar mengikuti langkah keduanya, menyaksikan detik-detik Rune membantu Noir untuk duduk di atas sofa. Terakhir kali, Noir bahkan sama sekali tidak terkena dampak saat Mora menghunuskan pedang pada dadanya, jadi ia yakin sekali situasi kali ini cukup serius.

"Noir, apa yang terjadi?" Rune bertanya sekali lagi, sarat akan kekhawatiran.

"Bukan masalah besar. Hanya beberapa ekor serigala datang menyerang saat aku sedang berjalan-jalan."

"Serigala? Serigala mampu membuat kau seperti ini?" Sama seperti Rune, Mora juga dibuat bertanya-tanya. "Kekuatanmu ... kekuatanmu sudah melemah. Kau membutuhkan darah."

Tengkuk Mora meremang samar. Apa ini saatnya Noir akan mengklaim dirinya secara utuh?

"Dia belum siap," ujar Noir, sama sekali tidak melirik Mora.

"Kalau begitu, aku akan berburu untukmu. Di mana mayat-mayat serigala tadi? Kau tidak mengambil darah mereka?"

Noir menggeleng kaku, "Mereka bukan serigala biasa."

"Maksudmu," Rune membasahi bibirnya, "mereka telah kembali?"

"Mereka siapa?" Mora tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.

Embrace of Endless NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang