Oleh; Trialiya8
***
Seorang perempuan dengan rambut sepinggang sedang berdiri melihat jalanan dari kamarnya. Dia sedang berpikir untuk berlibur ke mana saja akhir tahun ini. Barangkali melihat kesibukan di bawah sana bisa memberinya ide.
Dari kamarnya yang terletak di lantai 5 itu. Netranya tak sengaja menyaksikan laki-laki muda berambut coklat di perempatan jalan.
Sepertinya lelaki asing itu sedang terburu-buru. Dia menekan tombol untuk pejalanan kaki dengan tidak sabaran.
Nenek di sebelahnya yang kemungkinan geram menggantikan lelaki itu menekan tombolnya. Lampu pejalan kaki pun menyala.
"Tidak sabaran," kataku sembari berbalik. Meninggalkan jendela dan mulai menyusun ide jalan-jalan yang datang di kepalaku.
Setelah melewati hari yang cukup melelahkan. Mempersiapkan segala macam kebutuhan untuk liburan. Akhirnya ada kesempatan untuk tidur.
Lelapnya tidurku diganggu oleh seberkas cahaya di alam bawah sadarku. Aku ditarik oleh ruang udara yang begitu kuat. Kemudian terjatuh di kasur berwarna putih.
Aku berdiri dan memperhatikan sekitar. "Ini bukan kamarku. Aku di mana?"
Aku mendengar suara gemuruh. Agaknya di luar sedang hujan angin sangat lebat. Tiba-tiba terdengar suara petir menyambar. Aku pun berlindung di bawah selimut.
Setelah merasa lebih tenang. Aku beranjak menuju jendela. Kubuka tirainya dan memandang ke arah bawah.
"Tunggu," gerakan tanganku terhenti. "Dia bukannya yang ada di perempatan jalan?"
"Dia bicara sama bebek? Lelaki aneh." Aku segera menutup tirai itu dan fokus pada keanehan diriku sendiri.
"Aku harus ke luar, mungkin saja akan menemukan petunjuk," ujarku sambil melangkah ke arah pintu. Namun, belum sampai tanganku menyentuh pintu. Suasana di sekitarku kembali berubah.
Sekarang, aku berdiri di antara orang-orang yang membawa nampan ke sana ke mari. Beberapa detik setelah otakku bisa mencerna dengan baik. Aku sadar, aku ada di rumah makan lantai 2 pinggir pantai.
"Astaga, Tuhan. Apa yang sudah kulakukan sampai Engkau menghukumku seperti ini?" Aku memegang kepalaku yang mulai terasa pening.
"Permisi, bisa tolong jangan berdiri di tengah jalan, Kak?" Aku terkejut, mendengar suara dari belakangku. Ah, rupanya seorang pramusaji.
"Oh, maaf-maaf." Aku tersenyum canggung dan menyingkir.
Aku memutuskan mencari tempat duduk kosong. Rasa pening yang tak kunjung hilang ini bisa membuat pingsan kalau tidak segera duduk.
Hanya tersisa satu tempat yang kosong. Paling ujung dan langsung bisa melihat pantai tanpa penghalang apa pun. Aku pun menuju ke sana, tak lupa memesan minuman lebih dulu.
"Eh, sebentar. Memangnya aku ada uang?" Mataku mengerjap, tersadar oleh keadaanku. Tapi aku sudah telanjur pesan?
"Sudahlah, pikirkan itu nanti." Aku pun kembali menelisik sekitarku. Dan... mulutku terbuka lebar.
Aku kembali melihat laki-laki aneh yang sedang bertelanjang dada dengan seekor bebek di sampingnya. Dia bersandar di pohon kelapa dan berbicara dengan bebek.
"Ahrg! Ada apa ini sebenarnya? Apa aku terkena kutukan setelah melihatnya di perempatan jalan itu?" Aku memukul kepalaku. Berharap ini semua hanya ilusi.
"Kak! Kak! KAKAK!"
"Hah! Hah! Iya, kenapa?" Sepertinya aku terlalu menikmati memukul kepalau sampai harus diteriaki dulu baru sadar.
"Ini baju hangat buat Kakak. Kakak tidak baca ramalan cuaca hari ini, ya?" Perempuan di depan ku pergi begitu saja setelah menaruh baju tebal di atas meja.
Aku pun melihat sekitar. Lagi-lagi kepalaku semakin pening. Bagaimana tidak? Saat ini aku sudah berada di perpustakaan. Duduk di sebelah jendela kaca besar, mungkin ini di lantai 3?
Mataku melotot. Aku kembali melihat manusia aneh itu dengan seekor bebek berteduh dari hujan salju di bawah pohon?
"Kesialan apa ini?" Aku meratapi nasibku yang malang. Embusan napas berat keluar dari mulutku. Aku bersandar dan memejamkan mata.
"Tuhan, tolong aku....." Aku merapalkan doa amat pelan. Terus mengulangnya berkali-kali. Aku hanya ingin kembali ke kehidupan normalku.
Suara teriakan orang yang sepertinya memanggilku tidak kuhiraukan. Aku tidak mau saat membuka mata berpindah tempat lagi.
Namun, badanku mulai ditepuk-tepuk. Lalu dipukul keras. Terakhir, suara nyaring di telingaku.
"HAH? APA? KEBAKARAN?" Aku kelabakan. Di pikiranku cuma satu, menuju ke luar. Saat tiba di dekat pintu, aku sadar... Aku, sepertinya sudah pindah tempat lagi.
"Muci, kamu ke napa?" Meski mengenali pemilik suara itu. Aku masih mematung. Berusaha mencerna semuanya.
"Muci, tadi kamu kayak orang yang lagi merapalkan mantra. Mana bangunmu siang lagi. Pesawat kita berangkat dua jam lagi." Orang itu terus mengoceh. Sedangkan aku berusaha menormalkan detak jantungku yang menggila.
Perlahan, aku berbalik. Syukurnya aku sudah berada di kamarku sendiri. Juga berhadapan dengan orang yang aku kenali.
Aku langsung berlari ke arahnya dan memeluknya dengan erat. "Eysa, aku takut."
"Orang yang kemarin baru saja berdebat dengan bos di kantor. Hari ini bilang takut!?"
***
722
KAMU SEDANG MEMBACA
Poros Cinta dan Musimnya (1)
Conto--Antologi Cerpen-- [End] Muci adalah seorang pengembara yang akan terus berjalan. Karena ia adalah MuCi, Musim Cinta.