Oleh : Trialiya8
Pohon bergerak beraturan. Rumah-rumah seperti berjalan. Motor silih berganti menyalip. Sesekali, ada anak-anak berlarian.
Begitulah pemandangan yang aku lihat dari dalam bus. Pemandangan yang sama, acap kali aku pulang. Pulang? Ah, apa benar?
Pertanyaan itu masih belum menemukan jawabannya. Sejauh ini, aku 'pulang' hanya untuk menuntaskan rindu dan memastikan dia baik-baik saja. Selebihnya, aku tak menemukan nyaman dalam bangunan yang kusebut 'rumah'.
Jendela kaca bus, menjadi saksi bisu atas perjalananku. Baik saat berangkat merantau atau pulang.
Dia pernah melihatku begitu antusias saat pertama kali berangkat menuju perantauan. Binar mataku yang memancarkan cahaya. Senyum indah terpatri sepanjang jalan.
Melihat aku menangis dalam diam, setelah kematian kekasihku. Bersama rintik hujan di luar sana yang berteman dengan senja.
Melihat aku tersenyum diam-diam kala berhasil meraih beberapa impian. Sembari mendengar doa-doaku dalam hati. Perihal masa depan, impian-impian lainnya.
Melihat seluruh pakaianku basah setelah menerobos hujan. Demi bisa mendapat satu kursi untuk pulang.
Melihatku jengah karena berdesak-desakan dengan penumpang lain. Paling parah, melihatku mabuk dan menanggung malu.
Ya, jendela kaca ini. Pernah aku potret dari segala musimnya. Langit cerah, matahari menyengat, senja malu-malu, hitam berawan, hujan rintik, hujan deras, dan pelangi yang dipantulkan cahaya lampu jalanan.
Ah, aku mulai hafal dengan siklus itu. Bagiku, perjalanan sore menuju malam di musim hujan paling menyenangkan.
Aku bisa melihat matahari tenggelam dengan agung. Jendela mengembun. Lalu kala beranjak malam, rintik hujan berjatuhan. Memberi kesan dingin yang menenangkan. Sunyi di tengah keramaian.
Hujan selalu menjadi cerita menyenangkan. Apalagi hujan terakhir bersamanya. Di atas motor, berboncengan mengelilingi kota.
Hujan bersama kemacetan juga menjadi doa paling panjang. Tentang kesehatan untuk dia yang di rumah. Keberhasilanku untuk membahagiakannya. Hingga keinginanku lepas dari kota-kota itu. Pergi jauh, melalang buana ke negeri seberang. Tertawa di bawah hujan salju.
Aku tersenyum samar, mengingat semuanya. Sungguh, detik ini aku sedang tidak ingin diganggu. Tapi sepertinya itu hanya tinggal cerita.
"Buku-buku. Ada buku cerita anak. Buku agama, kisah-kisah nabi. Ayo dibeli-dibeli!"
Suara nyaring pedagang dari satu bus ke bus lainnya tidak pernah aku sukai. Bukan apa-apa, terkadang mereka memaksa seseorang membeli.
Seperti sekarang, dia langsung menaruh salah satu buku kisah nabi di pangkuanku. Lanjut ke belakang, menaruh di pangkuan penumpang lain.
Jika sedang ramai, maka aku beruntung bisa terhindar. Cukup mengembalikan bukunya saat dia meminta uang. Jika penumpang sedang sepi, aku harus beradu mulut dengannya. Dia tidak akan melepaskanku sampai aku membeli bukunya.
Mungkin itu salah satu alasanku lebih suka pura-pura tidur dari awal duduk di bus saat penumpang sepi. Menyandarkan kepala ke jendela bus, merengkuh tas di pangkuanku dengan erat, dan memejamkan mata.
Sesekali aku membuka mata. Sekadar melihat sampai di mana. Saat sudah dekat dengan tempat pemberhentianku, aku baru akan benar-benar membuka mata.
Seperti sekarang, aku membuka mata. Lalu berpikir, aku harus berteduh di mana nanti? Hujan sangat deras.
Laju bus mulai melambat. Aku pun beranjak dari tempat dudukku. Berdiri berpegangan pada pintu bus, bersiap untuk turun.
Detik setelah kedua kakiku mendarat dengan sempurna. Aku langsung berlari ke salah satu emperan toko. Menghindari hujan.
Ini bagian paling tidak menyenangkan. Aku suka hujan, sangat suka. Namun, tubuhku bermusuhan dengan air hujan. Menyebalkan.
Setelah sampai di salah satu emperan toko. Aku menghubungi seseorang, meminta jemput. Mungkin, aku harus menunggunya sekitar 10 - 15 menit.
Di sinilah, aku kadang merasakan 'ketenangan' untuk pulang. Pada rumah yang telah membesarkanku. Meski untuk 3 hari setelahnya, aku ingin segera cepat-cepat pergi lagi. Setidaknya, cukup melihat dia tersenyum.
"Muci!" Aku terkejut. Buru-buru mencari sumber suara. Buru-buru pula menghampirinya. Menerima jas hujan, memakainya. Lalu naik ke atas jok motor.
Ya, namaku Muci. Kata orang tuaku artinya adalah 'Musim Cinta'. Ini juga yang membuatku selalu bangkit kembali setelah jatuh. Namaku penuh cinta, di setiap musimnya akan selalu ada cinta.
Tidak peduli itu cinta yang menyakitkan atau bahkan tidak ada lagi yang mencintaiku. Aku akan selalu mencintai diriku di setiap musim. Akan selalu berjalan kembali merajut mimpi. Meski berulang kali jatuh dan hilang arah.
“Makasih, Mbak,” ucapku saat turun dari motor.
“Ya, sama-sama.” Dia langsung melajukan kembali motornya, pulang ke rumahnya. Sedang aku berlari kecil, melewati halaman rumah yang cukup luas. Perlahan, melangkahkan kaki di undakan tangga.
Detik saat menyambut uluran tangannya, menciumnya. Aku sadar, aku telah pulang di sebenar-benarnya tempat pulang. Aku juga sadar, bahwa aku sekadar pulang ke rumah. Bukan benar-benar pulang ke rumah.
Ah, bagaimana mengatakannya? Kalian mengerti, kan?
.
.
.729
KAMU SEDANG MEMBACA
Poros Cinta dan Musimnya (1)
Short Story--Antologi Cerpen-- [End] Muci adalah seorang pengembara yang akan terus berjalan. Karena ia adalah MuCi, Musim Cinta.