The Ambiguity
Meja makan panjang itu telah diisi oleh dua sosok lainnya—Rune dan bocah pencuri berlian. Mora melangkah takut-takut, merasa sedikit gugup, apalagi saat kedua sorot tajam Rune berlabuh kepadanya. Berbeda dengan semalam, pria itu tidak lagi mengenakan jubah bertudung yang menutupi wajah eloknya. Elok? Ia tidak yakin jika itu adalah kata yang tepat. Wajah Rune cenderung .. unik. Rahang pria muda itu berbentuk kotak, dipadu dengan mata sipit beriris cokelat terang dan kedua alis menukik tajam. Rambutnya terpotong rapi dengan warna merah tua.
"Selamat pagi," ujar Mora terbata. Ia tidak memiliki banyak pengalaman berinteraksi dengan lawan jenis.
"Halo, Kakak Cantik." Yang membalasnya adalah bocah menggemaskan berpipi merah. "Rambutmu sangat indah," pujinya lagi.
Mora memaksakan senyum, "Terima kasih."
Mora terlahir dengan rambut bergelombang berwarna oranye alami. Dulu, sewaktu ibunya masih hidup, wanita itu kerap menyamakannya dengan lidah api. "Api kecilku." Cordelia kerap memanggil Mora demikian. Beberapa mengatakan bahwa Mora terlahir unik—berkah dari langit—, sebagian mengatakan kalau itu adalah pertanda buruk. Mora memilih untuk menganggapnya sebagai hal netral yang tidak perlu dipusingkan lebih jauh.
Sejauh mata memandang, Mora tidak menemukan eksistensi pria itu.
"Kalau kau sedang mencari Noir, lupakan. Dia tidak pernah bergabung untuk sarapan." Seolah bisa membaca pikirannya, Rune berujar dengan nada malas yang kentara. "Aku harap kau bukan pemilih menyangkut makanan." Ia menunjuk rentetan hidangan yang tersedia di atas meja dengan dagu, berhasil membuat Mora menganga.
Mora sudah lupa kapan terakhir kali dirinya melihat santapan senikmat dan selengkap ini. Air liurnya nyaris menetes keluar, tapi ia segera mengontrol diri dan mengambil tempat di sebelah anak kecil pencuri berlian.
"Dan kau adalah ..?" Pertanyaan Mora mengambang di udara. Rasanya tidak sopan terus-terusan memanggil anak itu sebagai pencuri.
"Namaku Tom," balas anak itu, masih asyik mengunyah roti mentega di dalam mulut.
Aneh sekali. Bagaimana bisa Tom bersikap seperti tidak terjadi apa-apa? Normalnya, seorang anak akan merasa sedih setelah dipisahkan secara paksa dari keluarganya. Mora mengulurkan tangan untuk mengambil beberapa hidangan dan dipindahkan ke atas piring. Satu-satunya sosok asing yang ia temui kemarin hanyalah Anna, jadi ia berasumsi kalau wanita itu juga yang telah memasak semua hidangan lezat di atas meja.
Mora benci kecanggungan, jadi ia berusaha memecahkan atmosfer tegang di sekitar mereka. "Namaku Morana," katanya kepada Rune.
"Aku tahu."
"Oh .." Mora berdeham sekali, mendadak kembali diserang kegugupan. Kenapa Rune harus bersikap sedingin itu? "Kau .. kau seorang manusia, kan?"
"Apa kau akan menusukku di jantung juga untuk membuktikan itu?" Rune memotong daging di atas piringnya dengan pisau, menciptakan bunyi melengking yang tidak enak didengar telinga.
Apa Mora baru saja disindir?
Untuk kalimat sarkastik itu, Mora tidak melempar balasan. Ia benci kekalahan, tapi berdebat dengan seseorang yang belum ia kenal secara menyeluruh—terutama di sarang musuhnya sendiri—tidak terdengar baik sama sekali. Seusai makan diselimuti keheningan pekat, ia kembali diliputi kebingungan. Biasanya, ia akan membantu Nehemia membersihkan rumah dan tentu saja, menghabiskan waktu untuk berburu di hutan. Tidak ada ruang untuk bersantai. Jadi berada di tempat ini, dimana seluruh pekerjaan kasar sudah selesai dilakukan oleh sosok lain, membangkitkan memori masa lampaunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Embrace of Endless Night
FantasiaMorana Castello hanyalah gadis yang baru saja merayakan debutante saat keluarganya dinyatakan bangkrut. Demi bertahan hidup, mereka harus melipir ke desa terpencil bernama Avenell. Mora dipaksa untuk keluar dari zona nyamannya, melakukan segala cara...