Muci mengendarakan sepedanya dengan kecepatan yang lumayan. Di keranjang depan ada Luca–bebek berbicara kala itu yang sekarang menjadi miliknya–yang sedang memperhatikan keadaan ladang rumput di sana.
Awalnya setelah kejadian berpindahnya Muci ke labirin semuanya tampak normal, akan tetapi ketika ia hendak keluar dari gubuk tiba-tiba suasanannya berubah.
Angin berembus kencang, bahkan terlihat seperti badai besar yang dapat mengguncang apa saja. Selain itu matahari memancarkan sinarnya dengan terik, tetapi hujan es tidak dapat berhenti entah karena apa.
Seolah cuaca buruk yang aneh ini memang sudah pernah terjadi para tanaman pun tiba-tiba saja menggugurkan daunnya secara serentak, menambah keanehan yang membuat ketidak seimbangan alam menjadi semakin terlihat.
Muci kewalahan, ketika ia sampai di sana Luca langsung memberitahukan padanya untuk pergi ke sana. Ke tempat segalanya di mulai. Pohon beringin.
Mereka berdua turun, Luca di dalam gendongan Muci dan menatap pohon beringin yang kali ini terlihat berkali-kali lipat lebih besar dan tinggi dari pertama kali Muci bertemu dengannya.
"Apa yang harus kulakukan?" tanya Muci sambil bergetar, ia masih kelelahan. Dilihat dari dadanya yang kembang kempis, keringatnya yang bercucuran deras serta kakinya yang terlihat tak dapat berdiri dengan benar itu.
Suara kwek-kwek membalas, diikuti dengan beberapa petir yang menggelegar di sana. "ASTAGA KENAPA KAU TAK BISA BERBICARA SEPERTI SEBELUMNYA LUCA?!" kaget Muci, ada apa dengan bebek itu sekarang.
Harusnya dia masih bisa berbicara, seperti di rumah tadi. Akan tetapi sekarang apa? Luca khawatir, ia syok dan tak tahu harus berbuat apa. Sedangkan bebek itu terus mengoceh dengan nada yang acak.
Seolah ia juga panik akan hilangnya kemampuan berbicaranya. Muci mulai menangis, mungkinkah ini benar salahnya? Padahal dia hanya ingin mengembara.
Dia terdiam, termenung di antara kacaunya situasi yang terjadi. Ia mengabaikan semuanya, mengosongkan pikirannya hingga tak dapat mendengar apa pun.
Ia hanya melihat awalnya. Awal mula kejadian ini berasal. Pohon beringin ajaib yang membuatnya berpindah dari satu musim ke musim yang lain
Dia mengangguk lamat, mengabaikan patukan Luca yang seolah menghentikan langkahnya untuk tak mendekat pada pohon beringin itu.
Pohon beringin yang semakin terlihat menyeramkan, karena daunnya saja sudah berguguran, hilang entah ke mana. Rantingnya mencuat tajam seolah akan menusuk atau menggores apapun yang mengenainya.
Namun, semua itu tidak menghentikan langkah Muci untuk mendekatinya. Ia hanya ingin menyelesaikan ini semua.
Tangannya menyentuh batang keras bertekstur kasar itu, ia pun kembali menempelkan tangan sebelah kirinya. Lalu diikuti dengan keningnya, seolah menyatu dengan pohon ajaib itu.
Perlahan suasana berubah. Angin terasa terhambat, bahkan udara seakan berhenti. Selain itu cahaya matahari terim yang menembus awan gelap pun dapat terlihat dengan begitu jelas.
Waktu sudah berhenti.
"Ada apa ini?"
Suara hantaman dahsyat terdengar membentum sesuatu yang keras di dekat Muci hingga menghempasnya begitu keras. Membuatnya kehilangan kesadarannya saat itu juga.
***
Muci membuka matanya, ia melirik ke sana dan ke mari. Membulat seketika ketika padang rumput yang luas seolah tak memiliki batas itu, sekarang menjadi terkekang.
Tembok besar yang terlihat familiar mengelilinginya, menyisakan Muci hanya dengan dia. Si pohon ajaib yang keadaannya masih sama.
Lalu suara dentuman yang sedikit lebih kecil dari sebelumnya terdengar. Menyebabkan tanah bergetar, hingga Muci jatuh.
Bokongnya mendarat duluan, tanah yang ia duduki seakan naik ke atas. Membuatnya kembali kehilangan keseimbangan dan tak dapat berdiri, tangannya mengepal rumput itu begitu kuat. Mencoba mengabaikan rasa debar yang bergemuruh dalam dadanya.
Lalu semuanya terlihat jelas, tanah melingkar itu membagi dirinya seperti potongan kue dengan ketinggian yang berbeda-beda. Menjadikan pohon beringin ajaib menjadi porosnya, seolah itu adalah lilin yang akan ditiup pada puncak perayaannya.
Tak berhenti sampai disitu, ketika Muci berdiri ia kembali dikejutkan dengan langit yang tiba-tiba gelap dan suara petir ikut menggelegar. Diikuti pula dengan terbelahnya atap yang menaungi wadah itu, membuat Muci semakin ketakutan setengah mati.
"A-apa yang sedang terjadi?" ia terdiam, ketakutan. Kakinya gemetar, hal seperti ini ... bukanlah sesuatu yang dapat dipahami olehnya.
Langit itu membelah, mengikuti potongan tanah di sekitar Muci dan menciptakan musimnya sendiri.
Terlihat ajaib dan indah, akan tetapi rasanya tidak demikian. Muci ketakutan, musim gugur yang dirasakan pada tanah ini bukanlah musim gugur pada umumnya.
Daun-daun berterbangan itu seolah hidup. Menerjangnya begitu keras, hingga membuat luka gores yang tak cukup dalam tapi dapat membuat lelaki berambut coklat yang masih mencoba berpikir itu berdarah dan lecet.
"Kau harus menghadapinya Muci." Suaranya menggema, membiarkan gelegar lain menambah kesengsaraan Muci di lingkaran ajaib itu.
Lalu suara lain yang lebih rendah kembali terdengar, "Bukunya Muci, bacalah sebelum terbaca dari sana ...." lirih dari dia yang entah siapa, Muci semakin heran.
"Kenapa semuanya terjadi padaku?!" geramnya seraya mencoba berjalan, mendekati pohon beringin yang seakan tenang-tenang saja di sekeliling cuaca aneh yang menerpanya.
Seolah-olah angin dingin, panas terik, lembabnya rintik hujan, dan angin menusuk itu tak dapat mengganggunya.
Seolah salju pun ikut terabaikan. Bahkan serbuk bunga yang harum pun terdiamkan.
Karena dia adalah keajaiban yang sejati, keajaiban dunia ini. Karenanyalah bumi memiliki ibu yang murni.
"Cincinmu jugalah Muci yang akan membawamu damai." Suara itu terlantun, berbeda pula terdengarnya dari dua suara sebelumnya. Membuat Muci menyusun pemahaman yang setidaknya ia seakan mengerti apa yang harus dilakukannya ke depan.
"Aku akan melakukannya!" lantangnya dengan sangat, ia bahkan langsung berputar, mencari sesuatu yang seolah akan menjadi jawaban untuk menghentikan kegilaan ajaib ini.
Kegilaan dari bagian pengembaraannya yang begitu panjang.
Sesuatu yang telah ia raih, ia membutuhkan ketiga itu.
"LUCA! CHIPPIN! EM, AKU LUPA SATU LAGI SIAPA ...."
Muci terdiam, ia tak merasa aneh saat bersuara akan hal itu. Ia malah merasakan bahwa ada seseorang yang mendengarnya, seseorang yang akan membantunya. Ia yakin dengan hal itu.
"OH IYA, MOCCA! MUCI INI BUTUH BANTUAN KALIAN!" Lanjutnya diikuti dengan kekehan, ia pun ternyata sudah ikut tercemar kegilaan yang terjadi di sekitarnya.
Walau begitu, Muci akan memastikan hal ini akan berakhir dengan baik. Sebagai catatan pengembaraannya yang begitu menarik.
Muci melihat tembok di sisi musim dingin, tembok itu seakan menyimpan sesuatu di balik beberapa batu yang menonjol. Maka dari dari itu ia dengan cepat mencoba berlari.
Menembus atmosfer yang berbeda dari satu musim ke musim lain, akan tetapi ia seperti tersengat ketika perpindahan itu terjadi. Membuatnya lemas pada perpindahan yang kedua, membiarkan dirinya jatuh pada lemas dan menyerahkan kesadarannya pada gelap yang membawanya pada alam bawah sadar miliknya.
***
1015
KAMU SEDANG MEMBACA
Poros Cinta dan Musimnya (1)
Short Story--Antologi Cerpen-- [End] Muci adalah seorang pengembara yang akan terus berjalan. Karena ia adalah MuCi, Musim Cinta.